Malam yg begitu gelap mengirimkan jamaah masjid ke obrolan setengah formal. Beberapa duduk bersila menyimak paparan Karim, takmir masjid. Pertemuan itu digelar untuk rembuk kurban pada Hari Raya Kurban. Meskipun konferensi itu sedikit lebih formal, masih tampak keakraban di antara mereka dgn canda tawa yg menghiasi.
Penentuan hewan kurban pun mereka sepakati atas seruan Karim & beberapa anggota jamaah lain. Selain mengajukan proposal, ada banyak warga akan berkurban. Begitu pula jamaah yg ikut rapat. Pertemuan itu rampung dgn akad lingkaran untuk membentuk panitia kurban.
Setelah beberapa pihak yg akan berkurban dimintai konfirmasi, Masjid Kiyamuna mempunyai 200 ekor binatang kurban. Ada 50 ekor sapi & 150 ekor kambing. Warga yg berkurban terbanyak hanya Haji Salman. ia menyumbangkan kambing kurban 24 ekor & seekor sapi. Katanya, semoga genap mirip para rasul yg berjumlah 25 & nabi terakhir yakni Muhammad. Haji Salman berlogika mirip itu sesuai dgn perhitungan spiritual.
Tak banyak warga menyimpan curiga atas kemurahan hati Haji Salman. ia memang bergelar haji, tetapi memiliki latar belakang maling. Dulu sebelum berangkat haji, kebiasaan ia begitu. Namun dikala binatang-hewan itu akan disembelih usai salat id, sebagian warga mengobrolkan soal binatang kurban Haji Salman.
“Eh, gue kok meletakkan curiga ya pada hewan-binatang kurban Haji Salman,” kata Amri yg mulai merencanakan pisau.
“Emang kenapa, Ri?” tanya Hasan yg sedang mengasah sebilah pisau besar.
“Kita kan tahu sebelumnya ia mantan maling.”
“La, jangan berburuk sangka, Ri.”
“Bukan…,” omongan Amri terputus.
Dari belakang, Haji Salman sudah mendengarkandgn baik percakapan Amri & Hasan. Mereka berdua mirip mati kutu. Tak ada obrolan lagi. Hasan memelankan mengasah sebilah pisau. ia menanti saat Haji Salman bicara.
“Mohon maaf ya,” kata Haji Salman sedikit ramah. “Itu kambing-kambing yg saya kurbankan murni hasil usaha saya. Itu kambing-kambing peninggalan Nabi Ibrahim.” ia berujar tanpa merasa tersinggung oleh dialog Amri & Hasan.
Amri & Hasan tak berkutik. Setelah Haji Salman menjauh & menyaksikan hewan-hewan yg akan dipotong, mereka beringsut tanpa bunyi ke kawasan penyembelihan. Di dekat warga & jamaah masjid, Haji Salman menceritakan kehidupan Nabi Ibrahim dikala menyembelih kambing sebagai pengganti sang anak, Ismail. Warga memang terlihat mengamati ceritanya, meski kurang yakin atas dongeng mulia itu. Itu seperti bualan. Bukan alasannya kisahnya tak inspiratif, melainkan karena yg bercerita Haji Salman yg di mata mereka masih tampak selaku raja maling yg berlaku baik di lingkungan sosial.
“Sudahlah, ayo kita lanjut menyembelih,” kata Amri & Hasan sehabis Haji Salman menjauh. Mereka bareng jamaah & warga serentak menyembelih hewan kurban satu per satu. Penyembelihan berlangsung tanpa kendala hingga pada pembagian untuk setiap warga: dr yg miskin, yatim-piatu, & warga umumlain dgn jumlah berlainan pasti.
Setelah Hari Raya berlalu, daging kurban yg sudah menyatu dgn daging manusia itu pula lenyap menjadi aktivitas sehari-hari. Sebuah kabar angin beredar dr beberapa desa. Ada sebagian warga kehilangan kambing sebelum Hari Raya tiba. Tepatnya, seminggu sebelumnya.
