Menjelang Kematian Dulkarim | Cerpen Guntur Alam


Oleh: Guntur Alam


Sepekan ini, orang-orang di Tanah Abang dikejutkan dgn info sekaratnya Dulkarim. Laki-laki berumur setengah kala itu memang sudah lama sakit. Namun, tak ada yg tahu persis ihwal apa sakitnya. Istri & anak-anaknya selalu bungkam bila ditanya tetangga perihal penyakit yg diidap Dulkarim. Akan tetapi, orang-orang menduga, musabab sakit misterius Dulkarim ini niscaya ada kaitannya dgn insiden 10 tahun kemudian.

Kejadian memalukan sekaligus memilukan. Tak akan ada orang di Tanah Abang yg mampu melalaikan kejadian itu. Sampai tulang-belulang Dulkarim memutih di alam kubur, riwayat luka itu akan terus dikenang.

Anak tertua dr pasangan Cik Min dgn Siti Asna yg mempunyai delapan kerabat ini paling cemerlang nasibnya dibandingkan saudara-saudaranya. ia punya beberapa hektare kebun karet & toko pecah-belah di pasar kecamatan.

Lebih dr 50 persen kekayaan Dulkarim diperoleh dr harta warisan. Seperti halnya orang Tanah Abang pada umumnya, mereka adalah petani karet yg punya kebun berhektare- hektare. Namun, seiring waktu yg menggerus usia, kebun-kebun itu terbagi pada anak-cucu yg kemudian bermetamorfosis rumah atau terjual karena impitan ekonomi.

Cik Min sudah usang wafat ketika Dulkarim gres berusia 30 tahun. Sementara, ibunya masih hidup & sekarang berusia jelang 70 tahun. Selain rumah besar glamor warisan bapaknya yg ditempati Dulkarim dgn anak-bininya kini, Dulkarim masih punya suatu rumah panggung kecil di belakang rumah yg ia tempati. Rumah ini memang milik Dulkarim, ia membeli tanahnya dr Wak Hamid, pun papannya ia beli dgn uangnya sendiri.

Di rumah inilah Siti Asna tinggal. Rumah kecil di belakang rumah glamor Dulkarim. Siti Asna menentukan tinggal di rumah ini karena anak bungsunya, Zainab, belum menikah & anak-beranak ini tidak ingin menjadi benalu di rumah Dulkarim. Walau sesungguhnya sudah jadi keharusan Dulkarim untuk menghidupi ibu & adiknya ini.

*****


Bertahun-tahun sehabis maut Cik Min, Siti Asna & Zainab menempati rumah Dulkarim itu dgn aman & sentosa, tak terjadi apa pun. Namun, kedamaian itu terkoyak dikala Ashar bergerimis 10 tahun kemudian. Tiba-tiba orang-orang Tanah Abang dikejutkan dgn teriakan Dulkarim & tangisan Siti Asna. Untuk menjawab rasa ingin tau, orang berbondong-bondong menuju asal suara. Alangkah terperangah mereka ketika menyaksikan apa yg terjadi.

  Ulat Terakhir di Kamar Nenek | Cerpen A Warits Rovi

Di halaman rumah yg ditempati Siti Asna, segala barang berhamburan; kasur, baju, piring, bantal, & lain sebagainya—mungkin pula ingatan. Dulkarim tengah mengamuk, melempar semua barang yg ada. Bahkan, ia dibantu oleh bawah umur lelakinya untuk mengeluarkan segala piranti milik Siti Asna.

“Ini rumahku! Emak cuma numpang! Tak bayar pula! Makara, jika gue mau pakai kapan pun, emak harus keluar!” teriaknya dgn wajah memerah sembari berkacak pinggang.

Orang-orang terkesiap & ternganga. Tak ada yg mampu percaya dgn apa yg mereka dengar barusan serta apa yg terjadi di depan mata kepala mereka sendiri. Dulkarim menghalau emaknya yg renta dr rumah. Seketika orang-orang beristighfar, namun tak ada satu pun yg berani melerai.

