Zabaza | Cerpen Soni Farid Maulana

“SEBENTAR lagi gue mati. Tulislah diriku di majalah Sekon. Apakah kamu sanggup menyanggupi permintaanku?” ujar Zabaza membuka percakapannya dgn Zigizi, yg menjenguknya sore itu di Kamar Khusus RS Bateba. Saat itu, Zabaza, penyair tenar dr Negeri Katenga, terbaring lemah di atas ranjang. Mukanya pucat-pasi. Atas penyakit yg dideritanya itu, Zabaza dirawat oleh delapan orang dokter andal. Mulai dr ahli penyakit paru-paru, jantung, darah, kelamin, hingga tulang.

Mendengar ajakan Zabaza yg dirasa abnormal itu, Zigizi mengerutkan keningnya. Ia tak menyangka akan berhadapan dgn suasana semacam itu, yg dirasanya konyol, mendahului kehendak Tuhan. Zigizi berpikir keras, jikalau Zabaza mati, dunia sastra di Negeri Katenga niscaya akan kehilangan tokohnya yg paling fenomenal. Kemampuan Zabaza dlm menulis karya sastra bukan hanya puisi, dongeng pendek, & novel. Esai-esainya pun banyak menarik perhatian, & bahkan memanggil perdebatan maupun polemik yg cukup sengit, yg bisa berlangsung berbulan-bulan di berbagai media massa.

“Ya!” jawab Zigizi sambil menatap wajah Zabaza, yg menjadi bosnya di PT Sekon, sebuah perusahaan yg bergerak dlm bidang media massa cetak & elektronik. Zabaza, selain dikenal selaku penyair, tergolong salah seorang konglomerat yg sukses di bidangnya. Jaringan bisnisnya dlm bisnis media massa cetak & elektronik itu tak hanya berkembang di ibu kota, tetapi pula di kota-kota besar yang lain di Negeri Batenga, yg dewasa ini sering diguncang aksi demonstrasi mahasiswa yg tak hanya menuntut turunnya harga-harga, tapi pula menutut turunnya para penguasa yg korup, yg tindak-tanduknya sangat merugikan rakyat.

Mendengar kesanggupan Zigizi, Zabaza tersenyum. Ditatapnya wajah Zigizi dalam-dalam. “Tidak tidak berguna gue mendidik Zigizi jadi seorang kritikus yg mumpuni di negeri ini,” batin Zabaza. Ia ingat bagaimana tatkala Zigizi untuk pertama kalinya datang ke ibu kota. Saat itu, sebelum mengembangkan bakatnya dlm menulis kritik sastra, Zigizi hanya aktif menulis puisi.

Zigizi begitu mengagumi karya-karya Zabaza, & pula sejumlah karya sastra dr Amerika Latin, seperti Pablo Neruda & Oktavia Paz. Jejak kedua penyair tersebut membekas dlm sejumlah puisi yg ditulisnya. Atas kemampuannya dlm menulis puisi, Zabaza menganggap puisi-puisi Zigizi rimbun dgn permainan bahasa, tanda, metafor, & sebagainya. Tapi, entah mengapa, dlm penilaiannya itu, Zabaza tak pernah menyinggung sedikit pun wacana adanya imbas penyair Amerika Latin yg mengendap dlm puisi-puisi Zigizi. Adakah hal ini disebabkan oleh kritik-kritik Zigizi kepada sejumlah esai & puisi Zabaza yg dipujinya setinggi langit? Entahlah. Yang terperinci, gaya penulisan kritik Zigizi sendiri bagai pinang dibelah dua dgn Zabaza. Keduanya menjalin hubungan demikian erat. Jika Zabaza tak menyebut Zigizi dlm esainya, rasanya apa yg ditulisnya itu tak lengkap. Demikian pula sebaliknya. Terjadinya kekerabatan yg demikian bersahabat ini menciptakan Zabaza seakan-akan gelap mata terhadap pertumbuhan & pertumbuhan dunia sastra yg ada di hadapannya saat ini.

Angin berhembus perlahan sore itu. Zabaza menawan nafas dalam-dalam. Sesekali tangannya ditekankan ke dadanya yg kurus itu, mirip menahan rasa sakit yg demikian parah. “Menurut orang-orang yg merawat diriku, usiaku tak lebih dr tujuh hari sesudah hari ini. Untuk itu, sebelum gue mati, gue ingin kau menulis diriku dr sebagai segi lebih singkat lagi. Aku ingin membacanya terlebih dahulu. Aku tidak ingin mati dgn rasa penasaran yg panjang lantaran belum membaca tulisanmu. Apa kau sanggup dlm tempo dua hari kau selesaikan tulisanmu, lalu kau bawa ke mari?” kata Zabaza.

senyap sesaat.

