Lima Cerpen Sapardi Djoko Damono | Cerpen Sapardi Djoko Damono

Wartawan Itu Menunggu Pengadilan Terakhir


Seperti yg sudah seharusnya, pada hari baik itu saya mati. Kata seorang sobat dlm suatu sajaknya yg mahaindah, kita semua ini pelancong yg dibekali karcis dua jurusan. Dan pastinya, pikir saya, kita tak boleh menyia-nyiakan tiket pulang itu. Saudara tahu, saya wartawan sebuah majalah info. Dididik untuk menyebarkan naluri mewawancarai orang. Itu sebabnya tatkala mesti menunggu giliran maju ke Pengadilan Terakhir, yg entah kapan dikerjakan, naluri saya secara tiba-tiba menyembul. Saya celingak-celinguk di antara terlalu banyak orang (mati) dan, alhamdulillah, ketemu seorang (sic!) Malaikat yg sedang peran keliling memperhatikan kami. Saya mendekatinya.

”Kalau boleh tanya, apa saya bisa menemui Kakek kami?”

Malaikat semua baik, ternyata. Ia memegang pundak saya, sorot matanya mengakibatkan situasi sejuk sehingga saya berpikir sudah berada di sorga. Tetapi kan belum ada keputusan saya nanti dikirim ke mana. Supaya tak kelihatan konyol sebagai wartawan saya teruskan pertanyaan saya.

”Boleh, ya, Mas?” Aku kaget sendiri tatkala menyebutnya ’mas’, tetapi Malaikat itu memang baik. Saya tak bisa menduga umurnya, & lagi apa malaikat punya umur? Saudara niscaya tahu, saya meninggal ketabrak angkot tatkala sedang naik motor melaju ke suatu rumah sakit untuk bezuk seorang rekan yg koma. Malaikat itu tahu siapa saya, ya itu jelas.

”Boleh saja, kenapa tidak? Mau wawancara, kan? Mari saya antar ke sana.”

Ia sungguh-sungguh Malaikat baik. Setelah sampai di tujuan, ia menuding ke arah seorang yg lagi duduk di bawah sebuah pohon, lalu secepatnya meninggalkan saya.

Saya mendadak jadi kikuk, kaget & kikuk. Kenapa kesempatan serupa ini tak pernah saya peroleh tatkala masih jadi wartawan? Saya pun mendekati Kakek kita itu, siap-siap pertanyaan apa yg akan saya usikan. Dan tatkala sudah akrab dengannya, saya berhenti. Saya timbang-timbang lagi apa jadi mewawancarainya atau tidak. Terus-terang, saya takut mengganggunya.

Soalnya, terlihat Kakek kita itu sedang mengunyah-unyah buah khuldi. Saya tak melihat Nenek kita & ular itu, entah di mana mereka. Tidak perlulah saya melakukan investigasi, toh redpel tak akan mampu lagi memarahi saya. Namun, bagaimanapun, saya harus melakukan wawancara. Itu pecahan hidup saya.

*****

Dalam Tugas

Aku sedang bertugas meliput pertempuran yg terjadi di negeri sobat. Tak usah diberitakan bahwa penyebabnya yakni kemauan yg punya kuasa untuk ikut campur urusan rumah tangga orang lain. Tapi gue tak mau memasalahkannya kini ini, tugasku jauh lebih luhur dr pertanyaan filsafat atau politik yg susah menjawabnya.

  Satu Jam Bersama Dongga | Cerpen Adam Yudhistira

Aku aman, berada di daerah pihak yg menang ketika ini. Beberapa tahanan dibariskan siang itu, disuruh (maksudnya disiksa) macam-macam, & jadinya salah seorang laki-laki yg pakaiannya kumal & pakai caping—mungkin ia petani—disuruh maju ke depan. Seorang prajurit mendekatinya, menghunus pestol, menempelkan moncong senjata itu sempurna di pelipis si petani, & dor!

Aku tak mampu berbuat lain kecuali menekan tombol kamera yg sudah semenjak tadi gue siapkan, pula untuk menembak. Tidak ada yg mempersoalkan kenapa gue tak menolong petani itu, & malah ambil gambarnya.

