Balada Penyair | Cerpen Ade Ubaidil



Badrun melangkah keluar dr sebuah toko buku. Sekali lagi ia buka dompetnya. Satu lembar duit kertas dua ribuan ia ambil. Pikirannya sibuk mengajukan pertanyaan, “Kepada siapa lagi buku-buku ini harus saya tawarkan?” belum ia mendapatkan tanggapan, lekas ia menaiki sepeda motornya.

“YA, terus-terus…,” seru seorang juru parkir di belakangnya.

“Terima kasih, Pak.” Ia sodorkan lembaran uang tadi. Sekarang, ia menjumlah, uangnya tinggal tiga ribu. Sebelumnya sepuluh ribu rupiah sudah ia pakai untuk berbelanja bensin. Bahan bakar naik, barang-barang lain ikut naik. Menjadi seorang guru yg merangkap penyair, pikirnya, bukanlah opsi yg bijak.

Ia menjinjing motornya pada kecepatan sedang. Perkataan pemilik toko tadi, toko buku yg tak besar-besar amat itu, masih ia ingat.

“Kami bukan menolak. Buku-buku dr penulis besar saja belum semua habis, kami hanya tidak ingin membuat Pak Badrun menanti lama bila bukunya dititip-jual pada kami. Barangkali, jikalau isu terkini pembeli sedang ramai, kami akan hubungi Pak Badrun.”

Hal berikutnya yg terjadi, ia mengucapkan, “Tidak apa-apa, terima kasih.” Sembari menunjukkan satu buah buku puisi tunggalnya yg ia cetak sendiri sekitar seratus eksemplar, dgn uangnya sendiri, yg ia sisihkan dr gajinya tiga bulan terakhir.

Setelah itu, ia menutup pintu dr luar.

Bila ditelaah, ucap Badrun menahan senyum getirnya, lucu juga, ya. Untuk mendapati buku laku saja mesti menanti “musim-pembeli- ramai”(?). Apa separah itu minat baca warga negeri ini? Tapi, ah, saya tak begitu percaya, katanya menengok ke gedung-gedung pencakar langit, karya bagus, adalah karya bagus. Ia akan tetap mendapatkan pembacanya sendiri, baik saat demam isu maupun tidak. Apa pembaca buku mirip hujan, begitu? Ia tak selalu tiba setiap hari. Sekalinya tiba, ia keroyokan?

Azan Zuhur gres saja berhenti menggema. Jarak rumahnya masih sekitar satu kilometer lagi. Ia memiiih menepi sejenak di suatu musala pinggir jalan raya. Di luar pagarnya, seorang nenek tengah meringkuk merangkul kaki. Badrun parkirkan motornya tak jauh di belakang nenek itu. Sekilas, ia menerka perempuan yg ditaksir usianya tujuh puluhan itu seorang pengemis. Namun, dikala akan memasuki pelataran musala, ia menoleh. Rupanya ia keliru. Di depan si nenek ada sebakul kacang rebus.

  Ketika Kang Ilham Datang | Cerpen Religi Irfan Fauzi

Punten, Nek, berapaan kacang rebusnya?”

Kebaya yg ia kenakan terlihat lusuh. Belum lagi rambut keperak-perakannya yg terurai berantakan ditutupi oleh kerudung bubuk-bubuk dengan-cara asal.

“Berapa saja boleh, Nak. Silakan.” Suaranya gemetar. Badrun tak kuasa mendengarnya. Ada sesak yg tiba-tiba mampir di dadanya. Teguran apa lagi ini? Hatinya berbisik. Tatkala banyak orang yg badannya masih tampak bugar memiiih menjadi pengemis, nenek itu tak demikian. Badrun masih mematung. Ia memandang ke dlm musala. Ikamah terdengar & jemaah yg cuma beberapa orang itu menciptakan shaf.

“Saya salat dahulu ya, Nek.”

Ia permisi. Lekas mengambil air wudu, membasuh parasnya perlahan-lahan, sembari mengingat-ingat keluhannya sepanjang jalan tadi; bahkan sejak kemarin & kemarin lagi. Banyak hal yg terlewat untuk ia syukuri. Seusai berwudu, ia gegas turut shalat berjemaah.

Cuaca hari itu betul-betul panas. Badrun sudah selesai berdoa. Ia sudah ada di luar. Ia duduk sebentar, meluruskan kakinya & menyandarkan punggungnya di tembok. Hampir saja ada yg terlupa, gumamnya. Ia mengeluarkan lagi dompetnya, tiga lembar seribuan ia tarik. Lalu menggunakan sepatunya. Saat akan beranjak menuju si nenek, ternyata ia tak lagi sendiri. Ada gadis kecil bersamanya. Barangkali, itu cucunya.

Para jemaah lain, yg pula bukan warga sekitar, sudah pulang & kembali melanjutkan perjalanan. Namun, tak dgn Badrun. Ia memilih membeli kacang rebus si nenek lebih dahulu.

“Kecapnya habis, sudah makan seadanya saja dahulu. Pulang-pulang, nanti Nenek belikan.” Badrun mencuri dengar. Meski usianya sudah 48, pendengarannya masih lumayan baik.

Enggak mau, enggak mau. Masa sama nasi doang?”

Tak banyak yg bisa Badrun lakukan. Bukan karena enggan, tapi alasannya ia tidak mempunyai uang lagi hari itu. Ia tidak mau pula memaksakan kemampuannya.

“Kenapa anggun? Kok cemberut, gitu?”

Bocah itu tak peduli. Ia memandang kesal ke neneknya.

“Oh, enggak apa-apa, kok. Biasa, bawah umur,” jawab neneknya. “Dia biasa makan sama kecap. Suka sekali, Nak. Kebetulan Nenek lupa bawa. Enggak lama lagi pula ia membisu, kok.”