Dugaan Amri bersambut. ia makin percaya atas kecurigaannya pada Haji Salman. Lalu ia menemui Hasan & Karim, takmir masjid penyelenggara kurban.
“Mas, ananda sudah dengar kabar gak?” tanya Amri yg tiba bersama Hasan.
“Kabar apa, Mas?” tanya Karim.
“Di desa sebelah ada beberapa warga kehilangan sapi sebelum Hari Raya. Tapi kabarnya gres tersebar sejak kemarin,” kata Amri sedikit menceritakan kabar yg menyeruak pelan.
“Lalu kita hendak menuduh Haji Salman yg menjadi dalang?” tanya Karim setengah resah.
“Bisa saja begitu,” kata Hasan. “Sebagian di antara mereka menyebut begitu. Karena sebelum kehilangan kambing, mereka melihat Haji Salman berkeliling desa bersama beberapa orang.”
Karim merasa agak gundah kalau daging halal itu bercampur daging haram dr kambing & sapi Haji Salman yg diduga curian. Perbincangan mereka kian mendalam. Mereka berusaha bersikap hening. Di sana memang lumrah diketahui, meski Haji Salman tampak baik dengan-cara sosial, di belakang suka mencuri & bertindak kriminal lain. Mereka tidak ingin menjadi korban Haji Salman. Persoalannya, jika dialog itu dikenali Haji Salman akan menjadi ancaman bagi mereka.
“Di desa sebelah, warga yg kehilangan kambing menemukan bekas sandal Haji Salman,” kata Hasan.
“Kok mampu langsung bekas sandal itu milik Haji Salman?” tanya Karim dgn dahi mengernyit. “Kan ada banyak sandal bermodel sama?”
“Siapa tak kenal bekas sandal mahal milik Haji Salman?” tanya Amri pada diri sendiri. “Sandalnya mahal. Hanya ia yg mempunyai. Itu pun ia beli saat berhaji ke Makkah.”
“Apa kita mesti melapor polisi saja?” tanya Karim semangat.
“Aku tak berani mengusulkan itu,” kata Amri. “Kalau tertangkap tangan kita yg mempunyai inisiatif itu, kita akan menjadi incaran orang-orang Haji Salman.”
Mereka duduk bersila dgn bengong. Obrolan terhenti begitu saja tanpa solusi. Rasa bersalah & berdosa mencakup hati & asumsi mereka. Mereka percaya itu daging hasil curian. Pada mulanya jamaah & warga tak membahas soal hewan kurban Haji Salman. Mereka berpikir positif saja. Namun sehabis ada kabar warga kehilangan binatang ternaknya, rasa berdosa menjadi duri yg terus menusuk-nusuk naluri.
Kebekuan itu kembali mencair setelah Karim merekomendasikan untuk menemui warga yg kehilangan hewan ternak sebelum Hari Raya. Mereka akan menanyakan ihwal itu. Semacam investigasi kecil-kecilan untuk mencari kebenaran kisah itu. Mulai dr soal bukti-bukti bekas pencuri sampai kecurigaan mereka atas sang pencuri.
Di sana, mereka bercakap-piawai dgn sebagian warga yg kehilangan hewan ternak & beberapa warga lain. Benar, mereka mempunyai prasangka sama: Haji Salman dalangnya. Namun mereka tak berani menyuarakan kecurigaan itu. Untuk melapor ke polisi pasti menghabiskan duit yg tak seberapa dibanding dgn harga binatang ternak yg hilang. Selain itu, mereka akan merasa terancam jikalau tertangkap tangan menjadi pelapor.
Kebejatan Haji Salman mereka biarkan begitu saja. Mereka cuma akan berani melapor jikalau menyaksikan langsung sang pencuri. Memang, bukti bekas sandal sudah mereka kantongi. Namun mereka rasa masih belum besar lengan berkuasa. Mereka lebih memilih diam dibandingkan dengan membahayakan jiwa sendiri & orang-orang terdekat.