Kau keluar menghampiri suamimu yg sedang duduk di beranda rumah. Suamimu masih sibuk dgn bukunya. Sedangkan kau, tiba dgn kegalauan yg melililitmu sedari tadi.
Kau duduk disebelahnya, tatapanmu berjalan di seluruh tubuh suamimu. ia tenggelam dlm lautan kata, atau mungkin menyengaja menyelam di dalamnya. Hingga ia tak menyadari kedatanganmu. Kau mendesah, mencoba mencari perhatiannya. Usahamu berhasil, ia menoleh lantas menutup bukunya.
“Cobalah cari kerja, Sayang. Berjualan koran saja tak cukup,” katamu lirih, takut menyinggung perasaannya.
“Aku tahu apa yg kau khawatirkan, Sayang. Aku sudah berupaya. Tunggu saja waktunya.” Tangannya menyentuh perutmu yg semakin membuncit. ia mengusap penuh kasih sayang, bibirnya bergerak-gerak membacakan doa. Kau tersenyum, terharu. Kepala dgn rambut panjang yg tergerai, kau letakkan di pundaknya. Kau dekap mesra tangannya.
Malam menjelang. Dapur berasap, gemercik bunyi radio suamimu mengawaljemari-jemarimu memasak. Kau tuangkan air pada panci alumunium yg kau beli dr pasar loakan. Hidup sederhana, kau hanya berbelanja barang-barang bekas untuk menyambung hidupmu.
Masakan sudah matang. Kau membawakan mangkok berisi sayuran & tempe goreng pada piring kecil ke ruang tengah. Suamimu sibuk dgn pena & buku yg tak kau tahu apa isi buku itu.
“Berhentilah. Ayo makan dahulu.” Senyumnya mengiyakan ajakanmu. ia berhenti, lalu mengambil nasi, sayur & tempe.
Kau makan berdua dgn suamimu. Cerita tentang pemasaran koran tadi, menemani kesepian kalian di rumah yg terbuat cuma dr kayu bekas rumah-rumah yg dirobohkan kemarin gara-gara tanahnya tak bersertifikat.
Kehamilanmu sudah menginjak sembilan bulan. Beberapa hari ke depan, mungkin kau sudah melahirkan. Sudah tiga hari, suamimu tak pulang. Kau sungguh gusar, kepalamu pusing namun usahamu untuk tetap kuat menyangga anakmu sungguh perlu diapresiasi.
Benar, tiga hari kemudian, kau dibawa ke tempat tinggal sakit oleh tetangga. Tanpa ada hambatan apa pun, bayimu lahir tepat. Kau terkejut, tatkala suamimu berlangsung di belakang suster yg menggendong bayimu.
Suamimu tiba & hanya memberi duit seratus ribu rupiah. “Kau pergi ke mana saja & kemudian pulang cuma membawa duit segini?” katamu kesal. Kali ini, amarahmu begitu meledak, nalar sehat & nuranimu sudah terbakar hangus oleh api amarahmu.
“Pergi saja kau. Aku tak sudi melihatmu. Aku sudah muak hidup miskin bersamamu. Biarkan gue di sini, biar gue yg menanggung biaya semua rumah sakit ini. Pergilah.” Baru kali ini kau membentak suamimu dgn sungguh keras. Suamimu berdiri, menuruti keinginanmu. ia sempat melihat bayimu, yg dahulu kaujanjikan akan menunjukkan nama Alan. Alan menangis seiring langkah ayahnya keluar dr kamar.
Keberuntungan berpihak padamu. Ada yg rela membayar semua biaya persalinanmu. Bayimu pula berkembang sehat. Banyak kerabat, kerabat & teman-temanmu yg tiba menjengukmu. Sejenak, ingatan perihal suamimu kaulupakan. Kau belum sungguh-sungguh bercerai dengannya, tetapi kau memilih menganggapnya tiada.
Tiga hari berlalu, tiba-tiba ada kerinduan yg memercik di hatimu. Kau rindu saat hangat-hangatnya bercengkerama dgn suami, kau rindu dikala kau bercanda ria dgn suamimu. Kau rindu seluruhnya wacana suamimu.
Berulang kali kau tanyakan pada sobat-temanmu & sobat suamimu, tetapi tak ada yg tahu eksistensi suamimu. Kau menangis terpekur di beranda. Alan kecil kau peluk dekat.
Suatu malam, saat hujan deras & angin puting-beliung menerpa rumahmu. Datang seorang laki-laki yg seumuran suamimu. Kau tak mengenalnya, & sangat asing.
Dia tiba dgn raut tampang yg mengenaskan. Tak ada kebahagiaan yg memancar dr setiap sudut wajahnya. ia duduk, mengatupkan payung. Senyum ramah & salam yg penuh kelembutan, menyapamu yg terbengong di bingkai pintu.
“Maaf Anda siapa ya?” tanya ragu penuh ketakutan.
“Tenanglah. Aku tak akan menjahatimu. Aku hanya ingin memberikan wasiat untukmu.”
“Suamimu meninggal dua hari sesudah kelahiran anakmu. ia meninggalkan banyak harta yg selama ini ia sembunyikan darimu. ia bergotong-royong adalah penulis. Pekerjaan terangnya adalah pedagang koran, sedangkan pekerjaan gelapnya yaitu penulis. Puluhan buku best seller yg ada di rak utama toko buku itu semua miliknya. ia menggunakan nama Alan. Supaya orang tak mengenalinya, terlebih kamu.” Orang itu menghela napas. Matamu mulai berkaca-beling.
“Tapi kenapa ia sejahat itu, kenapa ia tak memberitahuku wacana semua ini?”
“Bukan ia yg salah, tetapi kau sendirilah yg memintanya. Ingatkah waktu sebelum menikah. Kau katakan padanya kalau kau ingin hidup sederhana dengannya sampai nyawa tak lagi ada di raga. Ingatkah kau bilang ingin mengajarkan anak-anakmu kesederhanaan agar anakmu tak seenaknya dgn orang lain. Dan ingatkah kau, janji yg kau ucap akan mendapatkan suamimu apa adanya, kenapa kau melewatkan seluruhnya? Suamimu takut, bila ia memperlihatkan kekayaanya maka kau akan murka, alasannya adalah tak mewujudkan harapanmu. Kau pula tak ingin tahu, ia mempunyai penyakit paru-paru akut yg selama ini ia pendam sendiri. Tiga hari sebelum kelahiranmu anakmu, ia melaksanakan basuh darah untuk mampu menyambung hidup & menyaksikan anaknya. Tetapi sehabis berjumpa , kau usir beliau. Untuk kau ia bertahan hidup selama ini. Mengapa kau tidak ingin tahu?”
Tangismu pecah. Teriakanmu mengalahkan gemuruh awan & gemercik hujan. Kau menangis sejadi-kesudahannya, menyesali seluruhnya. Tapi sudah telat. (*)