Boko | Cerpen Putu Wijaya

1.

Boko, mantan bromocorah diinsyafkan oleh rumah pemasyarakatan, tatkala keluar dr penjara, ia banting setir total. Tidak lagi memeras, merampok atau membunuh, namun menjadi tukang ketoprak.

Pulang dr pangkalan, Boko merapikan perlengkapan ketoprak dibantu istrinya. “Ada yg beli, Pak?”

“Tidak. Dua porsi gue makan sendiri dibandingkan dengan kedaluwarsa.”

“Sudah tiga bulan, kok, begini terus?”

“Orang-orang galau tatkala melihat gue mendorong gerobak ketoprak & mangkal di pinggir jalan. Tidak seorang pun yg berani mendekat. Bagaimanapun juga, di dlm gerobak yg gue dorong itu tak hanya ada tahu, ketupat, tauge, & saus kacang, namun pula ada pisau. Dan pisau di erat seorang pembunuh, sewaktu-waktu bisa mengerat leher siapa pun, tanpa argumentasi.”

“Sabar, Pak.”

“Ya, selaku mantan orang eksekusi, gue paham nasibku. Aku tahu, tak mudah bagi penduduk melupakan sejarah hitamku. Tidak mirip orang-orang politik yg mampu dlm sekejap bertukar warna. Aku tahu, gue akan diuji usang sekali.”

“Legawa saja Pak.”

“Memang harus begitu. Kebebasan tak pribadi memberikan pembebasan. Inilah waktunya gue mencar ilmu, apakah gue mengerti pada kebebasan yg kembali diberikan kepadaku ini setelah 20 tahun di dlm bui. Kalau gue mau mudahnya gue bergabung saja lagi dgn kolega-kolegaku yg masih aktif. Banyak anak buahku yg akan menawarkan gue jalan keluar. Tapi itu memiliki arti tanganku yg sudah dicuci selama 20 tahun ini akan kotor lagi. Setelah itu, bertahun-tahun lagi, gue akan masuk penjara lagi. Dan kalau itu terjadi tak akan ada cita-cita keluar. Kaprikornus, biarkan gue terima nasib ini. Ini percobaan.”

Istri Boko tak menjawab. Ia terima saja dagangan ketoprak suaminya kembali utuh setiap hari alasannya adalah tak ada yg beli.

“Uang sudah habis. Besok Bapak hanya akan mendorong gerobak kosong.”

“Tak apa. Kemarin-kemarin pula cuma satu-dua piring yg laku. Dibeli oleh pendatang yg tak tahu siapa aku.”

  Azan Terakhir | Cerpen Ahmad Faisal

“Besok Bapak mau berangkat juga?”

“Ya.”

“Satu bulan pertama Bapak masih semangat mendorong gerobak ketoprak, walaupun tak laku. Aku kasihan.”

“Tak apa. Aku masih semangat sampai kapan pun. Memang cuma itu yg gue punya.”

“Aku yg nelangsa, Pak. Pada bulan kedua, hampir Bapak mendorong gerobak separuh kosong.”

“Jangan dipikirkan. Kamu kerja saja yg baik. Kita sudah bersyukur masih ada yg yakin sama ananda jadi babu.”

“Besok, di samping niscaya tak ada yg beli, modal kita pula sudah habis. Sebulan lagi gue gres gajian. Memang masih ada sedikit beras namun itu untuk bertahan beberapa hari. Bagaimana jikalau berhenti dulu dorong gerobak?”

“Tidak. Jangan. Terus saja.”

“Istirahat dululah.”

“Tapi gue mau terus mendorong gerobakku untuk melupakan waktu.”

“Diam di rumah saja, kan gue sudah diterima jadi pembantu.”

“Aku mesti mengisi waktu, jika tak gue akan tidur terus. Kalau gue tidur terus, gue akan jenuh, alasannya di penjara pula gue sudah banyak tidur. Mimpiku sudah habis. Semuanya sudah gue mimpikan. Sekarang hanya mengulang-ulang. Aku takut kalau sudah jenuh gue akan jadi iseng. Waktu iseng itulah asumsi waras bisa hilang. Aku tak ingin lagi menjadi bromocorah.”

“Ya janganlah!”

“Kita jalani saja apa adanya.”

“Kaprikornus, besok mendorong gerobak kosong?”

“Penuh pula tak ada gunanya jika tak ada yg laku.”

“Jadi, besok dorong gerobak kosong ke pangkalan?”

“Tak apa. Tak ada yg tahu. Tak ada yg peduli.”

“Aku yg peduli, Pak,” kata istrinya sambil meniadakan air mata.

2.

Boko mendorong gerobak kosong ke pangkalan. Tak terduga, sebuah mobil Jaguar yg masih jreng baru keluar dr show room berhenti dekat gerobaknya. Kaca pintu jendela terbuka. Boko menduga orang itu mau menanyakan arah jalan. Ternyata, ia mau beli ketoprak.

  Kaceb! | Cerpen Setia Naka Andrian

“Ketoprak?”