  Supri dan Tamu yang Menjengkelkan | Cerpen Pasini

detik jam terasa berat berputar.

bayang-bayang maut

berkelebat di kaca jendela.

Sesekali terasa hembusan angin dr arah celah-celah daun pintu & kisi-kisi jendela. Zigizi termangu sesaat, lalu dihirupnya udara yg mengalir dlm ruangan tersebut dalam-dalam. Sambil tersenyum, Zigizi menganggukkan kepalanya dua kali. Zabaza merasa lega dgn jawaban Zigizi walau hal itu hanya dijawabnya dgn bahasa arahan.

Sebagai sastrawan yg pula dikenal selaku konglomerat itu, jiwa Zabaza bahwasanya terbelah dua. Hal itu tercermin dr goresan pena-tulisannya yg kerap mengkritisi sikap sejumlah konglomerat yg menindas bawahannya, yg lebih terkenal dgn sebutan kaum buruh itu.

Sebagai konglomerat, tentu saja Zabaza sendiri suka melakukan penindasan terhadap anak buahnya. Sayangnya ironi-ironi yg demikian itu tak pernah dilirik & bahkan ditulis oleh Zigizi. Hal ini barangkali dikarenakan kesejahteraan Zigizi dijamin sepenuhnya oleh Zabaza, & tak demikian dgn kesejahteraan karyawan yg yang lain, yg mempunyai kemampuan pas-pasan.

“Jika uang bicara, semua bungkam,” tulis Zabaza dlm esainya, yg mengangkat tema runtuhnya daulat rakyat & daulat aturan di Negeri Batenga. Tulisan yg dimuat di majalah mingguan Sekon itu antara lain menyoroti soal korupsi & sejumlah koruptor yg tak bisa diseret ke balik terali besi. Jangankan disita kekayaannya, diseret ke balik terali besi saja tak bisa.

Boleh jadi, kekuasaan uang pula yg dimainkan Zabaza di perusahannya itu, sehingga orang-orang yg punya anggapan kritis mirip Zigizi dirangkul sekaligus dibungkamnya dgn cara yg halus. Sedangkan buruh kecil yg tak mempunyai kemampuan dlm membuatkan bakatnya yg lain, pasrah saja. Mereka melakukan pekerjaan dgn kesejahteraan seadanya. Para pemilik saham di PT Sekon nyatanya lebih memperhatikan kemakmuran bagi dirinya sendiri, & itu sudah menjadi diam-diam lazim.

*****


SEUSAI menjenguk Zabaza, esok harinya, sehari penuh sarat Zigizi nongkrong di depan komputernya yg paling mutakhir. Komputer tersebut dibeli oleh Zabaza selaku hadiah ulang tahun untuk dirinya. Bergelas kopi & berbatang rokok sudah dihisapnya. Pikirannya buntu. Ia sepertinya tak tega untuk menulis sebuah anak kalimat yg berbunyi, “Kita layak berduka dgn meninggalnya Zabaza. Dunia sastra di Negeri Batenga kehilangan tokohnya yg paling fenomenal pada zamannya.”

Anak kalimat semacam itu entah sudah berapa kali ditulis & dihapusnya di layar komputernya. Jika ia masih menggunakan mesin tik, tentulah sudah berlembar-lembar kertas yg diremas & dibuangnya ke dlm tong sampah. Untung sekarang zaman serba canggih hingga keruwetan-keruwetan teknis penulisan semacam itu dapat diatasinya.

“Masak penduduknya masih hidup, harus saya tulis sudah mati? Ah, ada-ada saja undangan Zabaza itu,” keluh Zigizi pada istrinya yg pula dikenal sebagai penyanyi seriosa. Selain itu, ia punya talenta yang lain, diketahui selaku perempuan pelukis, yg karya-karyanya hanya ditulis orang di majalah Sekon & tak di media yang lain. Itu pun yg menulis Zigizi sendiri dgn nama samaran Zenga.

Hari berubah hari. Batas waktu yg diminta Zabaza tinggal beberapa jam lagi. Demi menggembirakan hati Zabaza yg akan mati itu, akhirnya Zigizi bisa pula menyelesaikan tulisannya sepanjang delapan halaman folio. Tulisan itu dibuka dgn petikan puisi karya Zabaza yg bernuansa kematian. Larik-larik puisi yg dikutipnya ini seperti ini bunyinya:

kesedihan yaitu watu-kerikil

mengendap di dasar kali

bila maut bicara merenggut nyawaku

semua beku sepadat dadu

“Aku percaya, Zabaza pasti suka dgn tulisanku ini. Praktis-mudahan ia tak benar-benar mati sehabis membaca esaiku ini,” ujar Zigizi pada istrinya. Saat itu malam larut sudah. Suara anjing melolong dgn amat panjangnya. “Adakah itu mengambarkan bahwa maut akan segera menjemput Zabaza. Haruskah kamu mati sedramatis ini?” batin Zigizi. Seketika bulu kuduknya berdiri.

