Pikirannya agak goyah mirip sebotol minuman soda yg dikocok berulang kali kemudian dibuka & berhamburanlah semua isinya keluar. Mungkin sebab Mulatin sudah bau tanah & seumur hidup tak memiliki anak, demikian terkaan orang. Tapi sejatinya, musabab kenapa Mulatin sedemikian berang tiap ada hal kecil menganggu—misal lepek kopi yg dirubung semut, koran yg basah karena si loper koran melemparkan buru-buru & mengenai genangan air hujan di emper rumahnya, atau tepung karambol yg makuk kuku & susah dibasuh—merupakan karena dua karib sejawatnya, Mudakir & Muyasir, telah mati mendahuluinya.
Mulatin beserta Mudakir & Muyasir ialah gerombolan yg sejak muda gemar menyentil-nyentil biji karambol di pos ronda saban usai sembahyang isya. Mereka bertiga berkelakar tanpa mengenal waktu. Tak peduli kopi di gelas telah hampir tandas menyisihkan ampas kental. Atau suara jangkrik malam mulai bersahutan mengambarkan malam hampir turun ke fajar. Kita habiskan malam sebelum malam ini mengunyah kita, demikian rayu Mulatin untuk mengikat Mudakir & Muyasir yg memang dasarnya tidak mempunyai kesanggupan bergadang setangguh Mulatin.
Mudakir mati awal tahun kemudian. Mudakir memang sudah diindikasi mempunyai penyakit jantung. Mulatin mencatat sehabis Mudakir memasuki masa pensiun dr dinas kebersihan kota dgn jabatan yg tak sekalipun menandakan merangkak naik, sudah tiga kali Mudakir dilarikan ke rumah sakit karena nyeri di dada & serangan jantung ringan. Tapi Mudakir mati bukan alasannya jantung.
Pagi nahas itu, Mulatin memberi Mudakir susu fermentasi yg memang diminati sesudah masuk masa tua. Susu fermentasi itu diminum Mudakir sekali teguk, kemudian dilanjut derai tawa yg tak berkesudahan. Kata Mudakir, ibarat air tajin dicampur dgn sirup coco pandan. Tawa mereka kembali renyah. Sesaat sebelum Mulatin pamitan, Mudakir merasa perutnya penuh. Dan tak berselang lama, Mudakir terjatuh dr dingklik.
Mudakir seketika mati. Bukan alasannya jantung melainkan angin duduk yg secara tiba-tiba tiba mirip mendung. Dan itu membuat Mulatin benar-benar diterpa topan kesedihan. Seperti yg sudah menjadi hukum alam, Mulatin kemudian lebih sering menghabiskan waktu malam bersama Muyasir entah bermain karambol, meski kehilangan sosok Mudakir yg gemar melontarkan dagelan cadas, atau duduk-duduk di emperan rumah sambil menanti pedagang nasi goreng tengah malam, lantas keduanya memakan nasi goreng satu takaran untuk berdua.
Muyasir sepertinya terburu-buru menyusul Mudakir. Muyasir meski tak mempunyai indikasi penyakit jantung laiknya Mudakir, tetapi ia mati alasannya serangan jantung dengan-cara secara tiba-tiba suatu pagi, ketika ia baru saja membuka pagar depan rumahnya & seekor burung kolibri warna hitam pekat menghambur ke wajah & mematuk ujung hidung Muyasir. ia terkejut & ucapannya—jantungku copot—benar-benar kejadian alasannya Muyasir mati dgn diagnosa dokter sebagai serangan jantung.
Sejak itulah Mulatin seolah hidup jatuh ditimpa langit runtuh. Permainan karambol & gelas kopi di malam, sudah tak lagi mempan menjadikannya bungah. Sesekali memang anak-anak muda mengawalMulatin bermain karambol sambil nyanyi-nyanyi, genjrang-genjreng. Tapi tak ada yg bisa menggantikan Mudakir & Muyasir di depan Mulatin. Tali perkawanan bila kadung kencang bisa mengikat hingga membekas di sekujur tubuh.
