Meski malam sudah tepat, wanita itu masih saja bengong di verbal pintu. Ia tak bisa tidur. Kebimbangannya menggunung. Adik-adiknya sudah sedari tadi dibekap mimpi. Pikirannya berlari-lari, berputar-putar, hingga jadinya bermuara pada seorang lelaki yg setelah magrib tadi turun melaut bersama beberapa kawan.
Apakah ia akan pulang dgn selamat? Pertanyaan itu seolah mengabaikan kelakuan alam yg tak patut dirisaukan; langit yg cerah, bintang-bintang yg berantakan, bulan yg jingga sarat , atau angin laut yg berembus sewajarnya, menjinjing air asin beriak, lamat-lamat menggapai tubir pantai….
Ia tak pernah merasa mirip ini sebelumnya. Meski lelaki itu sudah dikenalnya semenjak masa kanak, ia memang jarang meletakkan perhatian berlebih padanya. Ia seolah menganggapnya bocah kecil yg terpisah dr dunianya; bermetamorfosis si pengembara yg tersesat di kampung halamannya, kemudian Tuhan membuat sebuah perkenalan yg memaksa jantung mereka berdegup tak sewajarnya. Bagai mampu membaca semuanya, & nyaris tanpa mukadimah, pria itu menyuntingnya. Tanpa didampingi orang tua & keluarga. Tanpa antar-antaran. Hanya dgn Alquran murah bersampul warna emas, telekung tipis berenda kembang mangkok, dan—ini yg dibilang laki-laki itu selaku mutumanikam dr langit—setangkai cinta!
Di usia yg mampu dihitung dgn jemari yg berkembang di kedua tangan; bersama kedua adiknya, lelaki itu dipaksa menjadi yatim piatu. Orang tuanya bagai membuang najis mugholadoh tatkala mencoret mereka dr daftar buah hati. Entah, bagaimana bila kalian mendapati realita yg lebih kelam ini: ayah-ibunya membuat keluarga baru, dgn pasangan yg gres, dgn bawah umur yg baru!!!
Hidupnya limbung. Ia tak pernah sempat bergaul dgn mitra sebaya karena keadaan memaksanya menjadi remaja lebih cepat. Tatkala belum dewasa turun sekolah, ia justru ikut melaut selaku anak buah kapal. Ia terpaksa menggantungkan hidup dr hasil tangkapan. Tak seberapa sebetulnya yg didapat. Ia hanya dijatah satu-dua ikan yg tak laku dijual. Bila majikannya sedang baik, barulah beberapa lembar uang ribuan mengisi kantungnya.
Lalu, nasib membawanya ke kampung ini. Kampung yg tak jauh beda dgn tanah kelahirannya. Kampung yg dikepung oleh maritim & nyiur. Kampung yg menabrakkan mereka dlm sebuah asmara yg nyaris tak beriak.
Perayaan Agustusan tiga bulan silam. Tatkala pertandingan tarik tambang dihelat. Regu perempuan itu berhadapan dgn regu kampung seberang. Jelang kemenangannya; tambang ditarik dgn sepenuh kekuatan, selepas-lepasnya napas, & semeletupnya amarah. Regu musuh terhuyung ke paras . Perempuan itu, yg menjaga baris belakang, ikut terjerengkang. Seharusnya tulang belakangnya sudah mencium punggung batang kelor yg berada tak jauh dr arena pertarungan, bila laki-laki itu tak menamengkan tubuhnya, membuka kedua tangannya, dan… ups! setengah jongkok ia menahan beban perempuan itu. Serta merta tepuk sorai bergemuruh. Keriuhan itu bukan cuma untuk kemenangan regu kampung si wanita, namun pula diselipkan olok-olokan: oooiii, ada perawan jatuh di pelimbahan bujang! Tawa-tawa itu pecah bagai menyemprotkan cairan merah muda di wajah mereka yg datang-datang melepaskan rangkulan. Keduanya baru tahu, cinta mampu hadir kapan pun ia mau.
Mengapa ia tak menenteng azimat penolak balak? Perempuan itu masih meredam buncah; cemas yg berkeriapan. Sebuah kalung yg yang dibuat dr kain serba kuning & tersebar rajah tulisan Arab botak dgn tinta hitam, lupa dibawa suaminya.
Suaminya pernah bercerita. Ia pernah lepas dr aksi perompakan berkat azimat penolak balak. Malam itu, suatu kapal motor milik segerombolan perompak merapat ke bahtera ketinting miliknya. Ia sendirian. Sedangkan gerombolan perompak itu berjumlah sekitar sepuluh orang. Para perompak ini berencana mengambil mesin ketinting & hasil tangkapannya untuk dijual lagi. Mereka sudah mengarahkan senjata padanya & beberapa di antaranya berkemas-kemas turun dr kapal motor. Sebelum mereka sukses merompaknya, dlm hitungan detik, ia bareng bahtera ketintingnya menghilang dr penglihatan para perompak itu. Berhadapan dgn keganjian yg tak bisa dinalar, para perompak ciut nyali. Mereka terburu-buru meninggalkan daerah itu & menganggapnya sebagai hantu bahari.
