Sepulang dari Penjara | Cerpen Ken Hanggara

Beberapa dekade setelah dipenjara, Mudakir keluar dlm keadaan tak memiliki apa-apa. Untuk kali pertama ia merasa kesasar di dunia yg tak lain ialah tempat kelahirannya. Dunia itu seakan direbut oleh zaman & diubah jadi dunia robot dgn segala jenis hal di luar logika.

Mudakir hanya mampu berdiri kaku sehabis taksi menurunkannya di depan lapangan, yg dahulu ia tahu selaku bioskop milik teman dekat dekatnva. Tentu saja sahabatnya sudah mati; ia dengar kabar ini 21 tahun yg lalu, sebelum kunjungan terakhir ia dapatkan dr istrinya yg kemudian meminta dicerai. Setelah itu, Mudakir tak pernah mendengar kabar apa pun tentang dunia luar.

Secara teknis, Mudakir sebatang kara sejak 21 tahun yg kemudian, yakni semenjak ia ditahan gara-gara membunuh si pembuat onar di lingkungan tempat ia tinggal. Entah bagaimana hakim menjatuhinya eksekusi 40 tahun penjara, tetapi baik Mudakir maupun keluarganya, tak dapat berbuat apa-apa. Mereka hanya tahu betapa pembuat onar tersebut mempunyai hubungan khusus dgn tokoh yg sangat terpandang di kota ini.

Sekarang, semua sudah berlalu. Musim demi musim berhasil Mudakir lalui tanpa sedikit pun merasa terbebani. ia sudah pasrah sehabis mendapat surat dr sang istri yg meminta dicerai. ia pula sudah terlalu pasrah tatkala hari demi hari seusai surat itu diterima, keluarga & para sahabatnya tak ada seorang pun yg sambang. Sampai di suatu titik, ia tahu ia tak lagi terhubung dgn dunia luar, lantaran orang-orang yg ia kenal di luar sana sudah melupakannya.

Kini, sesudah bebas, Mudakir tak tahu harus tinggal di mana. Ia hanya dapat ingat ia memiliki seorang sobat gres, yg ia kenal di penjara kira- kira 14 tahun kemudian, yg keluar dr penjara lebih dahulu. Barangkali saja ia mampu meminta tunjangan ke sobat tersebut, berbentukkerjaan & tempat tinggal untuk orang yg tak lagi muda. Hanya, teman gres itu sendiri jarang mengunjunginya sehabis bisnisnya melaju pesat, & terakhir kali datang berkunjung ke penjara, ia memberinya alamat yg kini sedang Mudakir cari.

“Alamatnya tak jauh dr tanah lapang di mana dulu bioskop milik kawan dekat saya yg lain dibangun,” kata Mudakir ke seorang pedagang minuman ringan di tepi jalan.

Orang itu hanya mengangguk-angguk tanda mendengar seluruh yg ia ucapkan, namun tak betul-betul tahu bagaimana caranya mampu menolong. Alamat yg sobat gres Mudakir berikan tak akurat, karena tempat itu hanyalah gedung kosong yg tak dipakai selama beberapa tahun.

  5+ Kaidah Kebahasaan Cerpen

Seorang pembeli minuman lain, yg dengan-cara tak sengaja mendengar dialog itu pun menyahut, “Apa ada keterangan yg lebih spesifik ihwal sahabat Bapak tersebut?”

“Oh, ada. ia punya bisnis yg melaju pesat. Bisnis minyak bacin!” Si pembeli & penjual minuman tersebut pun saling pandang, & sepertinya tak bisa memberi bantuan yg berarti. Dan memang benar, mereka sama-sama tak tahu di sekitar sini ada pebisnis minyak amis yg sukses. Pembeli minuman itu bahkan meyakinkan Mudakir bahwa semenjak kecil ia sudah tinggal di daerah sini.

“Kalaupun ada pebisnis minyak bacin, tentu saya pernah dengar slentingan wacana orang itu. Tetapi, sejauh yg saya tahu, tak pernah ada pebisnis minyak anyir di daerah sini.”

Mantan napi itu pun terlihat kian kebingungan & karenanya duduk kecapekan di erat pedagang minuman. Mudakir menjajal mengenang-ingat kiranya ada seseorang di suatu tempat, seseorang yg lain, yg mampu membantunya setidaknya untuk memberi tempat berteduh selama beberapa waktu.

