Yang Datang Malam Hari | Cerpen Budi Sabarudin


Seorang penyair terburu-buru masuk ke dlm rumahnya tatkala malam sudah berada di ujung paling sunyi. Ia eksklusif masuk kamar & cepat sekali mendengkur. Namun, di antara sunyi itu, kurang jelas didengarnya pintu rumahnya diketuk-ketuk. Keras sekali. Kasar. Entah oleh siapa.

Pelan-pelan ia membuka matanya. Namun, tubuhnya masih telentang di atas kasur. Di telinganya masih terngiang, ketukan di pintu itu terdengar terang alasannya jarak kamar tidur dgn pintu rumahnya tak begitu jauh.

Di antara sadar & kantuk yg berat, penyair itu mengajukan pertanyaan-tanya dlm hati siapa gerangan yg mengetuk-ngetuk pintu malam-malam begini?

Diliriknya jam dinding di dlm kamarnya, waktu menawarkan pukul dua malam. Di luar terdengar pula suara jangkrik begitu lirih & kodok yg bersahutan di sawah-sawah.

“Siapa?” Penyair itu memberanikan mengajukan pertanyaan.

“Aku!”

“Aku?” tanya penyair pada dirinya sendiri dgn suara yg sangat pelan.

Penyair itu meneruskan tidurnya & tak peduli dgn ketukan pintunya itu. Ia kelelahan setelah melakukan perjalanan jauh dr luar provinsi. Di sana ia membacakan karya sastranya berupa puisi-puisi sufistik. Ia tiba ke sana atas permintaan organisasi massa Islam. Namun, baru beberapa detik saja memejamkan mata, pintu itu diketuk kembali. Kali ini terdengar lebih keras & bahkan lebih berangasan dr sebelumnya.

Alangkah kagetnya sang penyair. Seketika ia pribadi bangkit & duduk di atas kasur dgn tubuh terpaku & kepala agak pusing. Ia jengkel sekali alasannya tak ada sopan-sopannya orang yg mengetuk pintu malam-malam.

“Siapa?” tanya penyair lagi.

“Aku! Buka pintunya! Cepat!”

Mendengar jawabannya yg tegas, lantang & serak, tiba-tiba panik menyeruak dlm hati penyair. Apalagi, tamat-simpulan ini, ia pernah membaca di koran-koran banyak diberitakan kejadian penganiayaan & pembunuhan kepada para kiai di daerah-daerah.

Para penjahat itu datang ke masjid-masjid & rumah-rumah & tak segan-segan melukai atau menghabisi nyawa korban. Sungguh biadab, katanya dlm hati. Namun, anehnya, kata polisi itu dijalankan oleh orang gila. Mengingat-ingat insiden itu, bulu kuduk penyair tak berhenti meriap-riap.

Ia kemudian bergumam. Negeri ini sudah merdeka lebih dr 72 tahun & sudah banyak pegawanegeri berpangkat jenderal, prajurit pula ada di mana-mana, tetapi belum pula negeri ini bebas dr kejahatan jalanan.

  Yang Menelan Istrinya | Cerpen Pangerang P. Muda

Di mana-mana banyak penjahat. Padahal, tunjangan polisi sudah dinaikkan berlipat-lipat oleh pemerintah. Negeri ini memang ajaib. Selain tak kondusif, pula utang luar negerinya makin menumpuk dr waktu ke waktu.

Dengan sisa-sisa keberaniannya, masih di atas kasur, penyair itu mengajukan pertanyaan kembali. Ia betul-betul penasaran. “Kau, siapa?”

“Aku! Cepat buka pintunya! Cepat!” jawab nya sambil menghantam-mukul pintu rumah. “Kalau tak cepat kau bukakan pintunya, bisa-bisa kamu & gue tak selamat!”

Penyair itu kian takut. Merinding. Denyut nadinya kian cepat berdesiran. “O….. namun sebutkan dulu namamu siapa? Aku cemas sekali kau penjahat!”

“Bukan. Aku orang baik-baik. Aku yg menulis naskah drama…!” Seseorang itu menjawab sambil menyebutkan beberapa judul naskah drama.

