Suatu Hari didalam Metro Mini | Cerpen Fanny J Poyk

Kemacetan di Jakarta tak layak diceritakan lagi. Andai diceritakan pun kisahnya tetap sama. Mungkin kian parah. Semua moda angkutanyg melintasi tiap jalan yg ada di kota ini seolah menemui gang buntu yg tak memiliki kisah tentang lajur mana yg bisa dilalui. Para sopir Metro Mini mengaku, jantung mereka sudah membatu, & rasa untuk berempati pada kendaraan lain yg ada di segi kanan, kiri, atau depan bis yg disopirinya, lenyap tak bersisa.

Tak cuma pada jam sibuk, jam tak sibuk pun hampir semua jalanan di ibu kota bagai tak mampu menghirup keleluasaan dgn lega. Jika ia makhluk hidup, mungkin ribuan kendaraan yg melintas telah membuatnya berteriak kesakitan. Jalanan yg macet selalu tak memiliki daya untuk menutup kisah. Hari lepas hari, kendaraan bukan berkurang, malah makin bertambah. Mau berteriak & mengadu pada siapa? Angin pun rasanya enggan menerpa bila panas yg ganas berpadu dgn kompilasi busuknya udara langit Jakarta.

Keringat para sopir bus Metro Mini yg bercucuran di seluruh wajah & badan hanya merupakan bagian dr permainan waktu yg menjadi drama penuh cerita yg getir di kehidupan mereka. Yang tak lagi abnormal, meski penuh dgn cerita yg berakhir semu, Jakarta tetap menjadi opsi. Kota ini menawarkan harga diri tersendiri lewat dongeng yg bergulir tatkala mereka pulang kampung di hari raya.

Para sopir, yg menjadi petarung di jalan raya, merambah tiap sudut kota, menghirup asap & debu jalanan, bergeming dr peringatan sarat mewah para dokter & pakar kesehatan ihwal pentingnya mempertahankan kesehatan.

“Kesehatan hanya simbol buat kami & tamat dr simbol itu ialah kematian. Jakarta telah memberikan pilihan yg mengikat seluruh sendi kehidupan kami. Mau pulang kampung? Di mana? Kami sudah tinggal di sini puluhan tahun lamanya. Andai kami pulang ke desa, maka kami akan menjadi orang asing di desa kami sendiri. Kaprikornus, apa pun yg akan terjadi dgn kehidupan kami di Jakarta, kami hadapi dgn dada terbuka,” ujar Bang Somad, sopir Metro Mini jurusan Pulogadung Kampung Melayu.

Bus yg saya tumpangi disopiri Bang Somad, tampaknya tak kuat lagi digas untuk mengejar-ngejar waktu. Jalannya terseok-seok, seperti majikannya, sang sopir yg kurus berdada pipih, dgn kempot di wajah & sesekali memperdengarkan batuk keringnya. Bang Somad berbicara sendirian tatkala lampu merah menyala terperinci di perempatan Jalan Rawamangun & Utan Kayu.

  Patung Garuda | Cerpen Risda Nur Widia

Metro Mininya yg sudah renta itu cuma diisi oleh saya, dua wanita muda, & seorang pengamen akil balig cukup akal puteri dgn seorang bayi yg berusia sekitar lima bulan di gendongannya. Tatkala lampu perempatan mulai berwarna hijau, sang pengamen berdiri dr kawasan duduknya, ia mulai memperdengarkan suaranya. Nyanyian dgn suara sumbang terdengar.

“Udah stop, jangan nyanyi lagi. Kasihan itu bayi!” Si sopir pribadi emosi.

Sang pengamen yg mungkin saja dgn bayi sewaannya itu terkesima sejenak. Ia tak langsung turun, diteruskannya lagu yg belum tuntas. Meski bersuara fals, ia masih punya tanggung jawab untuk menyelesaikan pekerjaannya hari itu.