Tidak. Mudakir tak menemukannya. Otaknya, sekalipun sudah bau tanah, masih melakukan pekerjaan dgn baik. Ia bukan sejenis laki-laki tua pikun yg kepayahan untuk sekadar mencari beberapa ingatan penting yg ia perlukan dlm saat-ketika genting. Karena tak tahu apa yg akan ia kerjakan, Mudakir mengajukan pertanyaan begitu saja pada si pembeli minuman tadi, yg sepertinya baru saja pulang dr sebuah aktivitas kalem di tamat pekan, perihal apakah orang tersebut mampu memberinya pekerjaan?

Si pembeli, yg sejak tadi tampak prihatin pada Mudakir, menyampaikan, “Mungkin Bapak mampu mampir sebentar ke rumah saya?”

“Maksudnya?”

“Ya, kita pergi ke rumah saya. Bisa?”

*****

Mudakir tak tahu apa yg ia kerjakan; menumpang kendaraan beroda empat seseorang yg betul-betul asing ialah sebuah hal gres baginya. Orang ini pastinya jauh lebih muda. Ia menyadari, mau tak ingin, pada saatnya nanti, orang yg entah akan memberinya satu sumbangan ini, pasti mendengar tentang dirinya yg pernah dipenjara.

Makara, tanpa membuang waktu, Mudakir segera mengakui betapa ia kebingungan mencari tempat di mana ia bisa berteduh & mencari rezeki, karena begitu keluar dr penjara, ia gres sadar betapa dirinya benar-benar sebatang kara di dunia ini.

“Dulu ketika masih di penjara, meski sudah dicerai istri & sudah pula di jauhi semua saudara & sobat-teman saya, saya tak merasa sebatang kara. Ada banyak yg jauh lebih jelek dr saya. Lagi pula, saya pula punya banyak teman di penjara.” Mudakir terdiam sejenak, sebelum melanjutkan, “Sekarang situasinya sangat lain. Di luar penjara, saya baru tahu bagaimana rasanya sebatang kara. Bahkan, saya sempat lupa betapa saya ini bahwasanya memang sebatang kara!”

  Imam Masjid | Cerpen Ade Ubaidil

Orang itu menyimak akreditasi Mudakir dgn saksama, namun tak secuil pun kalimat respon keluar. Begitu tiba di rumah orang itu, yg kemudian memperkenalkan diri sebagai Ivan, Mudakir lagi-lagi hanya mampu berdiri kaku. Ivan mengajaknya masuk ke ruang tamunya, alasannya tak mungkin mereka membicarakan perihal banyak hal di halaman depan.

“Apa Anda punya semacam pekerjaan untuk saya? Saya bersedia mengerjakan apa pun, lantaran saya tahu fisik saya masih kuat,” kata Mudakir sembari melangkah masuk mengikuti Ivan yg berjalan lebih dulu.

Ivan bilang, Mudakir akan ia beri pertolongan, namun bukan pekerjaan. Hanya berbentuktempat tinggal & makan dengan-cara terstruktur saban hari. Terdengar asing tentu saja. Mudakir mengajukan pertanyaan, apa latar belakang Ivan melaksanakan hal demikian?

“Anda hanya perlu tinggal & beristirahat di tempat yg saya sediakan, & Anda tak perlu pergi ke tempat kerja,” kata Ivan tanpa memandang mata Mudakir.

Mudakir tak mendapat klarifikasi apa-apa selama beberapa hari itu, meski Ivan sudah memberinya tempat tinggal, berupa rumah yg terletak tak jauh dr rumah Ivan, & pastinya masakan yg menyehatkan. Mudakir tak terlalu sering menyaksikan Ivan di sekitar sini, namun ia sering disambangi oleh istri Ivan yg bisu, sehingga tak bisa mengajaknya berbicara, kecuali tersenyum. Istri Ivan ialah orang yg sangat bagus di mata Mudakir, alasannya wanita itulah yg menyiapkan masakan untuknya setiap hari.

Tentu dukungan yg luar biasa dr orang-orang asing ini menciptakan Mudakir tak nyaman. Ia bertanya pada Ivan, dgn kegigihan yg pula tak kalah hebat, tetapi ia tak pernah menerima jawaban yg memuaskan. Ivan hanya mengatakan, “Saya senang saja menolong Anda yg tak mempunyai keluarga, Pak.”

