Amplop Susulan | Cerpen Teguh Affandi

Dada rasanya diguncang gempa, tatkala tangan kiri saya masukan & raba-raba saku celana & benda itu masih tersimpan di dlm sana. Amplop yg semestinya saya berikan pada Ustaz Jazuli usai memberi ceramah di masjid kompleks. Keringat sebiji-biji nangka membasahi peci, menetesi pipi, & saat itu juga menciptakan kemeja koko yg saya kenakan berair oleh keringat gugup.

“Celaka!” saya refleks menepok jidat. Saya akan disalah-salahkan oleh panitia lain, bila tahu amplop yg diamanahkan pada saya tertukar.

Saya menemukan peran membersamai Ustaz Jazuli, selama rehat sebelum beranjak ke mimbar untuk menawarkan ceramah dlm rangka tasyakuran rampungnya pembangunan masjid kompleks. Meski saya pada dasarnya lebih bahagia untuk duduk menikmati sajian & pengajian, namun tak ada lagi yg dinilai panitia patut mengawalselain saya. Tak apalah, saya pula tak tega jikalau Pak Supadi yg usianya sudah 45 tahun harus merangkap banyak hal. Atau saya pula tak tega menyerahkan peran sederhana, namun krusial ini pada Roni, Brian, Hudi, yg gres saja lulus Sekolah Menengah kejuruan.

Selain menemani, saya mendapatkan tugas menciptakan nyaman Ustaz Jazuli. Kesan baik harus saya tampilkan kepadanya sebab ini kali pertama Ustaz Jazuli hadir di pengajian kompleks kami.

Kami mengenal Ustaz Jazuli setelah dia hadir di salah satu stasiun teve. Betapa beruntungnya kami, setelah mengetahui bila kediamannya hanya berjarak satu setengah jam dgn kendaraan beroda empat. Ah, itu suatu anugerah besar. Apalagi, setelah tahu jikalau Ustaz Jazuli bersedia menyediakan waktu ke kompleks kami alasannya mertuanya yg pula penghuni kompleks sini. Benar-benar anugerah.

Bibir saya masih terkunci. Saya takut bila sobat-sahabat panitia lain tahu & mendakwa saya hendak menilap amplop yg sebaiknya dijadikan duit bensin untuk Ustaz Jazuli. Meskipun saya tak mengetahui berapa jumlah rupiah yg ada di dlm amplop tersebut, saya sangat yakin panitia tidaklah orang yg sembarangan memberi duit bensin. Apalagi, pada Ustaz Jazuli yg sudah kami rindukan itu.

Pengajian dimulai sedari jam 9 pagi & tamat menjelang Zuhur. Ustaz Jazuli mengimami jamaah sembahyang di masjid gres kami. Mungkin di titik inilah kealpaan saya tumbuh subur. Sudah saya pisahkan pada awalnya, bahwa amplop yg berisi uang untuk Ustaz Jazuli saya letakkan di saku celana sebelah kiri. Sedangkan, amplop lain & barang-barang lain saya masukan ke saku kanan.

Usai sembahyang Ustaz Jazuli masih melayani beberapa orang yg mengajak berfoto bareng & salaman. Hamboro ketua panitia pengajian memberi aba-aba pada saya yg ada di belakang Ustaz Jazuli untuk menyibak kerumunan orang agar rombongan mampu segera masuk mobil.

  Unsur Ekstrinsik Dalam Cerpen

“Maaf, Maaf!” saya mencoba menyibak, menciptakan jalan.

Ustaz Jazuli & dua orang asistennya berjalan perlahan. Agar perlahan. Dan sehabis sukar payah, mereka sukses masuk kendaraan beroda empat. Ustaz Jazuli berada di jok belakang seorang diri. Dua asistennya ada di baris depan, dgn salah seorang menjadi juru kemudi.

“Maaf, Bang.. Ini ada sedikit uang transport titipan panitia. Saya mewakili panitia mengucapkan terima kasih & mohon maaf kalau banyak kekurangan”, saya menyelipkan amplop ke telapak tangan tangan kanan Ustaz Jazuli yg duduk di samping kemudi.

Dia mengangguk, kemudian balik mengucapkan terima kasih & mohon maaf.

Saya yakin di titik inilah saya keliru meraih amplop. Amplop Ustaz Jazuli yg harusnya ada di saku celana kiri bukan teraih. Saya justru meraih amplop yg ada di saku celana kanan.

