Cuaca saat itu juga berduka ketika terbetik kabar ajal Tokoh Penulis Kita. Waktu kau tiba melayat ke rumahnya, orang-orang berpakaian hitam dgn wajah berkabung sudah berkerumun di pelataran kediamannya. Langit masygul. Mendung pekat lekat menggantung di atas kepala-kepala insan yg berjejal ingin mengirimkan mayit Tokoh Penulis Kita ke liang peristirahatan terakhir. Akan tetapi hujan seolah sangsi memuntahkan rinai. Langit seakan pula tak yakin atas kematian Tokoh Penulis Kita.
“Mengapa orang baik mesti mati lebih dulu?” kata seorang di belakang punggungmu.
“Tuhan mungkin menyayanginya lebih. Orang-orang baik itu dilindungi dr angkara marah dunia!”
“Pasti seluruh keluarganya sungguh kehilangan.”
Kembali kamu mendengar cerita-kisah mengenai ajal Tokoh Penulis Kita. Kau pun bahu-membahu tak percaya atas kamatiannya. Akan namun siapa tahu wacana takdir. “Kau tahu, ia meninggal sehabis menulis salah satu prosa yg indah.”
“Maksudmu?”
“Dia meninggal setelah menulis prosa-prosa terbaik.”
“Makara ia meninggal saat menunaikan ibadah prosa?”
“Ya, begitulah!”
Langit bergemuruh. Rinai hujan kesudahannya turun. Gerimis menyerapah pelataran rumah Tokoh Penulis Kita. Orang-orang menepi, mencari kawasan berteduh.
Sesekali kamu masih mencuri pandang pada air muka Tokoh Penulis Kita yg terbaring di rumah sedih. Tokoh Penulis Kita, dr pandanganmu, tetap segar; bugar memancarkan gelora kehidupan, walau telah mati. Bahkan kau menduga Tokoh Penulis Kita cuma tidur sesaat; sebelum nanti bangun lagi melanjutkan tulisannya.
Mendadak seberkas sinar matahari membersit dr gundukan mendung. Gerimis turun bareng kilas cahaya tipis di langit. Pelan-pelan membasahi pelataran. Tiba-tiba kau ingat sebuah kisah ihwal hujan yg diselingi semburat cahaya matahari. Dahulu tatkala kecil mendiang kakekmu pernah bercerita: Sebersit cahaya matahari yg menyeruak diiring gerimis; di sanalah pertanda ada malaikat yg sedang ikut berduka atas suatu insiden. Apakah hujan bareng sinar matahari ini bekerjasama dgn ajal Tokoh Penulis Kita? Mungkin itu hanya bualan. Namun kau sudah dua kali mengalami insiden dramatis seperti itu.
Pertama, ketika kakekmu meninggal. Kakekmu memang dikenang sebagai laki-laki yg baik di kampung. Ia pula imam bagi warga, sehingga banyak orang merasa kehilangan atas kematiannya. Dan yg menciptakan program pemakaman kakekmu sedikit berlainan, sepanjang program pemakaman ada gerimis beserta sinar matahari turun berbarengan. Air hujan itu terasa hangat. Pun bila dicecap terasa anggun.
Kedua, pada pemakaman Tokoh Penulis Kita. Pria paruh baya itu pula dikenal baik & bijaksana. Ia tokoh yg haus ilmu wawasan; pembaruan gagasan & desain, terutama di bidang seni & budaya. Banyak bukunya menjadi pedoman pembelajaran para mahasiswa di kampus. Dahulu kamu pula memakai bukunya untuk observasi di bidang sastra, sosiologi, & budaya.
Percakapan dua orang di balik punggungmu kembali berlanjut.
“Kapan Tokoh Penulis Kita dikebumikan?”
“Mungkin nanti siang, sehabis zuhur.”
“Oh, apa alasannya menunggu semua kerabatnya yg tinggal di luar kota?”
“Ya! Seluruh saudara Tokoh Penulis Kita di Jakarta, Bandung, Solo, Aceh, Kalimatan, bahkan di mancanegara akan datang.”
“Termasuk para pembaca bukunya mirip kita. Sungguh, Tokoh Penulis Kita sosok yg dirindukan. Aku jadi ingin seperti beliau.”
“Jadilah orang baik, tak pamrih dikala menolong. Di mana & sejauh apa pun berada, kita senantiasa dirindukan.”
Kau tersenyum mendengarkan percakapan dua orang itu. Kau berpikir dua orang itu niscaya pula sedih & merindukan Tokoh Penulis Kita. Karena mereka tak henti membicarakannya semenjak tadi. Begitu pula orang-orang di jejaring media umum.
