Hidung | Cerpen Ahmadun Yosi Herfanda


GILA! Kini tinggal hidungku yg tersisa. Bagian-serpihan wajahku yg lain telah dikapling-kapling & dikontrak perusahaan iklan menjadi papan billboard. Pada bulu mataku melambai iklan mascara. Di bola mataku tertayang iklan softlens. Lalu di pipi kanan-kiriku & dahiku terhampar iklan bedak. Sedangkan di bibirku tersungging iklan lisptik. Sementara kedua alisku tersisa iklan eyebrow. Kemudian di sekeliling kedua mataku terbersit iklan eyeshadow. Dan, terakhir, di gerai rambutku terjuntai iklan dua produk sekaligus: shampo & cat rambut.

Kini hidungku pun sedang diincar oleh perusahaan iklan. Bukan untuk iklan ring emas atau plaster antikomedo, tetapi klinik kecantikan paling besar yg baru saja dibuka di kotaku. Terpengaruh oleh selebritis Korea yg ramai-ramai mengoperasi hidung & matanya, sekarang selebritis Jakarta pun ikut-ikutan memancungkan hidung & mendandani mata dgn operasi plastik. Tentu, ini pangsa pasar gres bagi para pebisnis klinik kecantikan. Maka, klinik-klinik keelokan gres bersusulan dibuka di ibu kota. Dan, demi mengungguli persaingan, mereka gencar beriklan dgn aneka macam cara.

Masalahnya, apakah gue mesti merelakan hidungku yg sudah tepat untuk akal-akalan dioperasi & dijadikan acuan untuk kepentingan penawaran spesial, lalu layar televisi saat gue membaca gosip akan terbaca goresan pena berjalan yg mempromosikan suluruh alat kecantikan yg menempel di wajahku. Dan, pemirsa akan secepatnya tahu bahwa semua yg tampak di wajahku yaitu tempelan, kecantikanku yaitu palsu, sebab sesungguhnya wajahku yg cantik hanyalah polesan belaka alias topeng.

“Mbak Gita, gimana? Oke bersedia ya hidungnya kami perjanjian !” desak seorang manajer sebuah perusahaan iklan ternama yg sedang mengincar hidungku.

“Aduh, Mbak. Seluruh wajahku ini sudah gue gadaikan untuk papan iklan. Tinggal hidungku yg tersisa. Masak mesti gue kontrakkan juga,” jawabku, bernada keberatan.

“Tidak untuk selamanya kok, Mbak. Bisa dicoba sebulan dahulu. Bila cocok, bisa diperpanjang. Lumayan lho, Mbak. Sebulan 100 juta, & Mbak Gita akan kami persetujuan langsung setahun. Itu artinya 1,2 miliar,” desak sang manajer perusahaan iklan itu lagi.

Gila! Rp 1,2 miliar. Jumlah yg sungguh menggiurkan, & gue sangat membutuhkannya untuk menuntaskan renovasi rumah orang tuaku di Cibubur, & pula untuk melengkapi perabot rumahku sendiri di tempat yg sama. Sisanya mampu untuk menambah mobil mewah lagi, sehabis dikurangi zakat untuk rumah yatim piatu.

Tapi, bagaimana dgn hidungku? Bukankah hidung ciptaan Tuhan ini sudah sempurna? Mana mungkin gue menyampaikan hidungku hasil operasi plastik suatu klinik keelokan, meskipun hanya di iklan atau tulisan berlangsung di televisi. Bukankah itu sebuah bentuk kebohongan publik, & penghinaan pada Tuhan yg sudah membuat hidungku ini dgn begitu tepat.

“Bagaimana, Mbak Gita? Kami memerlukan jawaban hari ini juga,” desak sang manajer perusahaan iklan itu lagi.

  Penulisan Kalimat Langsung Yang Benar Dalam Penulisan Cerpen Adalah

“Bolehkah saya minta waktu lagi untuk berpikir?” jawabku.

“Kapan kami bisa menerima jawabannya?”

Aku tak bisa menjawab, alasannya tak tahu kapan dapat menunjukkan keputusan untuk mengontrakkan hidungku. Manajer iklan yg sebenarnya pula manis itu memandangku dgn gelisah, berharap balasan “ya” dr mulutku. Aku menunduk sambil menyusupkan jari-jari tangan kiriku ke rambutku yg tergerai lembut, kemudian kupijit-pijit kepalaku dgn jari-jari tangan kiriku yg kuku-kunya pula sudah dikontrak iklan kuteks.

“Kenapa tak hidung Mbak Jesslyn saja yg dikontrakkan. Mbak Jesslyn manis lho, & hidung Mbak sangat bagus,” kataku agak nyaring, sambil memandang manajer perusahaan iklan yg gigih mengincar hidungku itu. Suaraku seperti terlepas dr himpitan beban di dadaku yg terasa agak sesak.

