Pembicaraan Keluarga | Cerpen Rifat Khan


Aku ikut duduk malam itu, hujan gres saja reda, suara jangkrik di luar sana terdengar terperinci di indera pendengaran. Di ruang itu, kakek masih duduk sedikit menunduk, paman Ibrahim sesekali mengelus jenggot di dagunya, & bapak masih saja duduk dgn putaran tasbih di tangannya. Ibu & adikku datang membawa beberapa gelas teh.

Ada obrolan panjang malam ini, ada sesuatu yg mesti disepakati & mesti dirampungkan. Selepas gelas-gelas teh itu dibagi ke semua yg ada di bundar itu, Ibu ikut duduk dgn damai di samping bapak. Adikku berjalan masuk menjinjing nampan yg sudah kosong. Kakek mulai membuka bunyi. Suaranya begitu berat & sedikit tegas meski sesekali batuk-batukan.

“Mereka semalam meminta Rp 60 juta. Tak cuma itu, mereka pula minta ditambah satu ekor sapi.” Kakek batuk dua kali. Tatapannya bergiliran ke arah paman Ibrahim & bapak.

Semalam, kakek bareng paman Malik, adiknya bapak yg paling kecil di bawah paman Ibrahim, memang datang nyelabar ke Desa Sakra. Tapi, semalam memang belum ada kata setuju antara kedua keluarga. Mereka pulang dgn tatapan hampa. Dan malam ini, apa yg mereka bicarakan semalam mesti diatasi.

Sebab, bila nanti mereka akan balik untuk nyelabar kedua kali, semua mesti sudah kelar. Meski paman Malik tak bisa ikut berkumpul malam ini sebab ia mesti ke Pademare menjenguk mertuanya yg tengah sakit, persetujuan harga mesti diputuskan, untuk nanti dibawa & ditawarkan ke pihak keluarga Ratmi, wanita yg akan dipinangkan untukku.

“Mereka keterlaluan, mereka pikir kita orang kaya apa?” Paman Ibrahim bicara dgn nada keras. Ada raut emosi terlihat di wajahnya, memang demikian sifatnya selama ini. Waktu anaknya Si Udin tertangkap tangan merokok kelas VI Sekolah Dasar dahulu. Paman Ibrahim murka habis-habisan & menendang anaknya itu tiga kali.

“Kamu hening, pakai otak & hatimu. Jangan ananda cepat emosi. Kakek memandang paman Ibrahim dgn tajam. Paman Ibrahim menunduk sesaat. Ia menghela napas begitu panjang.”

“Bagaimana menurutmu?” Kakek mengarahkan persepsi ke bapak yg masih saja khusuk dgn putaran tasbih di tangannya. Bapak sedikit terkejut & memandang kakek.

“Begini, Pak, saya semalam menimbang-nimbang ini. Sungguh, Bapak tau sendiri kalau panen kita gagal lagi. Uang tabungan benar-benar cuma ada seperempat saja dr yg mereka minta.” Bapak dgn bunyi pelan menjelaskan pada kakek.

  Suara Muazin dari Menara | Cerpen A Makmur Makka

Aku masih membisu saja, memang tak ada hak untukku bicara malam ini, cuma orang bau tanah yg berhak angkat bicara. Semula gue tak ingin ada di sini, gue ingin di kamar saja. Tapi, maghrib tadi Ibu meminta semoga gue ikut selaku pendengar. Memang, ajakan keluarga Ratmi terlalu besar menurutku. Kami tidak punya uang sebanyak itu, terlebih mesti ditambah seekor sapi. Aku memandang mereka bergiliran: paman, bapak, & kakek. Semua mirip dirundung beban yg berat. Kakek lebih sering batuk, paman lebih sering tampakmenggerak-gerakkan giginya hingga suara gigi yg bersentuhan itu dapat terdengar. Bapak, selain masih memutar tasbih, sesekali ia menggaruk keningnya.

“Bapak, ijab kabul mesti terlaksana. Kabar ini secepat itu telah hingga ke kerabat & keluarga jauh. Akan malu kita kalau sampai gara-gara uang, terus Alif batal kawin. Apa yg akan orang-orang bilang. Alif & kita akan menanggung malu seumur hidup.” Ibu bicara sembari memandang kakek dgn tatapan sendu. Mata itu seperti setengahnya telah basah.

