Ratmi membuka jendela kamarnya, pesing yg begitu pekat segera menyeruak ke lubang hidungnya. Membuatnya ingin muntah. Kurang ajar, para begundal itu pasti kencing di situ lagi, umpatnya dlm hati.
Semenjak pasar baru itu diresmikan tiga bulan kemudian, setiap malam selalu saja ada orang-orang kurang kerjaan yg suka begadang di gardu pinggir pasar—cuma beberapa meter dr rumah Ratmi. Mereka bermain gitar, bermain kartu, atau mengobrolkan hal-hal yg menurut Ratmi tak penting. Mereka penggaduh yg tak tahu aturan. Tak jarang, tengah malam anak Ratmi yg masih bayi terbangun alasannya adalah terkejut mendengar ledakan tawa dr gardu di pinggir pasar itu. Ratmi atau tetangga lainnya tak ada yg berani menegur. Dan yg paling membuat Ratmi geram, mereka kegemaran sekali mengencingi pohon sawo di halaman sebelah rumah Ratmi. Pohon sawo yg menjadi pembatas antara rumah Ratmi & area parkir pasar gres itu. Hingga aromanya menyebar sampai ke kamar.
Ratmi memang tak pernah menyaksikan dengan-cara langsung orang-orang itu kencing di bawah pohon sawonya. Tapi, siapa lagi jikalau bukan mereka? Anjing liar? Mereka itu anjing liarnya. Dan bau pesing itu agak asing. Tidak mirip wangi kencing orang normal. Baunya lebih busuk. Barangkali mereka terlalu banyak meneguk alkohol hingga air kencing mereka berbau mirip amonia. Tajam, busuk, & seolah beracun.
“Orang-orang ini tidak mempunyai otak, kencing kok di halaman rumah orang. Tapi, pengurus pasar pula tidak mempunyai otak. Gara-gara toilet pasar digembok, mereka jadi kencing di halaman rumah orang. Mereka sama-sama tidak memiliki otak,” ratusan kali Ratmi menyerapahi mereka. Hanya menyerapahi.
“Laporkan saja ke Pak RT biar ditegur,” usulan seorang tetangga. Tapi, itu sudah bau, Ratmi sudah melapor ke Pak RT sebanyak dua kali dlm tiga bulan terakhir. Kata Pak RT, mereka sudah ditegur. Mereka iya-iya, berjanji tak bikin gaduh. Tatkala Pak RT mengajukan pertanyaan perihal siapa yg kencing asal pilih di halaman rumah orang, mereka tak mengaku. Mereka bilang tak ada satu orang pun di antara mereka yg kencing di halaman rumah Ratmi. Hal itu membuat Ratmi makin geram. Jelas-terperinci anyir pesing itu menusuk hidung. Dalam hati Ratmi berjanji, ia akan menerangkan bahwa para begundal kurang kerjaan itulah yg hampir setiap malam mengakibatkan pohon sawonya sebagai kakus gratisan.
Untuk menangkap lembap si tukang kencing itu, suatu malam, Ratmi meminta suaminya untuk berjaga & mengintai manusia seperti apa yg sudah mengencingi halaman rumahnya. Tapi, suami Ratmi maupun Ratmi sendiri tak pernah memergoki dengan-cara langsung. Mereka selalu ketiduran setiap kali menjajal berjaga. Ratmi pernah berpikir ingin memasang beberapa jebakan tikus, menyebarnya di bawah pohon sawo yg remang itu. Tak perlu umpan. Karena jebakan itu memang bukan untuk para tikus. Tapi, untuk kaki-kaki sialan yg berjalan mengendap-endap di halaman rumahnya & melepaskan hajat di pokok pohon sawonya. Tapi, Ratmi tak pernah melaksanakan itu. Justru suatu wangsit lain muncul di kepala Ratmi.
“Orang-orang kencing di sini alasannya adalah daerah ini gelap,” ujar Ratmi pada suaminya. “Makara, kita pasang lampu saja, sempurna di bawah pohon itu, kita gantung di salah satu dahan. Dan jangan lupa, kita tempel plang dr tripleks & kita tulisi ‘Hanya Anjing yg Boleh Kencing di Sini’. Tulisi yg besar biar mereka melek.”
Suami Ratmi segera bertindak. Setelah lampu & plang itu terpasang, Ratmi menghela napas alasannya adalah berasumsi halaman rumahnya akan terbebas dr aroma memuakkan itu. Tapi, rupanya Ratmi salah. Esok harinya & esok harinya lagi, aroma pesing itu masih saja tercium sampai ke dlm kamarnya. Bahkan, aromanya kian pekat. Seolah aroma pesing itu melayang-layang di udara & membeku di sana. Saban pagi, Ratmi menyiram pokok pohon sawonya itu dgn air bekas cucian piring atau air bekas mandi bayinya agar amis pesing itu enyah dr sana. Tapi esoknya, setiap pagi gres tiba, aroma pesing itu datang lagi.
