Si Lugu dan Si Malin Kundang | Cerpen Hamsad Rangkuti


Oleh: Hamsad Rangkuti


Sekuriti kompleks perumahan mewah menghalangi masuk orang renta dgn beban sepikul hasil bumi. Pintu gerbang tak ia buka. Orang tua itu mengatakan ia berjalan dr stasiun kereta api mencari kompleks perumahan itu. Setandan pisang, dua ikat jagung, satu buah nangka masak, & seekor ayam. Polisi kemudian lintas menyaksikan insiden itu & menghentikan kendaraan roda duanya. ia ingin tahu walau bantu-membantu hal semacam itu bukanlah tugasnya.

“Ada apa ini?” katanya sambil mendekat. ia lihat orang renta itu menaruh barang bawaannya di sekeliling dirinya yg sungguh lelah. Ayam jantan itu menjulurkan kepalanya dr dlm kandang anyaman daun kelapa menghirup udara segar.

“Orang renta ini mau masuk ke dalam. ia berkeras bila salah seorang penghuni rumah mewah yg kujaga ini yaitu anaknya. Aku tak percaya. Apalagi ia cuma mampu menyebut nama anaknya. Sedang yg lain, yg diperlukan untuk mencari suatu rumah tak mampu ia sebutkan. Maka gue tak mempercayainya.”

“Bapak tentu tiba dr kampung. Barang bawaan ini menunjukkannya.”

Polisi itu memerhatikan kepala ayam yg terjulur dr dlm anyaman daun kelapa tak jauh dr ia berdiri. ia lihat mata ayam itu merah. Paruh ayam ternganga. Kerongkongan bergerak-gerak menertibkan napas. Lidahnya terjulur meneteskan liur.

“Ayam ini tak boleh dibiarkan hidup di sekeliling kita. Kulihat gejala pembawa virus dimilikinya.” Dicabutnya pistol. “Mengorbankan sebutir peluru lebih baik ketimbang membiarkan virus yg dibawanya menyebar di kompleks perumahan ini.” ia arahkan moncong pistol ke kepala ayam itu. ia lihat ulang mata ayam itu. Paruhnya yg menganga, kerongkongan yg bergerak terus menertibkan napas. Lidah menjulur mengeluarkan liur. “Maaf Pak. Ayam ini mesti dimusnahkan. Satu butir peluru…,” ia mulai mempertimbangkan, “sayang juga.” ia balikkan arah pistol. Moncong pistol ia pegang. ia sangat berbakat dlm hal tak berperasaan. ia tetak kepala ayam itu dgn gagang pistol. Ayam menggelupur dlm anyaman daun kelapa. ia menoleh ke sekuriti, “Bawa ke sana. Gali lubang. Bakar!” Sekuriti rumah glamor itu mengambil ayam yg masih menggelepar-gelepar di dlm anyaman daun kelapa. ia pun menggali lubang, memasukkan ayam yg masih terus menggelepar ke dlm lubang, & membakarnya dgn ranting-ranting kering & daun-daun kering. Orang tua itu ternganga melihat semua itu.

“Maaf Bapak. Ini terpaksa saya kerjakan.” Katanya sambil menggosokkan gagang pistol ke rumput. “Coba Bapak katakan apa yg ingin Bapak kerjakan bila kami izinkan Bapak masuk ke dlm kompleks perumahan mewah ini?”

“Aku akan mengunjungi rumah anakku di dlm kompleks perumahan yg Engkau katakan glamor ini.”

“O, begitu. Tapi itu tak mungkin. Tidak masuk logika kami. Kami tak yakin Bapak yaitu ayah dr salah seorang penghuni rumah glamor ini.”

  Misteri Rak 13 | Cerpen Agus Nurjaman

“Makara Engkau pula tak percaya bila gue ialah ayah dr salah seorang penghuni kompleks perumahan ini? Aku tak boleh masuk mencari rumah anakku. Aku tak boleh mengetuk dr pintu ke pintu sampai gue memperoleh pintu rumah anakku.”

“Tidak boleh.” Polisi lalu lintas itu sekarang telah mengambil alih menangani orang tua itu. ia lupa pada tugasnya sebagi polisi kemudian lintas. ia sudah menggantikan tugas sekuriti rumah mewah itu. Sekarang ia merasa dialah yg mesti menangani orang bau tanah itu.

“Di sini tinggal orang-orang kaya. Tidak mungkin & tak masuk akal, ayah dr salah seorang penghuni rumah mewah ini yakni Bapak. Pakaian Bapak yakni pakaian orang yg tak berpunya. Hampir sama dgn busana fakir miskin. Apa lagi ini.”