Benar-benar. Manusia memang sarang salah & lupa. Bagaimana mampu saya melakukan kesalahan fatal & memalukan mirip ini? Keringat yg berkali-kali saya sapu dgn lengan baju koko, terus saja menderas. Seolah sumber keringat itu tak tertutup & asat.

Hamboro duduk mengipas-kipasi badannya. Penat & keringat. Beberapa panitia lain pula mulai berbenah, menggulung kabel, membereskan piring yg tadi dipenuhi camilan, menyapu sisa-sisa kotoran di karpet. Namun, lebih banyak lagi yg cuma ongkang-ongkang kaki, menghabiskan minuman & kudapan.

“Sanuka, sudah bereskan seluruhnya?” Hamboro menentukan.

Saya cuma mengangguk. Kemudian, menjangkau telepon genggam.

“Sibuk betul, mau ke mana?” Hamboro kembali mencecar. Kantor pos sudah tutup, Sabtu cuma setengah hari.

Saya menengok angka jam digital di pojok telepon genggam. Benar sudah nyaris setengah dua. Tak ada kantor pos yg masih melayani pengantaran surat kilat. Apalagi, surat yg seharusnya saya kirimkan pada pabrik terbawa Ustaz Jazuli. Mengingat itu saya malu. Saya malu kalau hingga Ustaz Jazuli membuka amplop itu & kemudian membaca isinya. Duh, mau saya simpan di mana wajah saya nanti.

Saya mirip sebutir telur bergoyang-goyang di tubir meja. Sebentar lagi jatuh & pecahlah semua isinya. Saya sudah pasti tak mampu mengajukan lamaran pabrik, sekaligus saya harus malu & diujar-ujar oleh panitia lain.

“Pamit dahulu, ya! Ada janjian sama sahabat,” saya pamit pada Hamboro.

“Syukron ya. Ustaz Jazuli sepertinya puas.”

Saya hanya mengangguk. Sedangkan, dlm pikiran saya berputar-putar menimbang-nimbang planning untuk menelepon salah satu ajudan yg tadi mendapatkan amplop. Malu. Ya, saya malu. Tetapi, lebih baik malu di depan insan ketimbang mesti saya tanggung rasa malu & dosa sampai di hadapan Yang Mahakuasa. Saya mencicipi keringat di hamparan kulit mulai surut, tetapi baju koko & telapak tangan sudah kadung lembap.

  Telur Aneka Rasa | Cerpen Umi Rahayu

Saya mesti menyerahkan apa yg menjadi amanah saya & hak Ustaz Jazuli.

Saya menepi dr kerumunan. Tentu akan tak yummy jikalau teman-sobat memergoki saya. Saya kirim pesan pada asisten yg tadi menerima amplop saya. Saya berharap biar cepat dibalas, nyatanya pesan balasan gres masuk ke telepon genggam saya lima belas menit.

“Mas, kami ada di Restoran Nasi Kebuli. Kalau masih ada perlu, silakan gabung kami saja,” jawab asisten Ustaz Jazuli lewat pesan pendek.

Saya gegas tancap motor bebek menuju restoran yg disebut. Andai waktu bisa saya putar ulang, tentu peristiwa konyol nan kurang pandai ini takkan terjadi. Andai waktu bisa saya percepat, saya ingin meloncat melewati fase-fase memalukan ini.

*****

“Afwan Ustaz Jazuli, saya Sanuka, panitia pengajian tadi, saya mencium punggung tangan Ustaz Jazuli.” Lama sekali. Saya ingin menyelesaikan rasa salah saya di punggung tangan yg harum itu. Keringat yg anyir menyusup ke dlm tubuhku. Seolah mengalirkan rasa tenang. Penuh hening & keikhlasan.

“Ada apa, Nak? Sampai nyusul?” Ustaz Jazuli bertanya sarat heran.

“Sebenarnya ada yg saya…, kalimat saya terpotong oleh segukan tangis yg kadung turun menjadi banjir di pipi saya. Saya sungguh-sungguh menyesal. Saya khilaf & kenapa pula khilaf itu mesti terjadi di ketika seperti ini.”

“Sudah tenang dahulu,” Ustaz Jazuli mengelus punggung saya. Bukannya membisu, tangis saya kian kencang.

Ustaz Jazuli memanggil pramusaji untuk menyajikan minuman. Kemudian disodorkanlah pada saya. “Minum dulu. Bismillah. Biar tenang,” kata Ustaz Jazuli begitu teduh.