“Maaf, Pak. sudah habis!”

“Pagi-pagi begini sudah habis?”

“Ya.”

“Ketupatnya saja ada?”

“Tidak.”

“Tauge?”

“Semua habis.”

Orang dlm kendaraan beroda empat itu tambah heran. Lalu ia keluar. Memeriksa gerobak Boko yg membisu saja.

“Lho, kok habis seluruhnya. Kecap pula tak ada?!”

Boko mengangguk.

“Habis semuanya?!”

“Ya.”

“Masak, sih?”

Boko tak menjawab.

“Pisaunya pula tak ada?”

“Untuk apa pisau bila sudah habis?”

“Laku amat, ya?!”

Boko menggeleng. Orang itu heran.

“Kalau enggak laris, kok, habis?”

“Memang bahannya tak ada.”

“Kenapa?”

“Tidak ada yg beli.”

Orang itu menatap Boko. Boko tersenyum. Tiba-tiba orang itu tertawa. Ia lantas menepuk bahu Boko keras-keras.

“Sialan kau! Lupa, ya? Boko!”

Boko terkejut.

Senyumnya seketika lenyap dr bibirnya. Wajahnya tiba-tiba kereng lagi mirip 20 tahun yg kemudian, waktu ia masih malang-melintang jadi momok yg menyeramkan semua orang.

“Boko! Gila lu! Lupa gue, ya?!”

Boko tak menjawab.

“Sialan lu! Boko!”

Orang itu menepuk pundak Boko lagi. Tapi itu bukan tepukan biasa. Itu sudah suatu pukulan keras. Tapi Boko yg masih mempunyai sisa-sisa keperkasaannya tak goyah.

Ia menahan rasa sakit & lebih menahan lagi gelegak dr perutnya yg mau menerjang sebab pukulan itu.

“Lu jangan akal-akalan, Ko. Semua orang pula masih tahu lu Boko, supaya sudah pakai cambang, kumis & gerobak ketoprak. Ayo, ngapaian di sini kayak orang bego. Ayo, naik. Pernah nabrak orang dgn Jaguar enggak? Lu, kan, dulu paling demen begitu. Ayo. Nih. lu masih ingat nyetir, kan?”

Orang itu melemparkan kunci kontak mobil pada Boko. Kunci itu melayang di depan mata Boko & jatuh ke tanah sebab Boko tak menyambutnya. Boko cuma memandang.

“Alaaa, lu kok jadi bego! Nangkap gitu saja kagak mampu lagi. Motorik lu payah alasannya penjara, ya?!”

Orang itu tertawa terkekeh-kekeh menjengkelkan sekali. Ia menunduk mengambil kunci kontaknya, kemudian mendekat ke samping Boko. Rapat sekali sehingga mulutnya dekat sekali dgn telinga Boko. Ia berbisik lirih namun serius.

  Pantura | Cerpen Danarto

“Bos perlu derma. ia mau mencalonkan diri. Tapi ada hambatan. Pelacur dr Cijantung yg pernah jadi piaraannya itu ternyata punya surat nikah. Sekarang lawan-musuh politik Bos memakainya untuk menjatuhkan Bos. Kalau ananda bisa sikat ia kini, Bos aman. Dananya Rp 1 M. Kalau berjalan mulus, tambah bonus Rp 1 M lagi. Bagaimana? Masih berani bunuh orang kagak lu?!”

Orang itu kemudian merogoh sakunya & mengeluarkan suatu amplop besar.

“Potret, alamat & uang mukanya ada di sini. Dalam amplop ini pula ada HP. Bos atau gue akan menghubungi lu besok. Berarti malam ini pula harus diproses. Salam dr Bos!”

Setelah meletakkan amplop di samping Boko, orang itu bergerak masuk ke kendaraan beroda empat. Tiba-tiba Boko muncul di jendela kendaraan beroda empat. Ia mengulurkan amplop itu.

“Aku bukan Boko. Lain kali jika mau mancing jangan nyimpan lencana di kantong Bapak,” Boko menaruh amplop itu dekat kemudi, lalu mendorong gerobak ketopraknya pulang. Sama sekali tanpa menoleh.

Orang di dlm mobil itu melamun. Ia mengusut amplop. Masih utuh. Ada potret pelacur itu, alamat & peta rumahnya. Ada HP & uang paras 10 juta. Lalu ia mengeluarkan sesuatu dr sakunya yg mirip dgn lencana, lalu menenggak dua butir pil & menggumam.

“Sialan, gue kira si Boko. Untung penduduknya polos.”

Putu Wijaya, lahir di Puri Anom. Tabanan, Bali. Putra ketiga (bungsu) dr pasangan I Gusti Ngurah Raka & Mekel Erwati. Setelah tamat dr SMAN Singaraja & Fakultas Hukum UGM, pindah ke Jakarta. Pernah menjadi wartawan Tempo, Zaman, & Warisan Indonesia. Mendirikan Teater Mandiri, menyutradarai film & sinetron, serta menulis cerpen, esai, novel, & lakon.