“Baiklah, ini sudah tak mampu ditoleransi lagi,” ujar Ratmi megap-megap, menahan aroma mujarab yg meringsek ke lubang hidungnya. “Kalau hingga terbukti, mereka harus dibawa ke polisi, mereka kudu diperkarakan,” tambahnya.
“Tapi, peran polisi bukan menangkap orang yg kencing di halaman rumah orang,” sahut suaminya.
“Tapi, mereka mengganggu ketenteraman orang, itu tindakan melawan hukum. Yah, kalau polisi tak mau menangkap mereka, kudoakan saja supaya Tuhan atau siapa pun mengebiri barang mereka. Biar mereka tak mampu kencing asal-asalan lagi.”
Suami Ratmi tertawa kecil.
“Coba malam ini ananda ke gardu, tegur mereka dengan-cara baik-baik,” pinta Ratmi dgn tampang cemberut.
“Tapi, Pak RT kan sudah pernah menegur mereka.”
“Beda. Pak RT sudah tak mampu diperlukan lagi. Aku pengin dengar apa yg mereka katakan padamu. Soalnya yg dikencingi ini rumahmu, bukan rumah Pak RT.”
“Wah, gue malas sekali kalau mesti berurusan dgn orang-orang mirip itu,” balas suami Ratmi, enggan.
“Malas atau takut?” sindir Ratmi. “Kasihan itu anakmu, tiap hari mesti menghirup udara beracun.”
“Kita tutup saja jendelanya.”
“Jendela dibentuk supaya angin bisa keluar masuk, kok ditutup.”
“Lha bila tak ditutup baunya pesing, ananda ngomel–ngomel.”
“Makanya, ananda tegur mereka baik-baik. Kamu kan pria.”
Malam harinya. Dengan tampang tertekuk & sangsi, suami Ratmi pun mendatangi segerombolan orang di gardu itu. Ratmi mengintip dr balik jendela. Tampak suaminya mengatakan dgn beberapa orang. Sesekali ia tersenyum masam. Suaminya terlihat mengangguk berulang kali. Terdiam sejenak. Berbicara lagi. Mengangguk lagi & berlalu.
“Mereka bilang, tak ada yg pernah kencing di situ,” ujar suami Ratmi bersungut-sungut.
“Kurang didik! Masih belum ada yg mengaku. Kalau bukan mereka yg kencing di situ, terus siapa lagi?”
Suami Ratmi menggeleng. Putus asa.
“Cuma mereka yg suka begadang sampai tengah malam di situ.”
“Sepertinya mereka orang baik-baik,” lirih suami Ratmi. “Mereka hanya suka begadang & bermain kartu.”
“Dan mengencingi halaman rumah orang,” sambar Ratmi.
“Mereka bilang tak kencing di situ,” bunyi suami Ratmi agak meninggi.
“Lalu siapa?”
Setelah berembuk alakadarnya, Ratmi & suaminya bersepakat untuk tak tidur malam ini. Benar-benar tak tidur. Setidaknya, sampai mereka memergoki makhluk seperti apa yg mengencingi pohon sawonya. Ratmi telah memasang dua dingklik di depan jendela. Berhadap-hadapan. Untuknya & suaminya. Setelah bayinya tertidur. Ratmi membuat dua cangkir kopi pekat untuk berjaga malam. Malam pun menyambut. Mulai merangkak. Semakin menggelapkan yg sudah gelap. Dan gardu di sebelah rumah Ratmi, yg semula sepi itu, mulai ramai didatangi orang.
“Lihat mereka. Pasti salah satu dr mereka yg mengencingi pohon sawo kita,” bisik Ratmi sambil mengintai dr balik jendela.
Semakin malam seharusnya makin sunyi, namun gardu di depan pasar itu berbeda. Semakin malam justru kian riuh. Jarum jam sudah menukik, menawarkan pukul setengah dua belas malam. Tapi, tak terlihat seorang pun yg mengunjungi halaman rumah Ratmi.
“Tak ada yg kencing di situ. Jangan-jangan memang bukan mereka,” gumam suami Ratmi, pelan.
“Kita lihat saja.”
Sambil berjaga & menyesap kopi yg semakin hambar itu sesekali, mereka berbincang lirih. Seperti dua orang yg sengaja berbisik. Sementara jarum jam terus bergerak, hingga ke angka dua belas, kemudian ke angka satu, & seterusnya.
Pukul setengah tiga, Ratmi & suaminya sudah mengerut. Lubang mata mereka sudah menggelap serupa sepasang mata panda. Mereka nyaris frustasi, hingga tiba-tiba Ratmi terlonjak alasannya adalah melihat kelebatan di antara pohon sawonya.
“Sebentar, lihat itu!” Wajah Ratmi bergeser mendekati jendela yg sedikit terbuka. Suaminya mengikutinya dgn malas.
Di bawah pohon sawo itu, tampak seekor anjing liar berjalan mondar-mandir, sebelum kesannya mengangkangkan kaki & mengencingi pokok pohon itu. Kepala Ratmi mau meledak. Anjing itu tak bersalah. Ya, memang hanya anjing yg boleh kencing di situ. ***