Perempuan itu terlihat terperangah, tak mengira jawabanku akan berbalik mengincar hidungnya. “Ah, Mbak Gita ini ada-ada saja. Aku kan manajer perusahaan iklan. Masak mau mengontrakkan hidungku sendiri. Itu namanya semangka makan semangka, Mbak. Yang benar aja!”

“Ya apa salahnya? Tak apa kan merangkap menjadi bintang iklan?”

“Bos saya itu menugaskan saya untuk mengontrak hidung Mbak Gita. Bukan mengontrak hidung saya sendiri.”

“Coba saja tawari hidung Mbak Jesslyn. Siapa tahu beliaunya mau?”

“Bukannya mau, malah mampu dipecat saya.”

Aku tersenyum kecut mendengar jawabannya. Wajah Jesslyn tampat memerah. Suasana jadi tegang & senyap. Hanya terdengar suara televisi samar-samar dr ruang tunggu. Perempuan manajer perusahaan iklan itu jadi terlihat kikuk & serbasalah. Aku menarik napas dalam-dalam untuk meredakan ketegangan. Tiba-tiba wanita itu bangun, & berkata dgn nada agak berat,

“Ya sudah, jikalau begitu, saya tunggu balasan Mbak Gita hingga besok sebelum jam 12 siang. Jika belum ada balasan, kami akan berikan kesempatan ini pada presenter TV yg lain. Saya tunggu teleponnya besok siang ya. Selamat siang!”

“Baik, Mbak Jesslyn. Akan saya coba pertimbangkan baik-baik,” jawabku ringan, sambil mengantar manajer iklan itu ke pintu keluar ruang kerjaku.

*****

Aku nyaris tak mampu tidur menimbang-nimbang anjuran kesepakatan iklan yg menggiurkan sekaligus dilematis itu. Sampai tengah malam gue memeriksa & merenung-renungkan hidungku di depan cermin, sambil sesekali memencet-pencetnya. Betapa mahalnya nilai hidung ciptaan Tuhan ini, pikirku. “Tafakur hidung” gue lanjutnya sambil duduk bersandar di ujung ranjang, sampai dini hari.

Membayangkan nilai kontraknya Rp 1,2 miliar setahun, tentu gue sangat tergiur. Tapi, bagaimana dgn hidungku yg sudah tepat ini? Apakah harus akal-akalan dioperasi, & gue mesti melakukan kebohongan publik bahwa hidungku yg bangir ini merupakan hasil operasi plastik suatu klinik keayuan? Bukankah itu artinya gue mencibir Tuhan yg sudah menciptakan hidungku dgn begitu tepat? Bisa-mampu Tuhan mengutukku gara-gara persetujuan hidung ini…

*****

Tubuhku mendadak menjadi sungguh ringan. Seperti terbebas dr gravitasi bumi, gue pun mengapung di udara. Dari ketinggian gue menyaksikan sedanku ringsek alasannya adalah dihajar bus Trans-Jakarta. Rupanya mobilku masuk ke jalur bus way persis di hadapan bus Trans-Jakarta yg sedang melaju kencang di pagi buta. Orang-orang tampak turun dr bus & menyerbu mobilku. Beberapa orang mencoba membuka pintu depan mobilku. Tapi tak gampang, karena pecahan depan mobilku benar-benar ringsek, & pintu depan mobilku terlihat pesok ke dalam.

Mungkin gue telah mati & jiwaku kini melayang di udara. Aku melihat tubuhku, berpakaian seragam penyiar televisi swasta ternama, terkulai lemah di balik stir mobil, dgn wajah penuh darah. Tiba-datang gue teringat hidungku yg sedang diincar perusahaan iklan dgn proposal kesepakatan 1,2 miliar rupiah. Pastilah hidungku kini sudah hancur, & perusahaan iklan itu niscaya urung mengontraknya.

Aku mencoba meraba hidungku, namun yg terasa hanyalah ruang kosong. Aku memperhatikan tubuhku yg melayang bersamaku, yg kulihat cuma sosok putih menyerupai gumpalan asap yg mengambang di udara. Aku yakin itu jasad halusku, sedang jasad kasarku tertinggal di dlm mobil yg ringsek & kini sedang dikeluarkan oleh para penumpang Trans Jakarta. Aku percaya sudah tewas dlm kecelakaan itu, & badan kasarku, wajah cantikku, hidung bangirku, sudah tak ada artinya lagi bagiku, alasannya semua tinggal mayit, & sebentar lagi akan dikubur di pemakaman lazim dgn diantar air mata ibuku.

Dengan badan amat ringan gue menjajal melayang lebih tinggi lagi, terbang menembus awan, lalu mengarungi ruang angkasa yg hampa, kembali pada Tuhan sang Maha Pencipta, melalaikan semua persetujuan iklan yg sudah menimbulkan wajahku selaku billboard. Tapi, datang-datang terdengar suara tangis ibuku, memanggilku dgn pilu, keras sekali, & datang-tiba pula terasa ada kekuatan besar yg menyedotku ke arah tubuhku yg sedang digotong ke mobil ambulans, & secara tiba-tiba gue terjerembab kembali ke dlm kegelapan yg begitu pekat…

*****

Lagi-lagi bunyi ibuku yg membuatku terjaga dr pingsan, entah berapa usang. Kali ini ibuku tak menangis. Matanya tampak berbinar tatkala melihatku siuman. “Syukurlah ananda selamat, Gita. Ibu sungguh mengkhawatirkanmu,” katanya lembut sambil mengelus-elus punggung telapak tanganku.

