LELAKI itu kembali membuka gorden, mengintip bingar hujan di luar jendela. Langit nyaris gelap, & hujan masih saja berdebaman menikam apa saja. Lelaki itu menghela napas, ia sungguh-sungguh cemas. Cemas pada istrinya yg sudah hampir empat jam belum pula sampai di rumah. Mungkin ia takkan secemas itu kalau isterinya tak dlm kondisi hamil bau tanah. Ia menyesal sudah memerintahkan istrinya naik taksi seorang diri. Ia memang tak memiliki opsi lain, hujan turun deras sekali & ia lupa menenteng jas hujan—yang umumnya ia siapkan di jok motor.
Lelaki itu membayangkan kemungkinan-kemungkinan buruk yg akan terjadi kalau ia nekat membonceng istrinya pulang dlm keadaan hujan sederas itu, dgn motor telanjang. Jalan menuju rumahnya begitu berkelok & sungguh licin bila hujan turun. Beberapa hari lalu seorang pengendara motor terjungkal & terluka parah di tikungan jalan itu. Sebab itulah ia memerintahkan istrinya untuk naik taksi. Sedangkan ia sendiri menentukan nekat untuk menembus guyuran hujan yg begitu parah.
“Tolong kamu bawakan tasku, handphone-ku ada di dalam,” tuturnya sebelum melesat pergi meninggalkan istrinya seorang diri di teras swalayan, tempat ia membeli kebutuhan antisipasi lahiran.
“Iya, hati-hati, Mas, jalannya licin lho,” sambut istrinya singkat. Dan laki-laki itu segera meluncur tanpa menoleh ke belakang lagi. Hujan turun deras sekali.
Lelaki itu hingga di rumah dlm keadaan kuyup sekuyup-kuyupnya. Selepas berubah busana & mandi ia duduk di teras rumah dgn suatu payung yg ia siapkan untuk menyongsong istrinya supaya tak kehujanan tatkala turun dr taksi. Menunggu taksi bukanlah pekerjaan yg mengkonsumsi waktu, lagi pula, kawasan itu tak terlalu jauh dr sini, beberapa menit lagi pasti istriku tiba, pikirnya. Ia mulai panik tatkala satu jam istrinya belum pula datang. Ia ingin menghubungi istrinya—sudah hingga di mana kini, tetapi ia baru ingat bahwa handphone miliknya ada di dlm tas yg sekarang dibawa istrinya.
Lelaki itu menentukan untuk masuk ke dlm rumah. Pasti dalam waktu dekat taksinya tiba. Tak problem ia berada di dlm rumah, toh kalau ada bunyi mobil berhenti di depan rumah niscaya kedengaran. Tapi, hujan kali itu betul-betul berisik hingga kepanikannya bertambah-tambah. Untuk menenangkan diri, laki-laki itu beranjak ke dapur & menyeduh dua cangkir teh hangat, satu untuknya, & satu lagi untuk istrinya. Sebentar lagi niscaya istriku hingga. Dingin-dingin begini niscaya akan sangat tenteram menyeruput teh hangat berdua-duan.
Lelaki itu kembali meyingkap gorden jendela. Hujan mereda sejenak & kembali menderas. Dua cangkir teh mendingin, menguap di atas meja, yg satu masih utuh, yg satu tinggal separuh. Lelaki itu masih bangun di balik jendela. Menatap ruahan hujan yg mirip ditumpahkan begitu saja dr baskom raksasa. Ia memandang nanar dua pohon kelengkeng yg berayun-ayun di depan rumah alasannya kibasan angin. Ia mengajukan pertanyaan-tanya, sedang apakah istrinya sekarang. Apa ia baik-baik saja?
Entah mengapa, tiba-tiba ia membayangkan, tatkala istrinya tengah menunggu taksi, tiba-tiba istrinya mencicipi kontraksi pada janinnya. Lantas, sebelum taksi datang, beberapa orang menjinjing istrinya ke tempat tinggal sakit. Ia membayangkan, di sebuah ruang, di sebuah rumah sakit, istrinya sedang berjuang mati-matian untuk melahirkan bayi pertamanya. Ia membayangkan istrinya mengejan, bersimbah peluh, ketubannya pecah, bergulat darah, & ia tak ada di sana, di samping istrinya. Pasti itu sangat sulit, melahirkan tanpa seorang suami di sebelahnya, tanpa seorang suami yg menghibur payahnya, menyemangatinya.
Ia terjaga dr lamunan jauh itu tatkala suatu kendaraan beroda empat menderum, melintasi depan rumahnya, hanya melintas, tak berhenti. Ia baru sadar kalau ia terlampau cemas, matanya sedikit lembap. Tidak, itu tak akan terjadi. Kata dokter, HPL istriku masih awal bulan depan, sekitar dua pekan lagi. Ia menghela napas berat & kembali ke sofa. Merebahkan badan & pikiran yg cemas.
Sekali lagi, laki-laki itu menengok jam yg membeku di pusat dinding. Sudah hampir tiga jam lebih & istrinya belum pula kembali. Langit sudah sempurna didekap gelap. Ia semakin khawatir. Sebenarnya ia sudah merencanakan jas hujan & bersiap untuk menyusul istrinya kembali. Namun hujan di luar semakin parah, deras sekali, lebih deras dr sebelumnya. Ia pula khawatir, kalau istrinya sudah terlanjur naik taksi, perjalananya yg sulit payah itu cuma akan berbuntut tidak berguna. Saya akan menanti sampai setengah jam lagi, bila setengah jam ke depan istriku belum datang, gue akan sungguh-sungguh menyusulnya. Tak peduli gelap, tak peduli hujan, gue akan menyusulnya, pikirnya berapi-api.
