Aku gundah hendak memakai kostum pahlawan siapa di upacara 17 Agustus di balai kota esok hari. Lalu kuputuskan menggunakan kostum mirip Pangeran Diponegoro. Semua atribut kostum Pangeran Diponegoro segera gue beli.
Tapi keesokan harinya, gue malah berdiri kesiangan. Kulihat jarum panjang di jam dinding kamar telah menunjuk angka sepuluh.
“Waduh, tak sempat dandan ala Pangeran Diponegoro.” Aku ketakutan. Lalu kuputuskan memakai kostum pejuang rakyat biasa. Aku mengambil sarung, menyampirkannya ke kaos putih yg kupakai. Tidak lupa, gue mencoret-coret parasnya dgn spidol warna hitam, & menggunakan ikat kepala warna merah putih.
Dengan segala atribut dadakan itu, berangkatlah gue ke balai kota. Tapi setibanya di sana, upacara 17 Agustus telah usai. Kuputar tubuhku, meninggalkan balai kota. Tapi seorang sahabat memanggilku. Aku pun menengok.
Tampak ia tersenyum padaku. Lalu bertanya, “Kamu pakai kostum pahlawan siapa?” Rupanya ia heran melihat kostum pahlawan yg kupakai. “Pejuang rakyat biasa.” jawabku. Ia terkekeh mendengarnya.
“Lho memangnya kenapa?” tanyaku heran.
“Ah tidak, tadinya gue kira ananda itu pahlawan kesiangan dlm arti sesungguhnya.” Ia menjawab seraya pula mengejekku. Aku tak ingin menyahutinya. Kutinggalkan ia yg sedang menertawai kostum yg kupakai ini. Berjalan menuju perempatan jalan, menanti bus yg akan membawaku pulang ke tempat tinggal.
Begitu bus datang, kulambaikan tangan kiri. Bus berhenti sebentar & gue secepatnya naik. Di dlm bus, kulihat bangku di sebelah seorang kakek berseragam veteran tampak kosong. Aku segera duduk di situ.
“Mas, ongkosnya.” Kernet bus mengingatkanku. Aku merogoh saku kostum pejuangku. Kuambil duit lima ribuan yg kucel & banyak lipatannya. Lalu kuberikan pada kernetnya. Uang kembalian dua ribuan kertas diberikannya padaku.
Kupandangi duit kertas dua ribuan kembalian kernet bus. Tertera suatu goresan pena “AWAS INI UANG PALSU!!!!” pada lembaran uangnya. Lalu di depan angka 2000 ditambahkan angka satu memakai pulpen hitam jadi tertulis Rp 12000. Dan gambar kumis Pangeran Antasari ditebalkan menggunakan pulpen hitam.
Pada awalnya, gue tak begitu menghiraukannya. Tapi alasannya kakek yg duduk di sebelahku pula terus memandangi uang yg sedang kupegang, lidah ini kelu untuk tak mengajukan pertanyaan.
“Kenapa Kakek ikut memandangi uang ini?” Aku kemudian bertanya.
“Benar-benar tak menghargai.” jawab si kakek. Rona wajahnya tiba-tiba berubah duka.
“Memangnya kenapa, Kek?” tanyaku lagi. Si kakek termangu. Tampak setetes air mata turun membasahi pipinya yg mulai keriput.
“Itu gambar salah satu Pahlawan yg turut berjuang menghalau penjajah tapi parasnya dicoret-coret begitu, mirip tak menghargai jasa & perjuangannya saja.” Si kakek menjawab panjang lebar.
“Lalu bagaimana baiknya, Kek?” gue kembali bertanya. Lagi-lagi, terlihat rona kesedihan terpancar di muka si kakek.
“Tidak tahu.”
“Kakek tak tahu caranya atau…” Kata-kata terputus. Aku tak tahu mesti ngomong apa lagi.
“Para pejuang seperti Kakek & pula beliau tak pernah minta dihormati apalagi dihargai, kami berjuang tanpa pamrih. Tapi jangan lantas melalaikan begitu saja jasa-jasa kami.” Si kakek menjawab terbata-bata. Aku mengangguk pelan.
“Siapa nama Kakek?” Aku menjajal ingin mengenal si kakek lebih akrab.
“Bardi Wirakusuma.” Jawab si kakek.
“Heru.” Aku menjabat tangannya yg tampak mulai keriput. Si kakek hanya manggut-manggut. Lalu melepaskan jabat tanganku.
“Kakek tadi darimana?” tanyaku.
“Ikut peringatan 17 Agustus di Istana Negara, Nak.” jawab si kakek. Aku manggut-manggut. Lalu tanpa diminta, si kakek menceritakan wacana dirinya. Hingga perjuangannya melawan penjajah. Tapi belum tuntas ceritanya kudengarkan, kernet angkot sudah meneriakkan tujuan dimana gue turun.
“Saya turun disini dulu ya, Kek.” pamitku.
“Hati-hati ya, Nak.” Pesan si kakek. Aku tersenyum mendengarnya memanggilku Nak padahal kami berdua belum usang saling mengenal satu sama lainnya.
“Kiri, Pak.” teriakku. Bus berhenti kemudian gue turun dgn kaki kiri terlebih dahulu. Dari luar, gue menyaksikan si kakek berdiri melambaikan tangan. Aku balas lambaian tangannya. Sejenak kupandangi tubuh si kakek dr kejauhan. Sosok yg masih tampak tegap meski usianya kuperkirakan sudah menginjak tujuh puluh tahun.
Kutelusuri jalan kampung. Berpapasan dgn dua orang akil balig cukup akal putri tanggung.
“Mas, wajahnya kok dicoret-coret, ibarat orang stres.” celethuk salah satunya tatkala melihat wajahku. Aku pribadi menunjuk ikat kepala warna merah putih yg kukenakan.
“Oooo.. jadi Pahlawan tho.” koor keduanya bersamaan. Kulanjutkan langkahku. Tapi baru beberapa langkah, gue berhenti. Sayup-sayup kudengar kedua sampaumur putri tanggung itu sedang mengobrol tentang peran sekolahnya.
“Kamu sudah dapat materi buat peran sekolah siapa sosok superheromu?”
“Belum, gue masih gundah. Kamu bagaimana?”
“Belum juga, kira-kira siapa ya?”
“Batman, Superman, Iron Man, Wonder Woman, Captain America elok pula ya.” Entah kenapa, gue jadi ingin nimbrung dlm perbincangan keduanya.
“Bagaimana bila superheronya para Pahlawan nasional yg gagah berani mengusir penjajah dlm usaha menjangkau kemerdekaan Indonesia. Mereka tidak memiliki kesanggupan khusus terlebih peralatan mutakhir. Hanya bambu runcing.” Keduanya terkejut mendengar gue yg tiba-tiba ikut campur. Lalu melenggos & pergi berlalu tanpa berucap sepatah kata pun.
Aku mengurut dadaku sendiri. Membayangkan banyak generasi mendatang yg tak lagi menghargai terlebih mau mencintai para pahlawan negeri sendiri yg telah berjuang melawan penjajah. Dan malah memuja-muja pahlawan ciptaan luar negeri.
“Bukankah bangsa yg besar ialah bangsa yg menghargai jasa Pahlawannya,” batinku sambil melepas ikat kepala warna merah putih kemudian memandanginya lekat-lekat. Kuhela napas panjang. Kukembali melangkah tapi kali ini berbalut kesedihan di hati.