Lalu, Guru Tain Beng timbul. Imam masjid & pengajar ngaji itu tiba tergopoh-gopoh setelah mendapat kabar dr tetangganya. ia tergesa mendekati Dulkarim, memegang lengan lelaki itu dgn kuat & berkata, “Istighfar! Kau sadar apa yg kamu lakukan!”

“Guru tak usah ikut campur! Ini masalah keluarga kami! Rumah ini rumahku! Bukan rumah guru! Terserah gue mau apakan rumah ini!”

“Kau ….” lutut Guru Tain Beng gemetar, ia mencengkeram kuat tongkatnya. Seketika, kelebat bayangan paras Cik Min melintas. Darah Guru Tain Beng mendidih, ia mencengkeram ujung tongkatnya. “Kau akan menyesal, Dul. Api neraka itu panas!”

“Itu urusanku dgn Tuhan!” mata Dulkarim memerah, nyaris melompat dr rongganya.

Guru Tain Beng saat itu juga berbalik, ke arah Siti Asna yg terduduk & menangis.

“Bangunlah, Yuk. Jangan menangisi anak durhaka. ia lupa kalau ia lahir dr rahimmu & menyusu kepadamu.”

Siti Asna menatap Guru Tain Beng dgn mata basah. ia mengangguk & berdiri dr bersimpuhnya dgn dipapah Zainab.

Siti Asna & Zainab menyewa kontrakan Haji Kosim atas pemberian Guru Tain Beng. Tak ada yg tahu pasti musabab pengusiran itu. Katanya rumah itu hendak ditempati oleh anak sulung Dulkarim yg gres menikah, Jamal. Memang sesudah Siti Asna pergi, Jamal & istrinya yg menempati rumah itu. Dua tahun kemudian, Siti Asna pergi dr Tanah Abang, mengikuti Zainab yg menikah & pindah ke Makassar.

*****


“Tolonglah, Guru. Bacakan ebak Yasin atau doa agar ia tak tersiksa seperti ini. Kami tak tega melihatnya sekarat semenjak seminggu lalu.”

Guru Tain Beng cuma mampu menghirup napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya. ia belum pernah menyaksikan seseorang yg begitu sukar sakratul mautnya selain Dulkarim. Tak terbilang berapa kali ia membaca Yasin & meminumkan air Yasin itu pada Dulkarim, tetapi risikonya nihil. ia pula sudah bermunajat, tetap tak ada hasil. Dulkarim tak kunjung meninggal, ia menggeliat-geliat di kasur. Tubuhnya tinggal tulang-belulang dibungkus daging.

“Aku tak tahu lagi, apa yg mesti kubuat untuk ebak-mu, Jamal.”

“Tolonglah, Guru. Ke mana lagi kami harus minta tolong. Kami betul-betul tak tega melihat ia mengerang siang & malam. Ebak sepertinya sungguh kesakitan, kadang- kadang ia menjerit & meraung. Guru pernah bilang, sakitnya sakaratul maut itu mirip dikuliti, sementara ebak sudah sepekan lebih mengalaminya.” Mata Jamal memerah, lembap, lalu sepasang air mata meluncur di landai pipinya.

Guru Tain Beng terpekur. Sejatinya, ia hendak mengutarakan ihwal hikayat luka yg diingat orang-orang Tanah Abang, perihal tindakan Dulkarim yg mengusir ibu kandungnya seperti anjing 10 tahun lalu. Namun, Guru Tain Beng tak hendak menguak luka lama. ia tahu, Jamallah yg meminta pada Dulkarim untuk menempati rumah itu.

Terdengar erangan dr dlm kamar Dulkarim yg tertutup gorden merah marun. Lamunan Guru Tain Beng pecah. ia menoleh. Bulu kuduknya meremang seketika dikala Dulkarim menjerit, panjang, tertahan seperti ia tengah disiksa dgn siksaan yg sangat pedih. Lolongan itu meriapkan bulu kuduk Guru Tain Beng.