Tentu saja, penyair itu ingat dgn judul-judul naskah drama yg disebutkan itu. Naskah-naskah drama Islami itu memang sangat populer di kalangan pondok pesantren, apalagi di kelompok seniman-seniman teater autodidak & akademis.

“Kau seniman besar, dramawan besar?” tanya penyair sambil berteriak.

Wajah penyair itu terlihat semringah. Gembira. Ia merasakan alangkah bahagianya sebab rumahnya kehadiran seniman & dramawan besar. Sesuatu yg jarang terjadi.

Seseorang di luar itu mengikik. “Ya, makanya bukakan pintunya. Cepat.”

Tanpa berpikir panjang lagi, penyair itu loncat dr kasurnya & segera menuju pintu depan. Namun, tatkala akan membukakan pintu depan itu, hatinya mendadak ragu. Ia pun kembali ke dlm kamarnya & duduk di bibir ranjang. Ada perasaan ngeri.

“Apa benar seniman besar sekelas ia mau datang ke rumahku? Apalagi, malam-malam begini. Ah, rasanya tak mungkin. Lagi pula, apa kepentingannya denganku. Itu niscaya penulis naskah drama artifisial,” keluh penyair. Menuduh.

Dalam diam, lamunan penyair terbang ke nama seniman & drama besar penulis naskah drama itu.

“Kau jangan diam saja, buka pintunya. Cepat.”

Penyair tersentak dr lamunannya. Namun, ia masih merasa khawatir, seseorang yg berada di luar itu hanya mengaku-saya selaku penulis naskah drama. Padahal, benar-benar penjahat yg akan memperdayai dirinya. Ia tahu betul, penjahat itu memiliki 1.001 modus kejahatan.

Karena itu, ia pula tak begitu saja yakin, terlebih di negeri ini, sukar sekali mencari orang-orang jujur. Banyak orang yg nampaknya jujur, santun, senang memberi, taat beribadah & alim. Namun, kenyataannya penjahat & perampok besar, mirip koruptor-koruptor yg doyan maling duit rakyatnya sendiri. Di matanya orang-orang macam itu kejam mirip hewan liar.

  Anak Panah | Cerpen Harris Effendi Thahar

Penyair itu tidak mau tertipu. Dan, dlm ragu, penyair itu bertanya kembali, “Kau harus jujur, siapa dirimu yg sesungguhnya?”

“Aku…. ini…. Aku!”

“Ya, gue ini siapa? Sebutkan namamu. Soalnya, tak lazimnya malam-malam mirip ini ada tamu ke rumahku. Lagi pula, bertamu malam-malam begini bukan tradisi bangsa ini. Ingat, jelek-buruk begini bangsaku karena ulah-ulah koruptor itu, namun masih punya tradisi yg baik,” kata penyair itu mencoba memberikan argu mentasi yg rasional, dgn suara yg agak lantang pastinya.

Dalam beberapa detik tak ada yg bicara di antara mereka. Suasana tenang sekali, kecuali hanya angin berkesiuh.

“Ya, sudah bila kau tak percaya gue orang baik-baik. Tapi, sekarang bukan saatnya banyak bicara. Ayo bukakan pintunya. Nanti akan kujelaskan siapa gue yg sesungguhnya. Aku tahu popularitas namamu. Aku tahu pula karya-karyamu yg ahli itu. Kau sering diundang membacakan puisi-puisi di mana-mana.

Ya, tak cuma di dlm negeri, tetapi pula di mancanegara. Aku pula sudah berkali-kali nonton kau membacakan puisipuisi sufistikmu itu. Kau memang ahli. Masih pula kau ragu padaku?”

Penyair itu bengong. Ia menerka-duga kembali siapa gerangan yg ada di luar pintu rumahnya itu. Ia heran dgn seseorang di luar rumah itu, hingga tahu nama & acara dirinya di dlm & luar negeri.

Sambil menahan napas berat, penyair itu melangkahkan kaki & mendekatkan diri ke daun pintu. Namun, dgn sangat terpaksa, penyair itu mengajukan pertanyaan kembali.