  Gelar | Cerpen Mashdar Zainal

“Ya. Praktis-mudahan saja, Zabaza tak mati setelah membaca esai yg kau tulis itu,” ujar istrinya sambil berkata, “Kalau boleh gue ajukan…”

“Usul bagaimana?”

“Apa bisa menulis yg lainnya?”

“Yang yang lain bagaimana?”

“Apa lantaran Zabaza mau mati, lantas kau buat goresan pena ini sarat dgn puja-puji? Ada baiknya kau sisipkan anggapan-pikiranmu yg kritis di luar puja-puji yg sungguh memuakkan ini. Misalnya ihwal kekurangan puisi-puisinya, cerpen, atau novel yg sudah ditulisnya. Toh, tak semua karyanya yg ditulisnya itu bermutu. Ada pula beberapa di antaranya yg lemah. Hanya lantaran Zabaza punya nama besar, kadang orang segan untuk mengupasnya. Atau yang lain, wacana sosoknya yg konglomerat itu, ternyata penindas juga. Atau sisi gelap lainnya, ia memaksa sobat wanitanya untuk berbuat asusila di suatu hotel di New York?”

“Fitnah dr mana itu?”

“Ini bukan fitnah. Aku percaya kau tahu segalanya. Kau jangan menutup mata mentang-mentang kehidupan kita dijamin sepenuhnya oleh Zabaza.”

Zigizi terlihat dungu. Ia terkejut oleh persepsi istrinya semacam itu. Ditatapnya wajah istrinya dalam-dalam, ia seolah-olah tak percaya dgn apa yg baru saja didengarnya. Jangan-jangan istrinya sedang kesal hingga berani berkata demikian? Kesal? Ya, mungkin saja kesal lantaran hampir sebulan sarat Zigizi belum memberi nafkah batin pada istrinya, yg sangat berharap itu. Sesaat kemudian, Zigizi menawan nafasnya secara perlahan-lahan, lalu dihembuskannya dgn amat kuatnya. Diam-diam ada perang batin dlm diri Zigizi. Terus terang di satu segi Zigizi mengakui dgn jujur bahwa apa yg diperbincangkan oleh istrinya itu ada benarnya. Tapi apa mau dikata, Zigizi demikian sungkan untuk mengungkapkan seluruhnya di dlm tulisannya itu yg kelak dibaca Zabaza, yg konon katanya beberapa hari lagi akan mati. Entah mati oleh penyakit jantung, tbc, atau sipilis? Entahlah, tak ada seorang pun yg bisa memutuskan penyakit yg mana yg akan menyikat nyawanya itu.

“Aku takut Zabaza mati karena tulisanku. Untuk itu gue tak mau menulisnya wacana apa yg kau katakan barusan?”

“Sejak kapan kau jadi pengecut?” tanya istrinya dgn nada yg ketus, yg kemudian meninggalkan Zigizi di ruang kerjanya. Lalu terdengar pintu kamar dibanting dgn amat kuatnya. Zigizi cuma membisu termangu. Ia secara tiba-tiba kurang pandai tak bisa membaca perasaan istrinya. Padahal selama ini istrinya selalu memuji Zigizi yg selalu peka kepada segala cita-cita istrinya.

*****

Esok harinya, Zabaza termenung di segi ranjangnya di Ruang Khusus RS Bateba. Siang itu begitu panas. Angin terasa kering. “Sungguh tak kusangka, ternyata kau yg mati lebih dahulu Zigizi,” batin Zabaza. Zigizi mati sepulang dr RS Bateba setelah mengantar tulisannya untuk Zabaza. Ia mati ditabrak truk tak jauh dr RS Bateba. Adapun saat itu, yg mendapatkan tulisannya, yg dipesan Zabaza itu adalah istri Zabaza, Zangari. Sedangkan Zabaza pada saat yg sama tengah tidur lelap. Boleh jadi dikala itu sudah berimajinasi berjumpa dgn Malaikat Maut atau malah sebaliknya bertemu dgn ratusan bidadari yg siap menjemputnya ke balik hari, atau malah tak mimpi apa-apa?

“Ini kehidupan macam apa? Aku yg divonis mati oleh penyakitku, kau malah yg mati duluan, Zigizi. Sialan, jadi gue yg harus menulis dirimu. Ah, sisa nyawaku hidup di bumi tinggal empat hari lagi. Aneh, dgn terjadinya kematianmu itu, kok gue merasa sembuh. Merasa terbebas dr segala penyakit yg gue derita selama ini,” guman Zabaza didengar istrinya, yg dikala itu tengah mengusap-usap punggung Zabaza dgn penuh kasih sayang.