Saya raih & tegukan saya begitu buas. Habis saya tandaskan dlm sekali.

“Kamu niscaya lapar, makan dulu ini,” Ustaz Jazuli menyodorkan sepiring nasi kebuli dgn pecahan iga kambing. “Makan saja, kami sudah makan,” Ustaz Jazuli memerintahkan.

Dua asisten yg sedari tadi memandangi saya mengangguk selaku izin untuk saya melahap suguhan makan menjelang petang itu. Saya sendok perlahan-lahan. Kenikmatan merasuk. Bumbu yg sedap kemudian daging kambing empuk menciptakan saya tak begitu repot mengunyah. Ustaz Jazuli membaca buku. Dua asistennya sesekali mengajak saya berbincang.

Setelah tandas, barulah asisten yg menerima amplop tadi berbicara.

“Dik Sanuka, ada apa kok hingga nyusul?”

  Gerombolan Kupu-kupu | Cerpen Dody Wardy Manalu

“Begini Mas, sebelumnya saya mohon maaf pada Ustaz Jazuli & mas-mas.

Saya salah. Khilaf. Sebenarnya amplop yg saya berikan tadi tertukar. Saya keliru memberikan,” saya terbata-bata. Keringat saya tak membanjir. Tapi, gugup kali ini lebih maha. Saya menyodorkan amplop yg benar.

Oalah, tadi amplopnya ananda kasih ke pengemis deket masjid, kan?” Ustaz Jazuli memandang asistennya. Dijawab dgn anggukan takzim.

Sekarang giliran saya yg kebingungan. Betapa mulia Ustaz Jazuli, bahkan amplop yg menjadi hak atas lelah & waktu yg diluangkan diberikan pada kaum papa. Dada saya terenyuh lebih syahdu. Embusan pendingin udara menyapu wajah saya & merasuk bersama aroma sitrus yang segar.

Dan berkat keteledoran saya, niat baik itu berujung pada tidak berguna.

“Tidak apa-apa. Tidak ada yg sia-sia,” seolah mengerti kekhawatiran saya. Dengan lembut Ustaz Jazuli justru membuat saya kembali gugup.

“Ini titipan panitia untuk Ustaz, saya menyodorkan kembali. Saya yg keliru, Ustaz,” kata saya.

“Bukan. Itu sudah bukan hak saya. Itu untuk Dik Sanuka saja,” Ustaz Jazuli.

Saya termangu sebentar. Dada saya kembali dirayapi keraguan. Bukan soal duit.

Tapi, apakah amanah saya sudah tertunai atau belum?

“Tapi….”

“Sudah, tak ada tapi-tapian. Saya harus pulang Dik Sanuka, amplop itu pakai buat Dik Sanuka saja. Hak saya sudah saya ambil,” Ustaz Jazuli sekarang beranjak dr kursinya. Dua asistennya mengikuti. Saya pun turut.

“Ustaz, saya nanti melaporkannya bagaimana?”

“Kan sudah Ustaz bilang, amplop yg hak Ustaz sudah dikasihkan ke pengemis. Dan, amplop yg ini milik Dik Sanuka.”

Bibir kelu lalu disusul sendu akibat haru yg membiru.

“Oh iya, Dik Sanuka, ketimbang melamar menjadi karyawan di pabrik kut*ng, mending uang itu dipakai buat modal perjuangan. Semoga barokah!”

“Terima kasih Ustaz!” jawab saya.

Ustaz Jazuli & dua asistennya meninggalkan Restoran Nasi Kebuli, meninggalkan saya dgn amplop yg saya raba-raba cukup tebal. Kesadaran saya mendadak muncul, dr mana Ustaz Jazuli mengetahui saya hendak melamar menjadi karyawan di pabrik kut*ng? Pasti amlop berisi lamaran saya untuk menjadi penjahit di pabrik kutang itu sudah dibuka Ustaz Jazuli. Saya malu. Malu betul.

TEGUH AFFANDI, lahir di Blora 26 Juli 1990. Menulis cerpen, esai, & ulasan buku yg sudah tersiar di banyak media massa. Memperoleh PPSDMS Award Kategori Pena Emas, Green Pen Award Perhutani, menjuarai sayembara cerpen Femina & beberapa kompetisi menulis lainnya. Sekarang bertempat tinggal di Jakarta sebagai editor buku.