Istrinya sering dikasih masukan agar sesekali mengajak Mulatin berlibur untuk mengendorkan ketegangan dlm syaraf Mulatin. Siapa saja pastilah akan terguncang bila dua sobat dekatnya mati dlm jarak yg tak terlalu lama—Muyasir mati sempurna saat perayaan seratus hari matinya Mudakir. Dalam pikiran Mulatin tentu tumbuh suatu praduga bahwa ia pasti segera menyusul kedua karibnya itu. Karena ikatan hati mereka sudah demikian kencang, hingga maut untuk ketiganya tak terlalu usang berselang.
Keinginan semakin meneror sanubari istrinya, saat suatu malam Mulatin mengigau & menderas kata-kata yg angker. Mudakir, Muyasir, gue akan menyusulmu. Yuk, kita main karambol di pelataran nirwana.
Sebelum terlanjur dgn igauan-igauan yg lebih menyeramkan, istrinya gegas membangunkan Mulatin yg kuyup mirip digebyur keringat.
“Meludah tiga kali ke kiri,” kata istrinya mengagetkan Mulatin. Mulatin masih belum ngeh dgn proposal istrinya yg serba secara tiba-tiba itu.
“Meludah tiga kali,” kata istrinya sekali lagi. Mulatin mirip robot menuruti. Wajahnya masih plonga-plogo belum ngerti. “Kamu gres saja mimpi buruk & ajuan nabi, meludah ke kiri tiga kali,” istrinya menerangkan.
“Mimpi jelek apa? Aku nggak kerasa?” tanya Mulatin.
“Kamu baru saja ngelindur. Dan gue ngeri sekali, mangkanya kubangunkan segera,” istrinya bangun & mengambilkan segelas air putih dr cerek beling bening di meja kamar mereka. Mulatin meneguk hingga tandas. Setelah mengelap keringat di tubuh hingga kasat, ia kembali tidur dgn membalik bantal lebih dahulu & menawan selimut hingga dada. Sedangkan istrinya justru terus tersadar dgn gangguan soal Mulatin.
Paginya, seperti yg Mulatin biasa kerjakan, ia membaca koran pagi & kemudian berjalan-jalan seputar komplek untuk sekadar menyapa bawah umur muda yg menganggur tidak punya pekerjaan. Mulatin sering memberi mereka banyak pesan tersirat.
Sebaliknya, selama Mulatin pergi, istrinya direpotkan dgn planning siang nanti untuk ziarah ke makam Syaih Jangkung, wali tersohor yg sering dijadikan tempat rujukan wisata ruhani. ia telah memesan mobil sewaan & memasak bekal makan siang.
“Mungkin Mulatin butuh wisata penyejuk hati,” gumam istrinya.
Pukul delapan, Mulatin pulang dgn wajah yg sarat angkara. Seolah ia baru saja ikut tubruk-gebuk dgn para preman yg suka menodongkan cutter pada ibu-ibu di pasar. Gerbang depan dibanting. Suaranya membuat ricuh dada istrinya. Sungut-sungut amarah meruncing di kepala Mulatin.
“Ada apa, Pak?”
Mulatin masih meracau & menyebut-nyebut kata-kata tak patut.
“Pagi-pagi kok sudah murka.”
“Anak-anak muda itu kurang asuh!”
“Siapa?”
“Siapa lagi jika bukan yg suka cakrukan di pos & nggak ada kerjaan itu!”
“Bapak emang diapain?”
“Mereka itu nggak sopan sama orang bau tanah.”
“Kan memang mereka mirip itu. Dan bapak sudah hapal betul tabiat mereka. Bapak sendiri sering ngajak main karambol mereka.”
Mulatin wira-wiri di sekeliling ruang tamu.
“Mereka mulutnya kayak kawah magma saja. Panas! Masak sama orang bau tanah nggak sopan. Bilang gue bau kafan, dalam waktu dekat nyusul Mudakir & Muyasir. Bener-bener kurang ajar!”
