Guru Atma menatap hujan yg belum berhenti turun di beranda. Hidungnya kembang kempis demi menghirup ampo, atau aroma tanah selepas hujan itu. Ia tersenyum memandang hujan yg pertama turun di kota ini setelah sekian lama hari-hari kota ini tengadah menatap matahari yg memanggang. Kopi di sampingnya mendingin ia biarkan. Radio yg kemrosok alasannya adalah kehilangan sinyal, pula tak ia pedulikan. Hanya rintik hujan yg ia dengarkan. Hanya bau ampo yg menguasai keheningan benaknya.
Ah, ampo ini yaitu aroma masa kecilnya & pula gairah hidupnya sebagai guru honorer di kota pinggiran yg penuh suka duka ini.
Kata orang guru Atma itu asing. Mengabdi selaku guru di kota pinggiran ini. Ia mengajar di sebuah Sekolah Menengah Pertama yg berbasis agama, yg hampir putus asa mendidik kebaikan pada siswanya. Pun penduduk nyaris tak peduli dgn pendidikan atau agama. Mereka hanya bekerja menghalalkan segala cara. Kejahatan yaitu sebuah kebiasaan yg tak bisa dilarang, apalagi sekadar pendidikan agama di madrasah.
Namun guru Atma yakni seorang yg spontan. Kebetulan saja ia ditawari seorang temannya yg menjadi kepala sekolah di sini.
Kau masih mau menjadi guru? Aku mau menawari ananda mengajar di sekolahku. Kebetulan sekolahku butuh guru bahasa. Tentu ijazahmu lebih berkhasiat di sini. Soal tempat tinggal, gue ada suatu rumah kosong di sini. Dan kurasa ini lebih baik ketimbang menjadi pelukis potret di kampung sana?
Begitulah hanya karena ajuan dr temannya itu, guru Atma mengangkat koper pakaiannya. Juga lantas alat-alat lukis itu ia susulkan belakangan. Aktivitasnya yg kedua ini tidak ingin ia tinggalkan. Entah ia ingin menggambar apa di kota gres ini. Kota yg nyaris separuhnya sudah gosong oleh kemarau panjang. Sedang separuhnya lagi terbakar alasannya adalah kesemrawutan & kerusuhan. Mungkin guru Atma betul-betul terpikatmelukis kota ini yg masyarakat nyaris tak peduli dgn pendidikan, agama, bahkan Tuhan.
“Aku honor kau disini sesuai dgn kemampuanku. Maklum, sekolah tak banyak muridnya. Yang penting kau bisa makan & hidup di sini. Aku tahu kau pasti mau. Aku kenal kau. Aku percaya kau masih idealis mirip zaman kuliah dulu. Bukan mirip mereka yg gemar menjual ijazah S1 untuk mencari pekerjaan atau menjadi pegawai negeri.”
Kawannya itu memang tak perlu membujuk guru Atma. Sekarang guru Atma sudah 1 tahun mengajar di sekolah itu. Sekolah yg mengajarkan agama & pelajaran biasa menjadi satu. Kawannya yg idealis itu masih percaya bahwa pelajaran agama bisa mengubah wajah bopeng kota ini menjadi lebih baik. Ia malah takut bila dibentuk pelajaran biasa saja.
Pun ia pula melepaskan diri dr pemerintah yg setengah-setengah mau membantunya. Memberi tunjangan namun pula memotong untuk biaya administrasi, biaya ketebelece, dll. Mereka pula suka minta begini & begitu kalau sudah merasa pernah memberi tunjangan sesuatu. Mata pelajaran ini dihilangkan, yg itu ditambah, diganti kurikulum gres, pelajaran agama pula tak perlu banyak-banyak, selaku selingan saja. Maka, si kawan guru Atma itu pilih berlepas diri dr pemerintah. Perusahaan tekstil & kebun sawitnya di Sumatra itu ia jual untuk membuat sekolahan di Kota Solo ini.
Sekarang, lima tahun berdiri sekolah ini masih tak banyak berganti. Jumlah muridnya hanya satu kelas semua. Kelas I satu kelas, kelas II satu kelas, & kelas III satu kelas. Lulusannya bisa dijumlah dgn jari setiap tamat tahun. Tapi sekolah itu tetap bertahan. Pemerintah pula enggan menutupnya. Mereka cemas bila tak ada penduduk di kota ini yg sekolah, maka akan menjadi sorotan dunia. Mereka lebih takut di-bully oleh netizen di media sosial.