Sekilas ia mendengar deruman kendaraan beroda empat melintas di jalan depan rumah. Itu dia, pikirnya. Maka, segeralah ia berlari menyosong deruman itu. Namun sayang, itu hanya deruman kendaraan beroda empat tetangga yg lewat sepulang kerja. Ia kembali mengempaskan napas berat & terduduk di sofa dgn badan lemas. Teh di atas meja sudah tandas. Ia berjanji tak akan menyeruput teh milik istrinya yg ia buat sendiri. Ia ingin istrinya tahu, bahwa ia sungguh peduli, bahwa ia sungguh cemas.
Sekali lagi, sayup-sayup ia mendengar bunyi deruman kendaraan beroda empat. Entahlah, ia tak percaya, apakah itu bunyi deruman kendaraan beroda empat atau cuma suara hujan yg tak henti-henti. Dengan langkah terhuyung ia berjalan mendekati jendela. Membuka gorden yg bergoyang-goyang. Dan lihatlah! Di luar tak apa pun kecuali hujan yg memperbesar kepanikannya. Mengapa hujan ini tak pula berhenti, ia mulai menyalahkan hujan. Harusnya gue menjinjing sendiri handphone-ku, ia mulai menyalahkan handphone. Seharusnya gue menjinjing jas hujan, ia menyalahkan jas hujan. Ah, suami macam apa gue ini, ia menyalahkan dirinya sendiri.
Lelaki itu masih berdiri di wajah jendela. Ia menyaksikan dua pohon kelengkeng di depan rumah menjadi buram mirip bayang-bayang. Hujan kali ini betul-betul parah. Serupa kabut-kabut air yg menyusun suatu rencana tak terduga.
Entah mengapa, tiba-tiba ia membayangkan istrinya memanggil taksi yg salah. Ia membayangkan istrinya duduk kedinginan di jok belakang, sementara sopir taksi itu sesekali meliriknya dr beling spion. Ia membayangkan, sopir taksi itu tak membawa istrinya pulang, tapi menjinjing istrinya ke kawasan sepi & kemudian meminta uang & pelengkap yg ada. Lantas istrinya diturunkan di sebuah daerah yg sepi pula. Istrinya menangis tak karuan karena takut. Terlebih-lebih ia membobot janin yg beratnya hampir tiga kilogram di perut. Pasti itu akan sungguh sulit sekali. Ah, suami macam apa gue ini.
Ia terbuyar dr lamunan yg tidak-tidak itu tatkala kilat di luar jendela menyambar tiba-tiba. Hatinya sesak. Ia ingin menangis. Ia benar-benar menyesal tak menenteng handphone-nya sendiri. Jika ia menenteng handphone itu, ia takkan secemas ini. Ia mampu menelepon istrinya kapan saja ia mau. Ia mengusap wajah terburu-buru & kembali menyeruput teh yg tandas di atas meja. Ia ingin menetralisir pikiran-pikiran jelek itu perihal istrinya, semua itu hanya ada di sinetron. Ia pula menyesal sudah terlalu banyak menonton sinetron. Ah.
Ini sudah terlalu lama. Aku tak akan menanti lagi. Lelaki itu menyahut jas hujan yg sudah terlipat rapi di atas meja. Hampir empat jam sudah. Menunggu taksi tak mungkin selama itu. Ia harus secepatnya menyusul istrinya kembali. Ia bergegas, mengenakan jas hujan, megeluarkan motor yg masih kuyup. Ia mengunci pintu & melesat menembus hujan. Hujan yg sungguh deras, sederas rasa cemas yg meluap-luap di dadanya. Hujan bukanlah apa-apa. Sederas apa pun, ia akan tetap menembusnya.
Secepat kilat lelaki itu meluncur dgn motornya, berseliut dr tikungan ke tikungan, melesat dr jalan ke jalan, menembus hujan yg seperti tak peduli pada apa-apa. Dalam perjalanan yg kuyup & gigil itu, laki-laki itu terus menggumam do’a, ia terus mempertimbangkan nasib istrinya yg pula belum kembali. Beberapa menit, ia telah sampai di swalayan kawasan semula istrinya menanti. Dan di sana, ia tak melihat siapa-siapa. Ia bertanya pada beberapa orang yg melintas, pada satpam yg bangkit di depan gerbang, & tak seorang pun menunjukkan balasan yg mampu menjadikannya lega.
Tanpa banyak kata, bergegaslah laki-laki itu ke tempat tinggal sakit terdekat. Sesampainya di rumah sakit, ia segera menemui resepsionis & menanyakan apakah ada wanita hamil yg mungkin datang berjam-jam lalu, & resepsionis itu menjawab tak ada. Lelaki itu lemas. Ia meraih motornya & segera kembali rumah. Hujan yg deras mendedas sudah liris menjadi gerimis-gerimis tipis. Tatkala laki-laki itu sampai di depan rumah, hujan sudah nyaris reda.
Di teras rumah ia melihat sesosok perempuan tengah bangkit mematung, mengelus perutnya yg buncit. Tanpa sepatah kata, laki-laki itu secepatnya menghambur, memeluk perempuan itu erat-erat, seolah mereka sudah terpisah begitu lama. Dan hujan pun kembali turun dgn derasnya. (*)