“Kau sudah tahu popularitasku, namun kamu ini siapa? Sebutkan namamu, itu tak terlalu sukar toh?”

Seseorang di luar rumah tertawa-tawa. Santai & terdengarnya lezat sekali.

“Kau tak perlu ragu terhadapku. Sebab, gue tahu siapa sesungguhnya dirimu. Kau yakni penyair yg taat beribadah. Bahkan, kau pula yg turut mencetuskan gerakan shalat Subuh ke berbagai lapisan masyarakat.”

Kepala penyair mengangguk-angguk. Ia tersenyum, lalu mengambil kunci pintu & secara perlahan-lahan memasukkan kunci itu ke lubangnya. Dengan perasaan takut, dibu kanya pintu rumahnya. Dan dgn gerakan yg sungguh cepat seseorang yg mengetuk pintu rumah itu masuk ke dlm rumah & eksklusif menodongkan sebilah pistol ke muka penyair.

  Haji Syiah | Cerpen Ben Sohib

Wajah seseorang itu menggunakan penutup mirip ninja-ninja dlm film-film silat, cuma dua matanya yg terlihat terang. Hitam. Tajam.

Penyair itu terkejut & takutnya luar biasa. Kedua kakinya gemetaran. Dengan serta-merta keringatnya mengucur dr dahi ke kedua pipinya. Pistol itu terus ditodongkan ke arah kepala penyair. Tak ada yg bicara, kecuali kedua napas orang itu terdengar berat sekali.

“Kau memang penyair ahli. Penyair sufistik kelas satu di negeri ini. Tapi, detik ini pula kamu mampus di tanganku,” hardiknya. Lantang sekali.

Penyair itu lemas. Ambruk. Jongkok. Dadanya bergemuruh tak tentu rupa. Wajahnya pun secara tiba-tiba merah. Merah se kali, menahan takut. Sepanjang hidupnya ia baru kali pertama ini merasakan ketegangan & ketakutan yg amat sangat.

“A… pa…..salah….sa…ya….?” tanya penyair itu dgn suara memelas & mohon ampun.

Seseorang yg berdiri tegak di hadapan penyair itu diam diam, tidak mau menjawab. Namun, matanya tetap memandang tajam sang penyair. Pistolnya pun masih tetap diarahkan ke kening penyair itu.

Air mata penyair mulai mengalir. Terbayang dlm benaknya malam ini ia akan mati. Ia ingat istri & kedua anaknya yg tinggal jauh di kampung.

“Jangan… bu..nuh a…ku.”

Namun, lagi-lagi seseorang itu diam. Tak peduli. Tubuhnya kaku. Pistolnya masih diarahkan ke kepala penyair itu.

Dengan gemetar, kedua tangan penyair memeluk kedua kaki seseorang itu.

“Aku mohon jangan kamu bunuh aku. Besok malam gue akan launching buku puisiku yg baru.”

Seseorang itu kemudin jongkok, menatap penyair yg panik, & membukakan topengnya. Penyair itu terkejut & memekik. Namun, dgn cepat seseorang itu menepuk pundak penyair. Pelan-pelan.

“Sebaiknya kamu buatkan gue kopi hitam yg panas, & jangan lupa gue butuh sebatang rokok dgn koreknya,” bisik seseorang itu ke telinga penyair.

Beberapa detik kemudian, keduanya saling tatap.

Mereka tertawa & saling memeluk.

Maret, Cipondoh, Kota Tangerang 2018

Budi Sabarudin seorang cerpenis. Karya-karyanya diangkut di koran setempat & nasional. Penggagas Gerakan Sastra STISNU (GSS) Nusantara Tangerang. Selain menulis cerpen, pula aktif selaku pendongeng keliling dgn nama Budi Euy sekaligus sedang menjalankan acara “Sedekah Dongeng Keliling Nusantara”. Kini tinggal di Taman Royal 3, Jalan Akasia 3, AX1 No 8, Cipondoh, Kota Tangerang.