“Mal,” bunyi Guru Tain Beng mirip tersendat di kerongkongan. “Apa kau ingat kajut-mu Siti Asna?”

Seketika wajah Jamal memucat. Bibirnya bergetar. Juga jemarinya. Namun, ia mengangguk, pelan.

“Apa sekaratnya ebak ada kaitan dgn kajut, Guru?”

“Ini cuma dugaanku, tak ada salah untuk menjajal . Kurasa ebak-mu durhaka. ia sudah melukai perasaan kajut-mu. Carilah dimana kajut-mu sekarang, pintakan maaf untuk ebak-mu. Bila perlu, basuh kaki kajut-mu & minumkan airnya pada ebak-mu.

Cuma itu jalan satu-satunya. Ini waktu yg pas untuk saling memaafkan. Sudah 10 tahun mereka tak bermaaf-maafan.”

  Warung Padang Tetangga | Cerpen Ratna Ayu Budhiarti

Jamal menelan ludah. “Kami tak tahu di mana kajut, Guru.”

Guru Tain Beng menepuk bahu Jamal. “Temui Nardi, adik ebak-mu di Desa Raja. ia niscaya tahu alamat Zainab & kajut-mu. Bila bisa, kamu cukup meminta nomor telepon Zainab, pintakan maaf ebak-mu via telepon.”

*****

Cerita yg beredar, Jamal mesti mencium kaki pamannya itu sebelum Nardi berkenan menawarkan nomor telepon Zainab. Perbuatan Dulkarim tak hanya melukai Siti Asna, tapi semua adik-adiknya. Bahkan, mungkin bila Nardi meminta Jamal memotong jari-jemarinya semoga menerima nomor telepon itu, mampu jadi Jamal akan melakukannya.

Dia semakin tak tahan & tak kuasa setiap hari menyaksikan penderitaan bapaknya. Terlebih, ibunya tak henti berkuah air mata, siang & malam. Namun, sayangnya, Siti Asna tak pernah mau memberikan maaf. ia sudah telanjur sakit hati dgn Dulkarim. Mau tak mau, Guru Tain Beng ikut turun tangan. ia yg menelepon Siti Asna.

Yuk, tak elok merawat dendam. Bagaimanapun, ia anakmu. Sekarang ia sekarat. Sudah lebih seminggu. Berilah maaf. Apa Ayuk tak ingat betapa dulu Ayuk bersusah payah mengandung, melahirkan, menyusui, & membesarkannya? Apa Ayuk tega melihat anak yg dulu sangat Ayuk sayangi menderita?”

Tak ada sahutan. Siti Asna bergeming di ujung telepon. Sejak 10 tahun lalu hatinya sudah mengeras laksana kerikil.

Yuk, pada zaman Nabi bila ada anak yg durhaka pada orang bau tanah & sulit matinya, untuk menghindari siksa neraka, anak itu akan dibakar, bukan dikubur. Ayuk mau Dulkarim yg sekarat itu dibakar?”

“Bakar saja, Beng. Aku tak peduli. ia bukan anakku.” Suara Siti Asna terdengar bergetar, kemudian nada tuuut panjang tanda telepon diputus menggema.

Guru Tain Beng ternganga. ia tak menduga sama sekali jawaban Siti Asna. ia menoleh, menatap Jamal yg mendengar dr speaker ponsel. Wajah Jamal seketika memucat & sepasang air mata mengucur dr matanya.

Seketika bulu kuduk Guru Tain Beng berdiri tegak. (*)

G59, 2015.


* Ebak : bapak
** Ayuk : abang (panggilan untuk orang yg lebih renta)
*** Kajut : nenek

Guntur Alam, buku kumcer gotiknya terbit di Gramedia Pustaka Utama: Magi Perempuan & Malam Kunang-Kunang (2015).