“Terus, maksudmu kalau mereka minta sebesar itu kita mesti penuhi. Jika perlu, sampai menjual rumah ini! Malu pula hanya sebentar Mbak Minah. Ketimbang selamanya kau akan menyesal, selamanya kau akan menanggung utang. Kalaupun kita jadikan akta rumah ini jadi jaminan bank.” Paman Ibrahim menimpali ucapan Ibu dgn emosi. Wajahnya tampaksudah memerah. Bapak mencoba menenangkannya.

“Ibrahim, itu sebabnya kita berkumpul. Jangan cepat menyimpulkan begitu. Banyak otak, akan banyak seni manajemen & cara yg kita temukan nantinya.”

“Ibrahim, ananda jangan emosi. Berkali- kali saya bilang, emosi tak akan memperoleh solusi apa-apa. Mari bicara dulu dgn hening.” Kakek menambahkan. Matanya semakin tajam memandang paman Ibrahim.

“Maaf, maaf semuanya. Tapi, ini terlalu besar. Apakah tak bisa kita menjajal menawar, mencari jalan tengah yg tak memberatkan siapa-siapa.” Paman Ibrahim mencoba bicara sedikit pelan. Matanya terus saja bergantian menatap bapak & kakek.

“Semalam gue & Malik mencoba menawar. Kami terus menawar dgn harga yg kita mampu. Tapi, keluarga wanita itu mulai membicarakan ihwal bibit bebet bobot-nya. Mereka terus menceritakan gelar darah biru yg mereka punya. Dan berdasarkan mereka, harga itulah yg paling pantas. Jika kita menawar rendah & mereka menyetujui, mereka bilang kalau mereka akan aib. Harga diri mereka akan jatuh. Dan akan menjadi omongan bulan-bulanan orang sekampung. Itu sebabnya, kami minta balik dahulu untuk berunding kembali. Kakek menjelaskan dgn pelan & tempo bicaranya sedikit lambat.”

  Cerpen Anak-anak Rimba | Cerpen Damhuri Muhammad

“Memang apa gelar si Ratmi itu?” Paman Ibrahim mengajukan pertanyaan.

“Dia bergelar Baiq, kau tahu sendiri kan bagaimana mereka? Mereka merasa turunan aristokrat. Mereka merasa kasta mereka di atas kita. Mereka semena-mena menentukan harga pinangan. Mereka tak peduli kalau keluarga si laki-laki tak bisa menyanggupi ajakan itu. Malah mereka mulai menerangkan pekerjaan si Ratmi yg dalam waktu dekat akan diangkat jadi guru PNS. Kalau kita tak bergerak cepat & si Ratmi sudah jadi PNS, malah harganya akan di atas Rp 100 juta & itu akan kian berat.” Kakek kembali menerangkan.

Aku terdiam mendengar ucapan kakek. Permintaanku untuk menikahi Ratmi sungguh-sungguh tak pernah terpikir akan menjadi beban bagi mereka. Kami saling mengasihi & menetapkan menikah. Tapi, keluarga besar Ratmi selalu saja menengok sejarah, selalu saja merasa turunan mereka turunan aristokrat, turunan berdarah biru. Ini perihal problem harga, & akad nikah di pulau ini akan selalu berkaitan dgn itu. Aku belum mengerti & tak akan pernah bisa mengerti & memahaminya.

“Menurut kakek solusi apa yg paling baik?” Tanya paman Ibrahim lagi.

“Solusi terbaik ialah mereka mesti menikah, apa pun caranya.” Dengan cepat Ibu menimpali.

“Diam dulu kamu, diam…!!!” Bapak menatap Ibu. Ada raut sedikit murka di wajahnya. Ibu menunduk & seketika membisu. Suasana terasa sedikit tegang.

“Bagaimana menurutmu?” Paman Ibrahim tiba-tiba bertanya padaku. Aku cuma diam tak tahu hendak mau bilang apa. Otakku tiba-tiba buntu malam itu.

