Tangisan dari Bawah Tanah | Cerpen Saleojung

Setiap kali bercermin, ia semakin menyaksikan jelas apa yg ada di raut wajahnya. Kadang ia berkaca sambil memeriksa-nilikkan paras . Ya, memeriksa-nilikkan paras bukan alasannya adalah ada bekas coretan luka di pipi kanan. Namun lebih dr itu.

Malam itu, di hadapan cermin, ia terus membiarkan pikirannya melayang jauh ke situasi yg ia lihat sebelumnya, tatkala sepasang matanya melirik padang rumput hijau yg terbentang di belakang kamarnya. Di sana tampak suatu siluet dr masa yg mempesona keinginannya untuk memutuskan tinggal di tempat itu.

Waktu itu ia masih seumuran anak SMP. Banyak hal menawan di kawasan itu. Negeri Barbar, begitu orang-orang menyebut. Negeri yg tidak mengecewakan jauh dr pantai. Namun keindahannya jauh melampaui panorama & suasana pantai tatkala matahari bersenyawa dgn warna jingga. Juga burung-burung yg beterbangan kala sore meredup menjemput kembali para nelayan ke peraduan, daerah mereka akan menjumlah bulir keringat dr keluasan samudra tanpa tepi.

Negeri Barbar punya keindahan lain. Alam yg bersih, aneka macam bunga berjejer rapi di tepi jalan menuju rumah Kiai Halim. Warganya pun ramah. Apalagi ada cerita seorang wanita seumuran yg berambut merah. ia sungguh bahagia kalau bulan mulia nyaris tiba. Saat itulah, Negeri Barbar menyelenggarakan syukuran.

Sebagai adik dr seseorang yg menjadi abdi di Negeri Barbar, tepatnya di rumah Kiai Halim, ia bahagia. Karena, ketika itulah ia akan berjumpa kembali dgn wanita berambut merah, anak Kiai Halim. Telah usang ia memuja, walau sebatas saling pandang dr jauh. Bagi ia, sangat tak mungkin mendekati. Apalagi hingga menjalin relasi serius dgn wanita berdarah biru itu. Ia hanya tamu dr sang abang yg menjadi abdi.

  Anjing Belanda | Cerpen Yuditeha

Namun masa itu sudah hambar. Tidak ada lagi yg patut ia banggakan dr Negeri Barbar & wanita berambut merah itu, selain puing-puing kenangan yg berantakan di kawasan yg sering ia lihat. Semenjak kepergian Kiai Halim, situasi di Negeri Barbar mendadak berubah. Berbagai tanaman yg dahulu berjejer rapi di jalan menuju rumah Kiai Halim, kini mati. Penduduk kampung tak lagi ramah. Apalagi setelah kabar yg memukul ia bahwa wanita itu sudah diusir beberapa warga, alasannya adalah menyekap seorang lelaki di dlm kamarnya. Sungguh, itu di luar praduga.

*****

Lelaki itu beranjak keluar, meninggalkan beberapa potong kenangan di suatu cermin yg sejak tadi menggambarkan wajahnya. Malam itu, dr depan kamar, ia melihat seorang kakek yg setiap kali menjelang sore senantiasa menaburkan kembang di atas kuburan Kiai Halim yg selalu terlihat lembap. Entah air apa & dr mana. Yang terperinci, bukan siraman air hujan.

Tidak mungkin ada hujan pada ekspresi dominan seperti ini. Langit masih seterang kemarin. Tidak ada gumpalan mendung yg mengabarkan hujan akan datang. Namun setiap kali ia menyaksikan tanah kuburan Kiai Halim di samping jalan itu selalu lembap oleh air yg terus mengalir ke samping kuburan. Kadang air itu menggenang di atas gundukan tanah. Kadang mengalir sampai ke jalan-jalan, bahkan ke segala arah.

Lelaki itu kini beranjak dr depan kamar. ia menghampiri kakek yg masih sibuk menaburkan kembang di atas kuburan Kiai Halim.

“Mengapa Kakek sering sekali ke sini?” tanyanya.

Kakek itu membisu sejenak, kemudian bersimpuh di atas rumputan yg berair oleh anutan air dr kuburan Kiai Halim. Buliran air di atas rumput itu tampak seperti butiran-butiran mutiara berserakan tatkala sinar rembulan membagikan cahaya pada malam yg begitu sunyi.

  Sang Peracik | Cerpen Ken Hanggara

“Entahlah, Kakek pula tak tahu. Namun banyak hal harus ananda pahami tentang kuburan ini,” kata kakek itu sambil menundukkan wajah ke kuburan Kiai Halim yg semenjak tadi ia taburi kembang.

Lelaki itu menghampiri. Ia duduk di samping kakek itu dgn rasa heran. Dahinya mengerut.

“Dulu, saat Kiai Halim masih hidup, negeri itu begitu tenteram. Kehidupan warga tak mirip sekarang. Namun semenjak ia pergi, kerisauan menebar. Bahkan keturunannya pun dipandang jelek oleh sebagian warga. Apalagi sesudah dimengerti putri pertama itu menyimpan seorang laki-laki di kamarnya. Sungguh, itu membuat orang-orang kabur dr kampung mereka.

Perlu kau tahu, air yg mengalir di kuburan Kiai Halim bukanlah siraman dr para peziarah. Bukan pula siraman air hujan dr langit. Itulah air tangisan.”

“Air tangisan?”

Lelaki itu semakin heran mendengar perkataan si kakek.

*****

Ya, itulah air mata kesedihan. Beberapa hari lalu, aku bermimpi melihat almarhum menangis. Ia mengenakan baju putih yg sebagian terselempangkan di satu pundak. Dengan air mata terus berlinang, ia memohon pada sesosok makhluk yg aku tak tahu itu siapa. Makhluk itu begitu asing. Ia seperti semburat cahaya. Mata saya tak bisa menyaksikan jelas sosok makhluk itu.

Berkali-kali ia memohon pada sosok makhluk gila itu agar dihidupkan kembali dr akhir hayat. Namun sosok aneh itu tak mengizinkan ia kembali ke dunia. Sebab, ajal & kehidupan tak bisa dipinta siapa saja, apa pun alasannya. “Kematian hanyalah kuasa-Nya,” kata sosok bercahaya itu.

Namun ia tetap memohon dgn segala cara biar kembali dihidupkan. Ia memohon dgn sangat. Kadang ia bersujud di hadapan makhluk asing itu sambil terus menangis. Namun tetap saja makhluk gila itu tak membolehkan.

  Rumah Impian | Cerpen Abdul Hadi

“Mengapa kamu masih menentukan hidup di sana daripada daerah yg nyaman di alam ini?” kata makhluk itu sebelum pergi.

Beberapa ketika sehabis itu, mata saya cuma mampu melihat almarhum Kiai Halim yg terus menangis. Lalu, almarhum menghampiri aku yg melihat dr kejauhan mereka bercakap-mahir. Ia menghampiri aku sambil menangis & berkata, “Jika kau melihat kuburanku sarat genangan air yg terus mengalir, ketahuilah itu air mata tangisku untuk anak-cucuku & orang-orang di Negeri Barbar.”

Lalu almarhum menghilang dr persepsi saya.

*****

Usai menuturkan kisah, kakek itu menunduk seraya memejamkan mata. Seakan ia menyimpan kesedihan mendalam.

Malam itu, langit makin gelap. Tak ada bintang. Cahaya bulan pun perlahan meredup.

“Bagaimana kabar putrinya, Kek?”

“Entahlah, aku pula tak tahu,” ujar kakek itu pelan.