“Kaprikornus Engkau tak percaya jikalau gue yaitu orangtua salah seorang penghuni rumah glamor yg kalian katakan itu? Kalian ialah masyarakat Malin Kundang. Engkau mewakili penduduk itu! Engkau akan menjadi batu.” Orang bau tanah itu menunjuk ke polisi kemudian lintas itu. Polisi kemudian lintas itu terkejut:

Apa maksud orang tua ini? Aku mewakili penduduk Malin Kundang? Legenda itu menceritakan orang-orang tak percaya jikalau wanita renta yg mengenakan pakaian yg ia punya yakni ibu si Malin Kundang. Tidaklah mungkin wanita renta terlunta-lunta di tepi pantai menunggu kehadiran anaknya yakni ibu seorang kaya raya. Ibu orang yg bepergian dgn kapal miliknya dr pulau ke pulau, melaksanakan perjuangan di jalur perdagangannya. ia tiba ke pulau itu rindu akan kampung halamannya. Ibunya mendengar kabar kehadiran anaknya. ia datang menyambut, tetapi orang-orang menertawakannya & mengejeknya. Malin Kundang tak mengakuinya sebagai ibu. Makara, orang renta ini merasa diperlakukan seperti yg dilakukan Malin Kundang terhadap ibunya.

“Ya, betul. Kami tak percaya. Bapak tak mungkin ayah dr salah seorang pemilik rumah glamor ini.”

“Apa Engkau mau menjadi watu?”

Polisi kemudian lintas itu tersenyum. ia merasa ucapan orang tua itu sebuah dagelan.

Sebuah mobil kelas termahal berbelok ke arah pintu gerbang perumahan glamor itu. Lelaki yg duduk di dingklik belakang menjamah pundak sopir & meminta kendaraan itu tidak boleh. Lelaki itu bersama istrinya sedang pulang dr bepergian.

“Tunggu sebentar,” katanya. ia amati orang renta yg duduk di bendul jalan. ia menoleh pada istrinya. “Orang bau tanah itu seperti ayah. Coba kamu lihat. Ya…, mirip ayah. Ya! Itu Ayah! Lihat, apa yg ia bawa? Setandan pisang. Dua ikat jagung, & sebuah nangka.”

“Ya, betul. Itu ayahmu. Ayahku juga. Mertuaku!”

“Ya, itu ialah ayah!”

  Bapak, Sang Pembohong | Cerpen Dynna Aslikhatul Kirom

Lelaki itu membuka pintu kendaraan beroda empat. ia turun. Langkahnya disertai istrinya.

“Ayah!” Kata lelaki itu. Orang tua itu menyaksikan ke lelaki itu. ia bangun & air matanya menetes. Lelaki itu menerkam tubuh orang tua itu & memasukkannya ke dlm dekapannya. Si istri mencium tangan pria renta itu.

“Ayah!” Katanya.

Si Polisi kemudian lintas tercengang menyaksikan kejadian itu. Penjaga kompleks perumahan mewah itu pula tercengang. Buru-buru ia membuka pintu gerbang.

“Ayo, Ayah!” Kata pria itu membimbing ayahnya masuk ke dlm kendaraan beroda empat. Si wanita memeluk ayah suaminya itu & mendudukkannya di bangku depan. Sebelum pintu tertutup, orang renta itu masih sempat menoleh ke polisi lalu lintas itu.

“Malin Kundang,” katanya. Anak & menantunya tak mendengar terperinci kata-kata itu. Pintu ditutup si anak. ia masuk menyusul istrinya di kursi belakang. Si sopir membuka pintu & turun mengambil satu per satu bawaan lelaki renta itu. Mula-mula ia angkat satu tandan pisang, kemudian dua ikat jagung, & kemudian satu buah nangka. Semua ia masukkan ke daerah barang di buntut kendaraan beroda empat.

“Ayah pula menenteng ayam, namun ayam itu mereka bunuh & mereka bakar di dlm lubang.”

“Maafkan mereka ayah. Ayam hidup tak boleh dibawa masuk ke dlm kompleks.”

Penjaga kompleks perumahan glamor itu membuka pintu gerbang selebar-lebarnya & tampak ia terbingung-bingung. Polisi kemudian lintas itu terpaku memerhatikan semua insiden itu. ia setengah tak percaya dgn apa yg ia lihat.