Istrinya mengelus punggung Mulatin. Tangan keriputnya berjumpa dgn geronjalan tulang punggung Mulatin yg menonjol alasannya adalah kekurangan daging. Sabar & sabar, itu yg bisa diucapkan oleh istri Mulatin.
“Aku cuma bilang, bila pagi-pagi jangan tidur ngorok di pos. Nggak lezat dilihat orang. Mending tidur di rumah. Kayaknya mereka mabok, terus mereka melempar biji karambol ke mukaku. Diiringi dgn cercaan keji.”
Istrinya baru mau membalas, Mulatin kemudian beranjak ke luar. “Aku mau ke tempat tinggal Pak Ustaz Jazuli. Mau ngadem,” kalimat itu membuat istri Mulatin sedikit lega. Daripada murka-marah di rumah, lebih baik menenteng api itu di sumber adem, rumah Ustaz Jazuli.
Mulatin meyambar kemeja putih yg tergantung & berlangsung ke stasiun erat rumahnya. Mulutnya memuntahkan ucapan kotor & ludah bebarengan. Rumah Ustad Jazuli ada di Ciganjur, Mulatin akan naik kereta dr Pondok Cina.
Amarah benar-benar menciptakan daging di tubuhnya meleleh. Panas & mengebul. Kalau saja bisa, sudah ditelan apa saja yg ditemui Mulatin di sepanjang jalan. ia masuk kereta yg sarat tapi tak terlalu sesak. ia masih bisa berdiri di sela-sela penumpang yg sibuk dgn gawai di tangan masing-masing. Gelontoran pendingin di gerbong kereta tak cukup menurunkan suhu pitam di dada Mulatin.
“Dimohon untuk memberi prioritas bangku pada lansia!” suara perayaan dr kereta.
“Aku masih muda! Kuat berdiri hingga tujuan! Ambil & makan itu dingklik! Tak butuh itu dingklik.”
Dalam gerbong terhenyak. Mata-mata orang tertuju pada Mulatin sarat curiga. Mulatin masih mencaci-caci semua yg bisa ia caci. Kemudian seorang gadis muda berpakaian serba biru bau tanah menuntun Mulatin & mendudukkannya. Senyum gadis itu cukup membungkam sebentar amarah Mulatin. Tapi gumaman berisi kalimat kotor masih dilontarkan.
“Aku masih besar lengan berkuasa! Aku masih muda! Semua orang bisa mati, yg muda & bau tanah siapa yg tahu. Kalian akan tahu rasanya menjadi renta saat gigimu rontok, & kakimu tremor! Sialan kalian semua!”
Terus. Terus. Dan terus. Mendadak Mulatin terduduk tidur. Mendengkur & ngiler, mungkin karena lelah mengumpat atau angin dingin ditambah daerah duduk nyaman.
“Mulatin! Akhirnya ananda hingga juga.”
“Kami sudah menunggumu.”
“Mudakir & Muyasir! Apa gue sudah mati?”
“Belum,” jawab Mudakir.
“Terus gue dimana?”
“Ini yg dulu sering ananda impikan. Kita akan main karambol di pelataran surga.”
“Ini surga?”
“Iya!”
Seketika Mulatin terbangun. ia kaget hampir terjatuh. Dan kian kagetlah Mulatin, sehabis dilihat gerbong kereta yg semula biasa-umumsaja kini semua terlihat lebih indah & berkilau. Dilapisi rumput warna hijau & pohon-pohon perdu yg mbenteyong dipenuhi buah ranum. Dan, semuanya yg menumpang kereta berpakaian serba putih, parasnya higienis & putih hingga urat-urat vena terpantul, & mereka berlangsung mengambang.
Mulatin mecubit pipinya sendiri. “Apa ini masih di surga?” Tapi deru kereta melenyapkan semua tanda tanyanya. (92)