Sejujurnya, sebelum malam ini, ia menilai cerita itu bualan semata. Bila pun benar, ia percaya ada yg dilebih-lebihkan. Namun sekarang, ohhh, semua yg memiliki potensi menumpuk kekhawatirannya, bagai berlomba-kontes menjelma realita; memerudukkan kecemasannya yg kian memuncak.
Kini pikirannya mengembara pada dongeng-cerita orang tentang para perompak di maritim ganas. Dalam aksinya, para perompak tak segan melaksanakan kekerasan terhadap para pelaut yg dituju. Dan… kalau hingga berjumpa para perompak itu, tentulah kawanan suaminya akan sangat mudah diringkus. Selain tak menjinjing azimat keberuntungan, kondisi kapal dongfeng (istilah yg merujuk pada merk mesin diesel yg digunakan sebagai penggerak kipas di buritan kapal) mampu menjadi sebabnya. Meski berupaya melarikan diri, kecepatan lari kapal yg mereka awaki itu pasti hanya menjadi bahan tertawaan kapal motor para perompak dgn mesin ganda yg berkekuatan 100 pk itu.
Bagaimana kalau mereka dibuang para perompak itu ke bahari? Meski tahu suaminya seorang nelayan yg sedari bocah sudah lazimbercengkerama dgn laut, ia belum sepenuhnya percaya bahwa ia seorang perenang hebat. Ia tak pernah mendengar kisah kalau-kalau suaminya pernah berhadapan dgn angin puting-beliung. Katakanlah perahunya terbalik atau pecah oleh hantaman ombak ganas hingga terpental ke bahari, & ia berenang menyelamatkan diri, mampu mencapai tepian dgn selamat. Ia belum pernah mendengar kisah evakuasi diri semacam itu dr bibir suaminya. Belum pernah!
Ah, terbelakang benar jika gue hingga berpikir yg macam-macam, jangan-jangan ia tak melaut?
O o, bagaimana mampu keraguan ini dapat hadir serta merta? Tapi… bukanlah rahasia lagi jikalau para suami di kampung nelayan itu sering berulah. Berpamitan pada istri untuk melaut mencari ikan, padahal perahu mereka tak mengarah ke laut. Mereka ke kedai Agas, sebuah kompleks perjudian & pelacuran kumal di ujung kampung. Hugh! Nelayan jenis ini yakni pecundang sejati. Mereka tak risau menghabiskan duit hasil tangkapan beberapa minggu di laut (meski sudah bergulat dgn angin puting-beliung & akhir hayat) hanya dlm waktu semalam saja di meja judi & ranjang pelacur. Ya ya ya, meski suaminya tampak lurus-lurus saja, wanita itu datang-tiba tak bisa menentukan apakah lelaki itu bisa abai pada efek jelek; menolak ajuan kenikmatan semacam itu. Tiba-tiba ia merasa menjadi begitu polos: gue tak sepenuhnya bisa mengerti lelaki & dunianya.
Meski malam nyaris tunai, perempuan itu masih duduk melamun di ekspresi pintu. Baginya, malam serasa tak bertepi. Malam dgn amarahnya itu mengurungnya, & membuat rasa cemas tak pergi-pergi meninggalkannya. Hujan kian deras. Petir & guntur kian riang mewarnainya. Laut bagai mengamuk & wanita itu tetap tak mau beranjak dr mulut pintu. Ia berusaha menerbangkan pandangannya, melalui tumpahan hujan, menerabas topan, melintasi kilat; berharap mampu melihat mengambarkan kedatangan kapal dongfeng yg ditumpangi sang suami.
Apakah kapal dongfeng tua itu masih kuat menahan terjangan ombak? O o, pertanyaan itu tiba-datang meloncat menyeringai di hadapannya, tatkala ia tatap bahari yg terhampar. Mendadak angin berembus begitu kencang. Langit menggelap. Awan-awan hitam menelan bulan & bintang-bintang. Air bahari yg tadi tenang, sekarang semakin bingung. Gulungan ombak tak lagi indah dipandang, namun makin berangasan, bergulung-gulung mengganas hingga ke tepi.
DUARRRRR!!!
Pasti ada sebatang nyiur yg terbakar oleh sengatan petir…. Tentu, wanita itu takkan membisikkan kecemasan yg sekarang membuncah: mungkin saja ada sebuah kapal dongfeng yg tersungkur di tengah samudera….
Meski malam sudah memuai, wanita itu masih saja melamun di verbal pintu. Dengan mata yg merah. Dengan pipi yg berair. Dengan isak yg ditelan debur ombak. Beberapa nelayan kemudian-lalang di sekitar pantai. Sebentar lagi, ikan-ikan yg tak laku akan diasinkan, dikeringkan, untuk dijual beberapa hari ke depan.
“Sudah subuh, ya?” Salah seorang adik iparnya mengajukan pertanyaan dgn mata yg masih berat, & verbal yg setengah menguap. (*)