Si korban roboh. Semua sudah terekam dlm kameraku. Aku setengah tak yakin tatkala menyaksikan badan yg roboh itu pelahan-lahan naik mirip terangkat angin, ringan sekali, semakin tinggi, kian tinggi. Namun, gue saksikan nyawanya masih tegak bergeming di tanah. Aku melihatnya terperinci. Aku keheranan, tentu saja. Seorang prajurit mendekatiku & dgn hening berkata, ”Bung kan wartawan, jangan suka heran begitu, dong. Setiap kali ada nakal mati ya begitu. Tenang saja, lama-lama Bung pula sudah biasa.”

Aku tengok ke arah suara itu. Aku tak boleh kaget tatkala menyaksikan tampang tentara itu persis redpel majalahku.

*****

Naik Ka-Er-El

:Bambu

Aku pernah kerja di sebuah majalah informasi tatkala masih berkantor di Senen. Setiap hari mesti naik angkot gonta-ganti tiga kali & setiap masuk kendaraan kepalaku membentur bendul pintu yg rendah, sedikitnya dua kali seminggu, begitu. Jadi, satu kali jalan tiga angkot, pulang balik enam angkot; kalau dua kali sepekan berarti seminggu benjut dua kali enam = 12 kali. Sebulan empat kali 12 = 48 kali benjut. Akhirnya tak ada pecahan yg bisa benjut lagi karena seluruh permukaan kepalaku sudah benjut.

Lha mbok naik ka-er-el saja, Mas. Nyaman,” kata seorang gadis cantik yg duduk akrab ketua redaksi; ia wartawan baru.

Ya, kenapa tak begitu saja dahulu-dahulu, pikirku. Begitulah, sore itu menjelang jam empat beberapa pegawai mengajakku terburu-buru kabur supaya tak ketinggalan kereta jam empat. ”Lumayan kosong, Mas, bila yg jam empat,” kata salah seorang tatkala menuju ke Stasiun Cikini.

Sampai di stasiun, saya tak boleh memberikan tampang orang kaget meskipun menyaksikan terlalu banyak orang bergerombol menanti kereta. ”Apa gerbong-gerbong itu nanti muat?” tanyaku dlm hati. Dalam gerbong tak tersisa lagi pegangan tangan, & memang tak perlu karena tanpa berpegangan apa pun tak akan jatuh saking penuhnya. Sepatu menginjak sendal, dengkul beradu dengkul, bokong menyenggol bokong.

  Pengertian Cerpen Menurut Para Jago Dan Acuan Penjelasan

Sampai di stasiun tujuan, tak perlu berupaya apa pun gue terbawa turun tergencet orang-orang yg berdesakan. Turun dr gerbong gue berjalan terpincang-pincang menuju angkot D-04 yg sudah berbaris. Sampai di rumah, kalimat pertama yg diucapkan anakku tatkala membukakan pintu yaitu, ”Lho, Pak, kok sepatunya kiri & kanan gak sama?”

Aku tak menjawab lantaran tak tahu harus bilang apa. Dan tatkala dlm kamar berubah celana, baru gue sadar bahwa kakiku yg kiri & yg kanan tak sama panjangnya, yg kiri bukan kakiku ternyata. Pantas tadi jalanku terpincang-pincang. Tanpa pikir terlalu panjang gue ganti celana lagi langsung berlari keluar, menabrak istriku, mendorong anakku, membuka pintu pagar.

”Hei, Bapak mau ke mana?” tanya mereka nyaris berbarengan.

Apa ada yg perlu gue jawab? Berjalan terpincang-pincang gue ke jalan menunggu angkot. Akan gue tanyai siapa saja di stasiun apa ada yg melihat orang yg menjinjing kabur sebelah kakiku.

Aku akan tabah menanti.

*****

Naik Garuda

Yang paling gue nikmati tatkala naik Garuda adalah membayangkan diriku selaku ilahi yg ke mana-mana berkendaraan burung tangguhitu. Tapi ada hal lain, yg paling gue khawatirkan adalah jikalau di ketinggian sekian puluh kilometer secara tiba-tiba mesinnya mati & kami rame-rame nyangsang di hutan atau nyemplung di laut.

Kaprikornus, supaya merasa hening, begitu menginjak anak tangga paling bawah gue buru-buru berdoa seingatku saja mengikhlaskan semuanya: badan, nyawa, & ingatan yg ada dlm benakku.