Bagi Mudakir, jawaban itu memang kurang membuat puas, karena alangkah tidak mungkin, bahkan bagi orang ikhlas mirip Ivan, untuk mampu begitu saja menampung seseorang yg sama sekali asing, terlebih status selaku mantan napi memungkinkan Mudakir berbuat hal-hal yg tak diinginkan.

Kemustahilan ini usang-lama menciptakan Mudakir tak tahan & berencana pergi ke suatu tempat entah di mana, yg jauh dr tempat ini. ia tahu, dunia luar berbeda dr dunianya sebelum masuk penjara. Dunia luar pada hari ini yakni dunia yg sarat teknologi canggih, yg bagi Mudakir setara benda-benda dr luar angkasa. ia bahkan tak bisa menelepon dgn telepon biasa di tepi jalan. Untuk menelepon, ia mesti menjinjing -bawa suatu benda pipih yg bersinar & sangat asing, yg pastinya tak ia miliki.

  Mencari Imam Mushola | Cerpen Makanudin

Pada suatu sore, sesudah istri Ivan pamit pulang, Mudakir memutuskan kabur tanpa tujuan. Ia mulai percaya di luar sana akan mampu memperoleh pekerjaan dr siapa pun, & ia tak mesti mengaku-ngaku sebatang kara. Mungkin ia hanya perlu menyampaikan ketika ini ia baru saja keluar dr penjara & butuh pekerjaan. Seseorang sudah niscaya berpikir betapa semangatnya ia, sehingga sudi memberinya pekerjaan.

Hanya, sebelum Mudakir sungguh-sungguh pergi, Ivan sudah mencegatnya & ia terlihat menangis tersedu-sedu. Apa yg terjadi sebenarnya bukanlah kebetulan. Ivan sudah mendengar cerita pilu Mudakir di penjara, yg terjebak di sana selama beberapa dekade akhir menghabisi seorang pembuat onar.

“Dari mana Nak Ivan tahu?” tanya Mudakir dgn bergetar.

“Saya dengar semua dr almarhum bapak saya, yg pula mendengar kisah Anda dr almarhum kakek saya, Markoni.”

Ivan pun membongkar ini, meski dr permulaan harusnya ia sudah melakukannya. Ivan hanya belum siap. Dan sekarang, pastinya ia siap. Mudakir, tanpa meminta penjelasan lebih jauh, tahu arah pengesahan Ivan. Markoni yaitu sobat dekatnya yg mempunyai bioskop legendaris tersebut. Malam itu, 40 tahun lalu, bareng Markoni yg dikala itu telah mempunyai anak satu & istrinya hamil dua bulan, ia mendatangi rumah sang pembuat onar & membunuhnya.

“Orang-orang hanya tahu Anda sendiri pelakunya, padahal almarhum kakek saya pula turut ambil potongan,” kata Ivan dgn tangisan yg semakin menjadi-jadi. “Kakek saya tahu ia a mat berdosa lantaran membiarkan Anda terjebak di penjara sendirian, & ia sendiri tak berdaya lantaran Anda menghilangkan bukti-bukti keterlibatannya demi menyelamatkan keluarganya, yg pastinya berimbas pada kehidupan baik yg kini saya dapatkan. Saya cucu Markoni & saya mendengar semua itu tanpa kurang satu kata pun! Dan inilah akhir semua yg sudah terjadi. Saya mohon Bapak jangan pergi dr sini. Tinggallah di sini & habiskan masa-masa tua Anda di sini!”

Mudakir sungguh-sungguh tak dapat berucap apa pun. Kisah Mudakir, yg disampaikan kakek Ivan, menciptakan ayahnya menyiapkan segala sesuatu untuk menyambut jikalau suatu hari Mudakir pulang. Itu termasuk mendidik Ivan dgn cara lurus; tak melupakan orang yg dengan-cara berani berkorban demi semua orang di lingkungan mereka. Sekarang, ayah Ivan sudah meninggal, namun wasiat itu, tentang membantu Mudakir sepulang dr penjara, sungguh-sungguh dilaksanakan oleh cucu Markoni tanpa kurang sepatah kata pun.