Para kerabat & pembaca karya-karyanya terus berdatangan dr banyak sekali kawasan. Para peziarah pun kini khusyuk mendoakan Tokoh Penulis Kita dgn mendengungkan ayat-ayat Tuhan. Kau larut dlm lautan sedih. Kau seperti mendengar makrifat ketenangan dr segala ayat itu. Tanpa sadar kamu pula larut; menggumamkan doa-doa terindah untuk melepaskan Tokoh Penulis Kita. Pun terbersit seulas air mata di tapuk matamu. Pelan. Hangat. Dan terasa memilukan. Tiba-tiba kamu merasa sungguh kehilangan. Kau merasa tak rela ditinggalkan sosok itu. Dadamu pun mirip berlubang.
“Tokoh Penulis Kita akan dikebumikan di samping makam ibu & ayahnya di kampung sebelah?” Seorang laki-laki menyampaikan di atas mimbar setelah selesai mendoakan mayit.
Mayat pun diangkat menuju pusara yg disiapkan. Sepanjang jalan kamu berulang kali mengerling ke arah para peziarah. Semua tertunduk muram; berduka, tak rela kehilangan sosok Tokoh Penulis Kita. Langit makin masygul. Berduyun-duyun orang membopong keranda mayat. Gema ayat-ayat Tuhan terdengar lantang di sepanjang jalan. Akan tetapi mirip terjadi insiden aneh dlm iring-iringan peziarah itu. Kau merasa di setiap desa yg dilewati kian banyak yg bergabung dlm iringan.
Banyak orang berpakaian hitam & wajah higienis mengiringi. Wajah para peziarah seperti bercahaya. Setiap kali menatap langsung ke mata para peziarah itu, kamu seperti menyaksikan kedamaian awet di sana. Para peziarah asing itu seperti para malaikat yg diutus Tuhan untuk mendatangi seremoni pemakaman Tokoh Penulis Kita. Para peziarah itu seperti datang dr langit. Lantas kamu waktu menyaksikan siapa saja tak diketahui yg pula kehilangan sehabis kepergian Tokoh Penulis Kita berpikir: Apakah orang-orang itu yaitu para malaikat yg berkabung & berkembang menjadi menjadi manusia? Kau cuma ingat Tokoh Penulis Kita acap menulis wacana malaikat. Mungkin sosok-sosok itu benar yg kini berkabung.
Sesampai di kuburan suatu liang sudah menganga menyambut. Rombongan pemanggul keranda dgn hati-hati menurunkan jazad Tokoh Penulis Kita. Kau pula menurunkan tubuh Tokoh Penulis Kita ke liang lahat. Namun kamu tercekat. Tubuh itu sungguh ringan. Bahkan mirip tak berisi sama sekali. Kau bertukar pandang dgn seorang yg menurunkan jazad Tokoh Penulis Kita; bertanya-mengajukan pertanyaan dlm kebisuan hati masing-masing.
Dari dlm pusar pemakaman tercium aroma bau bunga kamboja. Bahkan kau mendengar seseorang berkata: Tanah kuburan ini begitu gampang digali. Para penggali kubur hanya mirip membongkar selembar kertas di sampul buku. Gerimis kembali turun. Doa tak henti mengura. Sebelum mayat ditimbun tanah, seorang membacakan salah satu kutipan dlm buku Tokoh Penulis Kita: Karena acuan kerja Tuhan tak berpola, maka kita selaku barang ciptaan-Nya mencoba membikin contoh-Nya. Hasilnya yaitu manusia dikasih hadiah istimewa: maut! * Sendu dlm larik kalimat itu mengawang sunyi. Sampai kemudian hujan cukup lebat menuntaskan prosesi pemakaman.
Satu per satu peziarah jelalatan menyelamatkan diri dr amukan hujan. Kau pun lari berteduh. Dan tanpa menyadari, ketika mencoba menyelamatkan diri dr kucuran hujan, ada dorongan mistis yg menyuruh kau melengos ke belakang. Sekilas sosok-sosok ganjil, berupa bayang-bayang hitam & para peziarah asing yg tiba dengan-cara misterius itu, bertambah; bermunculan dr balik tirai hujan. Sosok-sosok itu bagai terlahir dr gugur hujan deras. Begitu banyak. Lalu sosok-sosok itu serempak membacakan sajak untuk Tokoh Penulis Kita. Hujan makin lebat. Semerbak bacin bunga kamboja pekat mengawang. Sosok-sosok asing itu tetap terpekur di sana; menadahkan telapak tangan. Mereka mirip berdoa seraya membacakan sajak-sajak Tokoh Penulis Kita.
Akhirnya kau terpekur kagum di bawah hujan, mengawasi keajaiban terjadi. Awan kelam & hitam saat itu juga menyibak, langit benderang, dgn sepotong sinar matahari. Cahaya keperakan berpendar; menyibak awan mendung di atas pusara Tokoh Penulis Kita; kemudian menerangi dgn satu sorot mirip pertunjukan teater ke arah sosok-sosok asing di pemakaman itu. Kau makin terenyak waktu mengenali sesaat hujan terhenti di pemakaman itu; sedangkan di belahan lain hujan mengempas deras. Napasmu pula makin tersedak ketika menyaksikan dr punggung para peziarah asing itu timbul sayap-sayap yg mengalu hujan; menyibak pula matahari untuk menerangi.