  Lelaki yang Tubuhnya Habis Dimakan Ikan-Ikan Kecil | Cerpen Mashdar Zainal

Angin berkesiur. Daun-daun kering, yg ada di pelataran musala itu berguguran. Pohon mangganya belum berbuah. Belum ekspresi dominan. Badrun mendongak ke pohon-pohon itu, ia teringat jikalau Fira, anak tunggalnya yg masih berusia tujuh tahun, pula senang sekali makan dgn kecap. Lalu secara tiba-tiba ia ingat pula pada ibunya Fira. Badrun tergolong menikah di usia kelewat matang. Istrinya ketika itu masih berusia 26. Nahasnya, tatkala Fira lahir, ia mesti berpulang.

“Tuhan sayang padanya,” begitu ia berucap saat Fira mengajukan pertanyaan ke mana ibunya. Hingga sekarang ia belum sempat terpikir untuk mencari penggantinya.

“Saya beli kacangnya, Nek.” Ia menyodorkan duit tiga ribu rupiah itu. Itu adalah uang terakhir yg ia punya. Sekarang tanggal renta, hari gajian masih satu minggu lagi. Utangnya di warung sudah terlalu banyak. Apalagi pada teman-temannya.

Badrun pulang dgn menjinjing sebungkus kacang rebus, ia tak begitu suka kacang rebus. Fira juga. Sepanjang jalan pun ia berpikir, untuk apa ia membeli kacang rebus?

Fira tinggal di rumah bibinya selama Badrun pergi mengajar. Bapaknya itu pernah berjanji akan menyekolahkan ia di usia delapan tahun. Banyak hal yg Badrun pertimbangkan sebelum ia menyekolahkan Fira. Biaya tentu saja hal utama, namun hal yang lain, Fira masih terlalu kecil. Orang-orang yg melihatnya sekilas niscaya mengira ia masih berusia lima atau enam. Tapi, bila sudah melihat caranya mengatakan, mereka akan berpikir ulang.

“Bapak pulaaang!!!” serunya lantang dr rumah bibinya. Ia gegas menyusul bapaknya. Rumah mereka bersebelahan. Fira akan kembali lagi ke bapaknya ketika siang hari. Badrun berutang banyak pada kebaikan adiknya itu.

“Fira mau kacang?”

Dia menggeleng. Bibinya keluar menyusul. “Dia tak mau makan sebelum Bapaknya pulang. Sudah saya bujuk berkali-kali.”

“Baiklah, Neni. Kau terlampau baik menjadi bibinya. Biar saya hadiahi kacang ini untukmu.” Fira tersenyum, ia berlangsung masuk bareng bapaknya sembari terus memeluknya. Sementara Neni & suaminya sudah bersiap pergi ke pernikahan temannya.

Jam makan siang sudah tiba. Neni sudah memasakkan nasi & telur dadar. Semuanya sudah terhidang di meja makan.

  Mbah Ning | Cerpen Priyo Handoko

“Pak, lapar,” ucap Fira manja. Badrun di kamar, ia tengah berubah pakaian.

Fira berlari ke dapur. Ia bolak-balik membuka lemari makan. Entah apa yg dicarinya hingga mengusik rasa ingin tahu bapaknya.

“Cari apa, Fira?”

“Beli kecap, Pak. Fira enggak mau makan kalau enggak sama kecap!” ada sedikit rasa jengkel mengerumuni hati Badrun, tetapi toh ia condong lebih merasa gemas. Tanpa berpikir ada yg kurang, ia bergegas pergi ke kamarnya. Merogoh kantong celana, mengambil dompet, & ia membukanya. Badrun benar-benar lupa kalau ia sudah kehabisan duit hari itu. Saat kembali ke dapur, wajahnya terlihat sedih.

“Bapak enggak ada duit, Fira.”

Anak gadisnya, entah apa yg ada di benaknya, eksklusif berlari ke kamarnya. Tanpa berucap apa pun. Badrun merasa kecewa pada diri sendiri. Ia tak langsung menyusul Fira. Tubuhnya yg masih lelah, ia dudukkan pada bangku. Napas beratnya ia embuskan. Sekitar tiga menit selanjutnya, Fira kembali.

“Pakai uang Fira aja dahulu, Pak.” Ia menyodorkan uang kertas lima ribu rupiah, duit dr celengannya. Bapaknya menatap haru. Ia tahu, duit segitu tak cukup untuk berbelanja kecap botolan, tetapi kecap ketengan pun tak jadi soal.

Badrun tak banyak piawai. Soal perut memang tak boleh ditunda lama-lama.

Ia kembali sehabis berbelanja kecap ketengan dua ribu tiga. Masih ada sisa uang tiga ribu. “Kembalinya buat Bapak?”

“Enak aja. Itu buat besok beli kecap lagi, Pak,” ejek putri kecilnya itu. Akhirnya, mereka sama-sama mengkonsumsi kuliner Neni. Ada tawa & kebahagiaan yg timbul dr keluarga sederhana itu. Satu hal yg Badrun tahu bahwa penyair tak mungkin lapar soal perasaan. Ia sudah kenyang & akan senantiasa kenyang. Yang jelas, besok royalti akan diantardr salah satu media cetak yg menampung puisi-puisinya. Ia berharap tak akan dibohongi lagi. Tapi toh, jikalau dipikir-pikir, ia pula sudah kenyang dgn hal semacam itu. Kehidupan, lagi-lagi, ia biarkan berjalan sebagaimana adanya. Tak mau banyak menuntut, tak ingin banyak mengeluh.

Satu ahad sejak hari itu, seorang pemilik toko buku mengetuk pintu rumahnya.