Polisi kemudian lintas itu masih pula terbingung-bingung. Keterpukauannya disentakkan bunyi gerbang yg ditutup. ia jadi teringat apa yg diucapkan orang bau tanah itu. Malin Kundang. Apa keterkaitannya dgn saya. Malin Kundang memang menjadi watu dlm lagenda itu. ia sentakkan kepalanya dr keterpukauannya untuk mengembalikan kesadarannya. ia naik ke atas kendaraan roda duanya, membangkitkan mesin, & meneruskan perjalanannya menuju markas kepolisian tempat ia bekerja. ia terus memacu kendaraannya, kemudian membelok ke dlm halaman markas. ia sampai ke ruang markas. Masuk ke salah satu ruang & melepas helm. ia duduk sebentar kemudian seperti teringat sesuatu. ia beranjak & pergi ke kamar kecil, membasuh popor pistol dr darah ayam yg sudah mengering. Kemudian ia kembali ke ruang tempat ia tadi duduk. Waktu melintas di depan gudang penyimpanan barang-barang, ia lihat pintu gudang tak tertutup rapat. Lewat pintu yg sedikit renggang ia lihat patung dr bahan semen tersimpan di dalam. Selama ini ia tak kesengsem untuk masuk ke dlm & memerhatikan patung-patung itu dr dekat. Sekarang tiba-tiba ia kepincut. Apakah sehabis mendengar ucapan orang tua itu ia kemudian tertarik masuk ke dlm untuk melihat patung-patung itu lebih bersahabat. ia tersenyum, lalu ia buka pintu gudang itu lebih lebar. Tampak patung-patung memberi hormat kepadanya. ia senyum membalas hormat patung-patung itu.

  Merantau | Cerpen OJ Hara

“Mirip betul. Mirip betul dgn diriku jika gue mengenakan pakaian dinas. Pematung yg terampil. ia berhasil memindahkan profesi polisi kemudian lintas ke dlm diri patung-patung ini.” ia kembali senyum menatap satu per satu patung-patung itu.

Patung-patung polisi kemudian lintas itu belum semua terpasang di kawasan-kawasan strategis di jalan-jalan kota.

Dia tersenyum. Mungkin ia teringat satu pengalaman waktu ia naik taksi bareng keluarga. Waktu itu hujan lebat. Lampu kemudian lintas di perempatan jalan dr arah taksi yg ia naiki sedang berwarna merah. ia coba uji ketaatan si sopir. “Tidak ada kendaraan yg melintas. Aman. Kebut saja, Pak.” “Jangan. Saya patuh pada peraturan. Tidak Bapak lihat polisi di bawah hujan lebat itu. ia memberi hormat pada kita di bawah guyuran hujan. Lihat di sebelah kiri di depan kita.” “Aku lihat. Langgar saja! Itu kan sebuah patung.” “Jangan. Tunggu hijau. Hormati Polisi Patung itu. ia diletakkan untuk mengingatkan para pengguna jalan semoga disiplin di jalan raya.” ia sebagai polisi yg sedang tak mengenakan busana dinas puas mendengar apa yg dikatakan sopir taksi itu. “Ada satu lagi Polisi yg berisiko kalau kita tak mengindahkannya walau bekerjsama ia tak tersadar. “Polisi apa itu?” “Polisi Tidur.”

Lelaki yg didatangi ayahnya itu ingin menenteng ayahnya berjalan-jalan melihat-lihat kota. Kali ini lelaki itu membawa pribadi kendaraan beroda empat mewahnya bareng istrinya yg duduk di sampingnya. ia puas mampu menyenang-nyenangkan ayahnya. Waktu itu hujan lebat. Lampu lalu lintas tiba-tiba berwarna merah waktu mobil itu hingga di perempatan. Mobil ia hentikan. Setelah menanti agak usang, si istri berpaling ke kiri & ke kanan, kemudian berkata.

“Aman Pa. Jalan saja.”

“Jangan. Kita mesti patuh pada peraturan kemudian lintas. Coba lihat polisi itu. ia hormat pada kita di bawah guyuran hujan lebat.”

“Di sebelah mana? Aku tak menyaksikan ada polisi.”

“Sebelah kiri di depan kita.”

“O, itu. Itu kan patung.”

Orang renta itu mendengar apa yg dibicarakan anak & menantunya. ia melihat ke depan, ke arah yg dikatakan anak & menantunya. Tampak olehnya Polisi Patung di bawah guyuran hujan lebat dlm posisi memberi hormat pada mereka. Mobil pun berjalan alasannya lampu telah hijau. Dari jendela orang renta itu melihat ke luar. ia amati patung polisi itu dlm guyuran hujan. ia iba menyaksikan Polisi Patung itu. ia tiba-tiba tersentak.

“Ya Allah. Polisi itu…, menjadi kerikil….”

Hamsad Rangkuti (28 Oktober 2007)