“Begini, begini. Malam ini kita mesti sepakati berapa harga yg akan kita bawa ke keluarga Ratmi dikala tiba nyelabar lagi besok malam. Ini harus tuntas.” Kakek bicara lagi menjajal mencairkan suasana, sesekali ia jeda bicara & menghelas napasnya.

“Biar lebih cepat. Berapa duit yg ketika ini ada & telah ananda siapkan?”

Kakek menatap bapak.

“Jujur, yg ada dikala ini hanyalah Rp 15 juta. Ada Rp 1 juta lagi dlm bentuk gelang emas.” Bapak bicara dgn lambat tanpa melihat wajah kakek.

“Berarti yg ada kini Rp 16 juta & saya akan menyertakan Rp 4 juta, cuma jumlah itu yg benar-benar saya punya. Totalnya berarti Rp 20 juta. Ditambah Malik semalam bilang kalau ia ada sekitar Rp 3 juta saja. Totalnya Rp 23 juta.” Kakek menjajal menotal uang yg memang telah ada.

  Sepanjang Aliran Sungai | Cerpen Sungging Raga

“Saya ada tabungan Rp 5 juta. Itu bisa digunakan.” Paman Ibrahim menambahkan.

“Berarti semuanya Rp 28 juta. Sedangkan, mereka meminta Rp 60 juta, bermakna kita minus Rp 32 juta & pula minus seekor sapi. Sapi sekitar Rp 9 jutaan harganya. Totalnya kita minus Rp 41 juta.” Kakek bergilir menatap paman Ibrahim, ibu, & bapak.

Masih jauh sekali. Aku berucap sendiri dlm hati. Aku benar-benar tak ada simpanan untuk ketika-ketika ini. Aku bisa saja membatalkan seluruhnya, namun Ibu akan merasa malu & tak tau mau menerangkan apa ke tetangga & kerabatnya. Berita itu kadung menyebar.

Pembicaraan yg alot itu masih saja berjalan. Akhirnya sebuah kesimpulan diambil, untuk memenuhi minus itu, bapak akan menggadaikan akta rumah di bank. Setoran nanti bakal dicicil bapak dr hasil sawahnya. Ibu terlihat sedikit senang. Malam itu.

Pernikahan pun terjadi antara gue & Ratmi. Kami menikah & hidup berumah tangga.

*****

Kini, genap empat bulan telah gue & Ratmi hidup bersama. Dua bulan awal terasa sungguh bahagia. Tapi, bulan berikutnya, bapak tak bisa lagi membayar setoran bank. Aku putuskan membantu bapak membayar cicilan itu dr hasil kios skala kecil yg tiga bulan terakhir ini menjadi usahaku. Akibatnya, uang belanja Ratmi harus dipangkas. Itu menjadikannya sering ngambek, mulai sering membengkak-besarkan masalah yg kecil. Banyak pertengkaran terjadi & senantiasa berujung tak saling tegur berhari-hari.

Kuceritakan semua obrolan keluarga itu ke Ratmi, obrolan saat hendak meminangnya. Saat keluargaku berunding alot & hingga meminjam untuk melangsungkan ijab kabul kami. Tapi, Ratmi tak peduli. Ia sungguh tak peduli.

“Ceraikan aku. Antar gue pulang ke rumah ibuku!!!” Kata itu terlontar dgn terang dr mulutnya pada sebuah sore yg basah. Sangat jelas terdengar di telingaku.Wajah Ratmi memerah. Segala hikmah & penjelasanku tak mampu lagi membendung keinginannya itu. Dadaku mirip disambar gemuruh yg jago.

“Ceraikan aku. Antar gue ke tempat tinggal ibuku!!!” Ia terus berteriak—berkali-kali.

2017

Kosakata:

– Nyelabar: ungkapan Sasak, artinya keluarga laki-laki tiba melamar ke keluarga wanita; membahas harga & mahar.

– Baiq: gelar aristokrat wanita Sasak.

RIFAT KHAN, Lahir di Pancor NTB pada 24 April 1985. Beberapa karyanya diangkut di media lokal & nasional. Bermukim di NTB & bergiat di Komunitas Rabu Langit Lombok Timur.