Yang paling gue benci tatkala naik Garuda yaitu jikalau kebetulan di dekat jendela sebelahku duduk seorang lelaki tua, sendirian saja, yg begitu duduk langsung ngorok. Tawaran permen, minuman, & roti oleh pramugari (yang sukar-sulit kerja melalui seleksi) sama sekali tak dipedulikannya. Mungkin tak dirasakannya pula tatkala Garudaku menembus cuaca jelek atau disedot udara kosong. Mungkin ia pula tak berdoa tatkala penumpang lain ndremimil setelah mengeluarkan kitab saku yg isinya doa.

Dan yg bikin gue kapok adalah tatkala laki-laki renta disampingku itu tak lagi terdengar ngorok, & tatkala Garudaku sudah mendarat & tatkala kami berebut bangun mengambil barang bawaan ia tetap tak beranjak dr tempat duduknya. Tampaknya ia sudah bebas dr ikatan dunia, tak mempedulikan kami lagi.

Sejak itu gue benar-benar kapok naik Garuda.

”Tapi Bapak mau naik apa, hayo?” tanya orang kantor yg suka membelikan tiket.

*****

Meditasi Sunan Kalijaga

  Penulisan Kalimat Langsung Yang Benar Dalam Penulisan Cerpen Adalah

: Nano Riantiarno

Sahabatku, yg barusan lulus dr sebuah sekolah drama terkemuka di Jepang, mengajakku nonton pertunjukan drama ”Meditasi Sunan Kalijaga” yang, berdasarkan kata-katanya, ”niscaya akan sungguh istimewa.” Aku sudah lama tak pergi bersamanya; kini mumpung ada kesempatan mampu ngobrol lagi dengannya. Depan Gedung Kesenian dipenuhi calon penonton yg berpakaian rapi, ada yg pakai jas, ada yg pakai jaket. Aku jadi agak kikuk sebab cuma pakai baju lengan pendek & celana jeans yg sudah agak belel. Sahabatku hanya pakai t-shirt.

Sampai di dlm gedung gres gue sadar bahwa memang perlu pakai busana lengkap lantaran AC-nya hambar sekali. Setelah pengumuman basa-busuk perihal larangan memotret & menyalakan telepon seluler, layar dibuka. Lampu gedung dimatikan. Panggung sepi & gelap. Tatkala menjadi kian terang tampak bayang-bayang seorang mengenakan sorban yg duduk bersila. Tidak ada sosok lain. Tidak ada pula benda lain di panggung. Tidak ada suara. Tidak ada musik. Tidak ada gamelan.

Kami, penonton, semua menanti. Sepuluh menit. Lima belas menit, tiga puluh menit. Tidak ada di antara kami yg terlihat gelisah, semua tenang, setenang panggung. Dan kami dgn tajam mengarahkan pandangan ke panggung, menanti apa yg akan terjadi. Bayang-bayang sosok itu tetap tak bergerak sama sekali.

Tetapi kami tak pasrah, kami tetap menyimpan keingintahuan dan, pastinya, kesabaran menunggu apa yg akan terjadi di panggung. Pada satu titik ketenangan kami, di panggung timbul seekor kucing dr arah kiri, menengok kiri-kanan seperti mewaspadai sesuatu, lalu menyeberang panggung. Semua pandangan diarahkan kepadanya, kepala kami pelahan serentak bergerak dr kiri ke kanan hingga kucing itu hilang dr pandangan diikuti oleh paduan suara desah kami, sangat panjang & pelan, menandakan kekaguman. Setelah itu panggung kembali lengang mirip semula.

Kami sangat lega, setidaknya ada sesuatu yg terjadi di panggung. Dan persis sejam setelah dibuka, layar pun ditutup. Lampu ruangan menyala membuktikan pertunjukan usai. Seorang pembawa acara (sepertinya begitu) timbul dr arah kiri, membungkuk sopan.

”Terima kasih atas kedatangan Anda semua malam ini. Kami mohon maaf sebesar-besarnya bahwa selama pentasyg seharusnya khusyuk tadi ada seekor kucing lewat. Itu di luar rencana kami. Untung saja Sunan Kalijaga tak terusik meditasinya oleh si kucing. Sekali lagi kami mohon maaf. Lain kali kami tak akan membiarkan kucing berkeliaran di panggung.”

Gedung pun riuh-rendah oleh tepuk tangan kami.