Aku menjajal membalas senyumnya, tetapi hampir semua serpihan wajahku terasa kaku & agak nyeri. Aku meraba hidungku, ada plaster tebal yg menutupnya. Pipi kanan & kiriku pula ditutup plaster tebal & lebar. Begitu pula dahiku. Duh, hancurlah wajah komersialku. Hancurlah kecantikanku.

Aku terkejut tatkala menyaksikan Jesslyn, manajer iklan yg mengincar hidungku itu, berdiri di belakang ibuku. Aku ingin memaki-makinya, karena gara-gara dialah gue tak bisa tidur, kemudian terpaksa mengendarai mobil dlm kondisi sangat mengantuk, & terjadilah kecelakaan itu. Ia tersenyum melihatku siuman, & senyum manisnya meredakan kemarahanku. “Istirahatlah dulu, Mbak Gita. Semua akan beres,” katanya.

  Musnahnya Hutan Larangan | Cerpen Bahagia

Aku tak tahu, apa yg dimaksudnya akan beres itu. Tapi, kata-katanya itu menggerakkan tanganku untuk meraba hidungku lagi. Plaster tebal masih menutupinya, & gue tak tahu separah apa luka di hidungku. Aku yakin, Jesslyn sudah tak lagi mengincar hidungku, & mudah-mudahan inilah yg dimaksudnya semua akan beres tadi. Kupaksa diriku untuk memejamkan mata, menjajal tidur untuk melupakan seluruhnya.

Tiga hari kemudian Jesslyn menjengukku lagi bareng ibuku, membawa sekeranjang buah & satu ikat bunga segar. Kali ini ia duduk di akrab wajahku. Sepertinya ada yg sangat penting. “Saya besar hati, Mbak Gita sudah semakin sehat,” katanya.

“Terima kasih,” sahutku.

“Tentang wajah Mbak Gita jangan khawatir. Dokter jago bedah plastik sudah menanganinya tatkala Mbak Gita masih pingsan. Kalau sudah sembuh nanti, dgn sedikit polesan, dijamin wajah Mbak Gita akan kembali mulus seperti sediakala. Tinggal hidung Mbak Gita yg belum dioperasi,” sambungnya.

Mendengar kata “hidungku belum dioperasi”, gue jadi penasaran. “Maksud Mbak Jesslyn bagaimana?”

“Masih dibiarkan sompel ujungnya, sebab tak didapatkan sompelannya.”

Aku terkejut & merinding mendengar hidungku dibiarkan sompel. Aku jadi ingat hidung patung Roro jonggrang di Candi Prambanan yg sompel hidungnya. Tampak sungguh mengusik, meski masih terbayang kecantikannya. Apakah hidungku akan sompel separah itu untuk seterusnya?

“Tapi Mbak Gita jangan khawatir. Saya sudah berbicara dgn dokter bedah yg mengatasi Mbak Gita. Ibu pula sudah baiklah,” kata Jesslyn, masih menyimpan teka-teki & maksud tersembunyi.

“Setuju bagaimana?” sergahku.

“Semua sepakat untuk mengoperasi hidung Mbak Gita di klinik kecantikan yg akan mengontrak hidung Mbak Gita untuk iklannya itu. Karena cuma klinik keayuan itu yg siap hebat bedah plastiknya & lengkap peralatannya. Dokter mahir bedah plastiknya dr Korea.”

Aku terperangah mendengar penjelasan manajer iklan yg mengincar hidungku itu. Aku jadi tahu bahwa ia adalah pemburu yg betul-betul ulung. Sampai luka-luka begini hidungku masih terus diburunya juga. Aku tak menjawab, karena gue betul-betul tak tahu mesti menjawab bagaimana! 


*****

Tangerang Selatan, Juni 2015
Ahmadun Yosi Herfanda, lahir di Kaliwungu, Kendal, Jawa Tengah, 17 Januari 1958. ia menulis puisi, cerpen, & esai sastra. Bukunya yg sudah terbit, antara lain, Ciuman Pertama untuk Tuhan (kumpulan puisi, Logung Pustaka, 2004), Sebutir Kepala & Seekor Kucing (kumpulan cerpen, Bening Publishing, 2004), Badai Laut Biru (kumpulan cerpen, Senayan Abadi Publishing, 2004), The Warshipping Grass (kumpulan puisi bilingual, Bening Publishing, 2005), Resonansi Indonesia (kumpulan sajak sosial, Jakarta Publishing House, 2006), Yang Muda yg Membaca (buku esai, Kemenegpora, 2009), & Sajadah Kata (kumpulan puisi, Pustaka Littera, 2013).