Guru Atma mengajar bahasa di kelas I sampai III. Ia pun senang-senang saja. Tidak peduli dgn gajinya. Atau jumlah jam mengajar. Tatkala longgar, ia senantiasa gampang tergerak untuk berada di kelas & mengajarkan bahasa Indonesia dgn baik & benar pada anak-anak itu. Walaupun anak-anak adakala tak peduli, tak memperhatikan, memainkan gawai di kelas, atau malah ada yg pacaran di WC guru. Guru Atma bahwasanya mengenali hal itu. Tapi ia tetap tersenyum. Mengajar dgn cara yg tak biasa. Kadang bawah umur malah merasa heran dgn kebiasaan guru gres itu. Harusnya guru itu tak bertahan sampai setahun ini. Harusnya ia sudah hengkang dr dahulu-dahulu seperti guru yang lain. Ataukah ia memang orang-orang gila seperti sang kepala sekolah yg suka berpenampilan menyerupai koboi itu?
Jam sebelas berdenting di belakang punggung guru Atma. Gerimis masih nggrejeh untuk pertama kalinya hujan selama satu tahun kemarau ini.
“Ini hujan menandakan baik atau jelek?” tanya suara yg tiba-tiba naik dr halaman. Pak kepala sekolah ternyata yg tiba. Sejak Magrib sampai kini masih gerimis tak mau henti-henti.
Guru Atma tersenyum menatap temannya tiba, kemudian kembali pada gerimis di halaman, sejenak beralih pada seekor bangkong yg keluar dr balik pot yg terbalik.
“Tanya pada bangkong itu. ia niscaya lebih tahu?”
“Andai saja ia bisa bicara, kawanku.”
“Tentu ia bisa bicara.”
“Ya, namun gue kan tak tahu bagaimana bahasa mereka?”
“Oh, kau tak perlu menjawabnya. Cukup dengarkan saja.”
“Benarkah. Aku tak perlu mengajaknya bicara, cukup menyimak saja mereka berkata.”
“Ya, kita tunggu saja. Semoga saja ia mau bicara soal hujan sesore ini.”
Tapi, si katak besar tak mau bicara. Si bangkong cuma berdiam di halaman, membiarkan tubuhnya yg bintil-bintil seperti kutil itu terguyur gerimis. Sesekali lidahnya menjulur kalau ada serangga kecil atau nyamuk yg melintas. Makhluk-makhluk itu akan bermalam selamanya di perut sang bangkong itu.
“Sial! Ia sepertinya tak mau bicara!”
“Ya, bahkan bangkong itu pun tak mau bicara pada kita.”
“Ah, gue jadi takut dgn amsal hujan pertama kali ini mitra.”
“Tapi gue masih punya sedikit impian baik. Aku masih punya firasat itu. Sang Pemilik Hujan tak serta merta murka. Ia masih menanti kita menjadi orang baik yg digemari-Nya.”
“Tapi dr sisi apa kau bisa bicara tentang cita-cita baik?”
“Ampo! Ya, kau bisa cium ampo tanah halaman ini?”
Si kepala sekolah mengangguk. Sementara guru Atma membuatkan kopi untuk kawannya. Seperti biasa keduanya akan mengobrol panjang ihwal hujan di beranda ini.
“Ampo ini terasa gurih & lezat seperti masa kecil kita,” kata pak kepala sekolah.
“Ya, gue pula merasa. Semoga di kawasan lain pula seperti yg kita rasakan,” tukas guru Atma.
“Ah, gue ragu-ragu di kota terkutuk ini.”
“Tidak, tak jangan sebut kota ini terkutuk. Kau yg mengajak gue ke sini. Kau sudah lama tinggal di sini. Aku tak mau mendengar ungkapan keputusasaan dr kamu.”
“Yah, begitulah, terkadang gue lelah saja. Maafkan saya.”