Ketika ia turun dr Metro Mini itu, sang sopir meliriknya sejenak. “Bayi itu anak tetangga saya. Inilah Jakarta, Bu, semua bisa disulap menjadi uang,” katanya sambil menginjak gas dgn tekanan sedang.

Kemudian bus berwana jingga itu berjalan terseok-seok membelah Jalan Utan Kayu, lalu menyusup sampai masuk ke Jalan Pramuka. Berhenti sebentar menunggu penumpang yg naik. Moda angkutanyg dahulu sempat berjaya ini, kini tak lagi menjadi alat transportasi yg menorehkan kenangan yg senantiasa ditunggu & dicari oleh para penumpang yg membutuhkannya.

Dia lebih mirip kendaraan renta yg terengah-engah dilibas oleh pertumbuhan teknologi & kapitalisme. Kendara an berbasis online kini lebih memikat, karena mampu langsung datang sempurna di depan rumah dgn kondisi yg tenteram, ber-AC dingin pula murah. Eklusif & simpel.

Hampir semua penduduk Jakarta atau di kota-kota besar yang lain menjadikan kendaraan daring sebagai kenikmatan yg tiba tiba-tiba dgn sensasi rasa yg meroket. Di tengah sejuknya AC, mampu jadi si penumpang berpikir, inilah mungkin yg dinikmati oleh kaum sosialita dlm kehidupan glamor mereka. Ada sopir, sofa yg empuk, musik jazz nan merdu, & penyejuk ruangan dgn parfum lembut yg menyegarkan, meski itu hanya beberapa menit atau jam.

Saya terhenyak dr lamunan tatkala sopir Metro Mini itu lagi-lagi berceloteh sendirian, “Mau jadi apa kita kalau keadaan begini terus? Bayangkan, seharian ini gres sepuluh penumpang yg naik. Mana saya belum beli bensin lagi.”

Tak ada sahutan. Dua penumpang perempuan muda yg duduk di sebelah kanan saya asyik dgn gawainya. Saya menanti apa yg akan terjadi berikutnya. Lalu suara batuk-batuk terdengar. Bis yg saya tumpangi berhenti sejenak. Sang sopir menepikan kendaraannya, menyelesaikan batuknya.

  Eksis | Cerpen Yudhistira ANM Massardi

Tak usang ia kembali berteriak mengundang penumpang. Namun satu orang pun tak ada yg naik. Sementara di segi kiri & kanannya, kendaraan berbasis online mulai dr motor hingga mobil mini bis yg bersih mengkilat berseliweran seolah mengejeknya. “Yah, kalah deh kita, penumpang abis diangkut kendaraan onlen!” celetuknya yg diakhiri dgn batuk beberapa detik.

Sebenarnya saya ingin menimpali dgn mengatakan bahwa kian waktu berlangsung ke depan, manusia makin dituntut untuk inovatif & mengejar-ngejar waktu yg berlangsung dgn cepat itu. Saya ingin berkata juga, kenapa ia tak menjadi tukang ojek di sekitar rumahnya saja. Bukankah itu lebih efektif & tak menyedot tenaga. Motor kan bisa sewa atau kredit. Tapi saya tak berani, karena bisa saja ia menjawab, “Ngomong si enak, emang semua kagak pake duit?”

Kemudian kisah si sopir bis terpotong oleh ujaran seorang polisi yg mendekati bisnya, katanya, “Mana SIM Bapak!”

“Ada, Pak. Cuman SIM saya kemaren ditilang. Saya belum punya duit buat nebus.”

“Lalu surat-surat yg lain mana?” tanya polisi itu.

“Ada, Pak. Tapi lagi digadai,” sahutnya dgn senyum tertahan.

Percakapan itu terhenti tatkala sang polisi mendengar si sopir batuk-batuk.

“Kenapa lagi sakit masih narik?”

“Ya, Pak, kalau saya tak narik, anak saya mau makan apa? Sama mirip Bapak, kalau Bapak tak tugas, diomelin sama atasan kan, Pak?”