  Cerpen: Jujur Itu Sungguh Mulia

Dalam suasana yg demikian, dlm benak Zabaza terbayang lagi akan perselingkuhannya dgn beberapa perempuan simpanannya, yg tak satu pun menjenguknya. Jika ingat semua itu, Zabaza merasa demikian berdosa sudah mengkhianati istrinya. Segala sikap buruknya itu membuat Zabaza kehilangan selera untuk membaca tulisan Zigizi yg tersimpan rapi di dlm sebuah map berwarna merah marun.

“Ya, Tuhan, apa yg tengah terjadi dgn diriku ini?” keluhnya.

“Sudah. Tenangkan dirimu. Kita doakan, gampang-mudahan Zigizi diterima di segi-Nya!” ujar Zangari.

“Ya, tentu saja gue ingin mendoakannya,” jawabnya. Hening. Diam-diam dua anak sungai air mata mengalir di pipi Zabaza. Terbayang lagi ketika-ketika indah menertawakan sejumlah perempuan dgn busana mini di Paris, Tokyo, New York, & kota-kota lainnya yg dikunjungi Zabaza & Zigizi di dikala senggang. Keduanya pemuja hidup, pemuja sekaligus penikmat kehidupan duniawi.

“Tolong buka map itu, & tulisannya berikan padaku. Siapa tahu gue bisa mendapatkan sesuatu yg bisa menghiburkan hatiku ketika ini,” pinta Zabaza.

Secepat kilat Zangari mengambil map itu, kemudian dibukanya. Setelah itu diambilnya tulisan Zigizi yg ada di dalamnya untuk kemudian diserahkannya pada Zabaza, suaminya. Dengan tangan gemetar, Zabaza membacanya. Halaman demi halaman yg sudah & tengah dibacanya itu menciptakan Zabaza mangut-mangut. Kadang terlontar pujian akan kecerdasan Zigizi dlm mengupas karya-karya Zabaza, baik berbentukpuisi, novel, esai, maupun kisah pendek.

“Zigizi, gue berjanji, bila gue sembuh akan kutulis kau lebih baik dr apa yg kau tulis dikala ini. Aku suka dgn gaya bahasamu yg lincah itu. Kalau saja kau tak mati, akan gue serahi kau kedudukan selaku redaktur opini majalah Sekon,” katanya.

“Aduh, Mas. Kok sampai sejauh itu sih memuji-muji Zigizi?” sela istrinya.

“Ia benar-benar anak yg cerdas. Seluruh ilmuku diserapnya dgn baik. Aku bahagia bahwa kematianku yg kelak tiba tak sia-sia. Dari tanganku telah lahir seorang kritikus yg pula sastrawan terdepan dr generasinya. Sayangnya ia mati duluan,” tuturnya dgn penuh semangat & sesal sekaligus.

Sementara itu istrinya hanya terdiam. Menarik nafas panjang-panjang. Namun, menjelang tiga halaman terakhir, Zabaza terkejut & jantungnya hampir copot. Zigizi ternyata berani pula menyikat Zabaza dr segi gelap Zabaza sebagai konglomerat yg suka menindas karyawannya itu. Salah satu paragraf dr tulisan yg tengah dibacanya itu berbunyi mirip ini:

“Sayangnya, Zabaza yg pula diketahui selaku konglomerat itu, suka betul menindas karyawannya sendiri. Kelakuannya yg buruk ini ternyata tak sejalan dgn kata hatinya yg dituangkannya dlm banyak sekali karya tulisnya, entah itu berupa esai, puisi, dongeng pendek maupun dlm novelnya yg laris itu, Hariri.”

Zabaza lama termenung di hadapan tulisan yg hampir dirobeknya itu. Ia tak menduga bahwa Zigizi akan sekeras itu menilai dirinya. Kunang-kunang terasa beterbangan di depan mata & di atas kepalanya. Ia seolah-olah tengah menyaksikan Zigizi tertawa terbahak-bahak di seberang langit sana. Ia melihat lambaian tangan Zigizi, yg mati berjam-jam lalu.

Zabaza merasa sesak nafas. Istrinya meraung keras. Kontan dokter & suster jaga pada berlarian mengejar kamar khusus yg tengah ditempati oleh Zabaza. “Mengapa kamu tak mengingatkan gue sejak dulu Zigizi,” kata Zabaza, yg ketika itu tengah dipeluk istrinya berpengaruh-kuat. Setelah itu, Zabaza ambruk, & tulisan itu jatuh dr pegangan tangannya, berserakan di lantai RS Bateba, sedingin es.

Soni Farid Maulana, penyair & pengelola Rumah Baca Ilalang.