“Kau tentu masih ingat kisah yg disampaikan guru Sekolah Dasar kita itu. Tentang dua orang pengendara yg datang ke suatu kota. Tatkala mereka sama-sama kembali & ditanyai wacana pengalaman mereka tinggal. Seorang menjawab bahwa kota itu busuk & penduduknya jahat. Ia tak kerasan tinggal di situ. Sementara orang kedua, ia menjawab bahwa kota itu mengasyikkan, penduduknya ramah kepadanya. Dan ternyata kemudian dikenali bahwa yg membuat mereka tak kerasan tinggal yaitu diri mereka sendiri. Yang jahat tak kerasan tinggal. Yang baik kerasan tinggal. Hati itu cermin pemiliknya sendiri-sendiri.”
“Ya, gue masih ingat. Karena guru itu pula gue & ananda setuju setelah dewasa ingin mengabdi sebagai guru.”
“Ya, kau sukses membangun sekolah di sini, bahkan tanpa santunan pemerintah. Kau mahir.”
“Kau mau membantuku. Melepas kariermu selaku pelukis potret. Itu membuatku senang & berusaha untuk tetap tinggal di sini.”
Keduanya tertawa. Meminum kopi & menyantap ubi rebus dgn lezat.
“Bau ampo ini menerangkan kita tetap tinggal & mengabdi di sini.”
Esoknya, hujan berhenti. Tapi siangnya tatkala sekolah usai & guru Atma mau pulang, hujan kembali turun. Di sekolah murid-murid sudah sepi. Tinggal beberapa guru. Tapi mereka ternyata memakai mantel. Hanya pak guru Atma yg tak menggunakan. Bahkan si kepala sekolah itu pula tak menjinjing payung.
“Kau tak bawa payung?”
“Aku ingin berhujan-hujan. Aku ingin mencium bau ampo. Kau cium bau itu di halaman, kan?”
“Iya, gue pula menciumnya,” jawabnya sambil menutup payungnya. Keduanya berlangsung turun di halaman, membiarkan seluruh baju mereka berair oleh hujan & bahkan buku-buku tas mereka.
“Ada sunahnya untuk berhujan-hujan.”
“Iya, sudah lama kita tak melakukannya. Sunah yg enak untuk berhujan-hujan begini.”
Mereka tertawa besar hati.
“Mau mampir di tempatku lagi?” tanya guru Atma.
“Ah, gantian saja. Sekarang di tempatku. Istriku tadi menyebarkan sop manten untuk mengingat tiga tahun pernikahan kami. Kau kuundang ke tempatku.”
“Dengan busana berair begini?”
“Tidak apa. Nanti kau bisa pakai kaus & sarungku.”
Mereka tertawa berjalan keluar dr halaman. Anehnya, begitu keluar, bau dr halaman, bau ampo itu makin usang makin tipis. Bahkan, hujan menjadi berbau bacin & bila jatuh di pengecap air itu terasa anyir. Ini menyeramkan keduanya. Mereka jadi bergidik ngeri.
“Tidak semua tempat mirip yg kita duga ternyata. Jalanan tak dekat.”
“Bahkan taman bermain ini pula berbau sama. Menakutkan. Entah kerusakan apa yg terjadi di sini.”
“Tanda-tanda akhir zaman sudah tiba. Semua didahului dgn kondisi begini. Ayo kita bergegas!”
Jalanan, taman bermain, pasar, & rumah- rumah sedikit sekali yg berbau ampo gurih. Rata-rata berbau anyir & anyir. Keduanya bahkan berlari dr hujan yg seakan mengejar-ngejar mereka. Berharap segera hingga di rumah kepala sekolah.
“Rumahmu terasa jauh sekali. Napasku kembang kempis. Sial napas rokok.”
“Lima belokan lagi. Kita mesti tetap berlari.”
Keduanya berlari. Mereka kini bertudung buku & tas dr hujan. Tak peduli dilihati oleh orang-orang yg menepi di pinggir jalan, wanita pramuniaga di toko-toko, dilihati anak-anak yg bermain di beranda rumah mereka, dilihati pemulung yg menepi di pojok halte.
Namun, orang-orang itu sudah mafhum dgn dua guru gila itu. Konon keduanya seniman nyentrik. Sudah renta masih saja balapan lari saat hujan begini, mirip anak kecil saja! pikir mereka.
Dan diujung jalan itu, terdapat suatu rumah. Seorang wanita menanti di beranda masih dgn celemek di perutnya yg menutupi kehamilannya. Sebulan lagi ia melahirkan. Bayi itu konon yaitu bayi pertama yg lahir setelah 10 tahun tak ada kelahiran bayi di kota ini.