Tidak ada obrolan lanjutan. Bis Metro Mini yg bau tanah itu kemudian melaju, melintasi Jalan Matraman Raya. Kemacetan masih tetap sama. “Untung itu polisi baik, saya tak dimintain uang denda. Kalau kendaraan beroda empat ini dikandangin repot, Bu. Hari ini buat beli bensin aja belum tentu cukup.” Kali ini ucapannya ditujukan pada saya. Dua wanita dgn jurusan yg sama masih asyik dgn gawai mereka.

Bis terus melaju, berjalan sesuai trayek yg sudah diputuskan, terseok ke kiri & ke kanan. Klakson berbunyi di belakangnya, namun sang sopir menjalankan bis Metro Mininya dgn kalem tanpa beban.

“Apa lagi yg dicari dlm hidup ini? Derita sudah berada di puncak yg tak tersentuh. Mati pun enggan menghampiri. Sebab makam untuk merebahkan jasad sangat mahal di sini…,” sang sopir berkata lagi, ucapannya ibarat syair lagu namun tanpa nada.

  Tujuh Puluhan | Cerpen Yanusa Nugroho

“Hidup yakni pilihan, Pak,” ucap saya.

“Nanti, di kehidupan yg akan tiba, saya tak mau memilih hidup mirip ini lagi, Bu.” Katanya sambil sesekali terbatuk-batuk. Penumpang tak bertambah, masih kami bertiga.

Angin siang kota Jakarta telah bercampur bubuk yg melayang dgn bebas ke segenap penjuru. Wajah-wajah keras tatkala bis memasuki Terminal Kampung Melayu terlihat sangat irit senyum. Lelaki paruh baya yg renta sebelum waktunya itu duduk di belakang kemudi dgn diam.

Saya tengah merogoh tas, mencari uang untuk mengeluarkan uang ongkos bis. Keriuhan yg datang tiba-tiba menghampiri telinga saya. Dua wanita penumpang bis Metro Mini yg sejak duduk di bis terus asyik dgn gawainya, berteriak minta tolong. “Dia pingsan! Sopir bis ini pingsan!” kata mereka berbarengan.

Para sopir yg berkumpul di terminal secepatnya berlarian menghampirinya. Lelaki sopir bis yg gres saja bercakap-piawai dgn saya digotong beramai-ramai ke rumah sakit terdekat. “Sebenarnya ia sakit, namun ia memaksa untuk mengambil alih saya. Ia butuh uang untuk bayar duit sekolah anaknya. Kalau tidak, anaknya tak bisa ikut cobaan. Isterinya gres saja meninggal dunia kena tiphus.”

Saya berlangsung cepat mengikuti bebera pa sopir yg menggotongnya ke tempat tinggal sakit. Ada sesak yg mengganjal diam-diam di dada. Mengapa saya tak memperoleh sedikit sinyal kalau sopir yg mengemudikan Metro Mini ini sedang sakit parah. Saya alhasil murka pada diri sendiri, saya merasa sama dgn penduduk kota besar lainnya, telah kehilangan rasa tenggang rasa. Sungguh, saya kesal pada diri saya!

Jakarta, Oktober 2017
FANNY JONATHANS POYK nama pena Fanny J Poyk, lulusan Institut Ilmu Sosial & Ilmu Politik Jakarta (IISIP), aktif menulis semenjak tahun 1980-an di berbagai majalah & surat kabar, semenjak tahun 1994-2004 menjadi wartawan & redaktur peliputan di tabloid Fantasi, pernah bertugas sebagai konsultan media di Kementerian Pendidikan & Kebudayaan Direktorat Pembinaan SMA, menjadi Pemred Majalah Sastra Komodo Courier & Pemimpin Redaksi Majalah Orchid Magazine. Menulis cerpen untuk surat kabar Jurnal Nasional, Sinar Harapan, Suara Pembaruan, Pikiran Rakyat, Surabaya Post, Suara Karya, Timor Expres, Kompas, dll. Cerpennya terpilih menjadi yg terbaik pada 2016.