Sejak dahulu, anjing tak mampu hidup di kampung kami. Kenapa begitu? Saya sendiri tak tahu. Tapi sepanjang yg saya ingat, binatang yg diketahui punya penciuman tajam itu tak pernah bisa hidup lama di sana. Entahlah kenapa demikian. Menurut cerita ayah, dahulu di kampungku sebetulnya banyak anjing. Tapi hanya sedikit orang-orang renta yg tahu kenapa anjing tak bisa bertahan hidup di sana. Berhubung orang-orang renta yg mengetahui riwayat binatang tersebut semuanya sudah meninggal, maka dongeng soal keberadaan anjing di kampungku karenanya dilupakan. Dengan demikian, cerita mengenai ihwal hewan tersebut terpotong sampai di situ. Cerita soal anjing ini kata ayah, kembali menghangat bersamaan dgn kemunculan seorang lelaki dr Bungku. Namanya Golopi. Ia datang sendiri, tanpa anak, tanpa istri. Yang ia bawa hanya seekor anak anjing & suatu gendang.
Menurut legalisasi beberapa warga yg pertama kali mengenalnya, laki-laki itu mengaku sebagai orang Kaili. Tapi berdasarkan warga yang lain, konon lelaki itu berasal dr Banggai. Entahlah mana yg benar. Ayahku belum sempat bertemu dgn Golopi selama kedatangannya. Yang terperinci sesudah beberapa lama tinggal di kampung kami, lelaki ini lebih diketahui dgn nama Pak Gendang. Tentang ini, ayah pula menceritakannya kepadaku & akan saya ceritakan pula pada kalian.
Ketika pertama tiba, Golopi tinggal agak jauh dr kampung di sebuah rumah kebun yg telah kosong ditinggal pemiliknya. Orang kampung membiarkan Golopi menempati pondok itu alasannya ia mengaku pemilik pondok itu masih keluarga dekatnya. Lebih dr itu, tak satu pun warga yg tahu latar belakang laki-laki berpostur tinggi & tegap ini.
“Kenapa ia sendiri saja? Di mana istrinya?” demikian seorang warga pernah mengajukan pertanyaan pada ayah.
“Barangkali ia memang belum menikah,” sahut ayah.
Tapi orang itu masih ingin tau.
“Ah, masa sih?”
Di kampung kami, untuk lelaki seumuran ia paling tak sudah punya cucu. Tapi jangan-jangan ia duda. Bisa pula lelaki itu memang tak berencana menikah. Ayah Cuma bisa menerka-duga.
Pada waktu itu semua desa-desa di Kepulauan Salabangka masih berada dlm pengawasan prajurit pasca terjadinya perebutan kekuasaan PKI yg gagal. Termasuk desa kami, Gusmataha. Secara berkala anggota koramil sering mendatangi desa-desa di sana dgn argumentasi melakukan pembinaan.
Suatu hari, tatkala ayah sudah menjadi kepala kampung, ayah kehadiran sekelompok serdadu. Mereka adalah anggota koramil yg hendak menelusuri eksistensi seorang lelaki yg menghilang dr Bungku. Menurut dongeng komandan koramil pada ayah, orang yg mereka cari kemungkinan besar bersembunyi di kampung kami. Tapi ayah bersikukuh orang yg mereka cari tak berada di kampung kami.
“Tidak mungkin ia bersembunyi di sini komandan. Warga sayalah yg lebih dulu akan menangkapnya. Komandan kan tahu sejak dahulu kami menentang paham-paham yg disebarkan kaum kiri yg progresif revolusioner itu.”
Setelah mendengar keterangan ayah, wajah komandan koramil berganti gembira & menjadi hening. Saat itu pula ia mengajak anggotanya pulang & tak pernah datang lagi ke kampung kami.
Tapi sebetulnya ayah berbohong. Ayah tahu laki-laki yg mereka cari ada di kampung kami. Ya, dialah Golopi. Waktu itu ayah berpikir, bagaimanapun gelapnya masa kemudian laki-laki dr Bungku itu, belum tentu ia terlibat perebutan kekuasaan gagal tersebut. Andai hari itu ayah berkata jujur mungkin Golopi tak akan hidup lama di kampung kami. Ayah merasa bersyukur alasannya hingga ia berhenti menjadi kepala kampung tak ada yg tahu jika ia sudah berbohong di hadapan komandan koramil.
Dari waktu ke waktu, orang-orang kampung semakin sering mengunjungi Golopi. Termasuk ayah pastinya. Ayah sering berbincang-bincang di rumah Golopi bersama warga yang lain seperti Abidin, Tamrin & Habibu. Tanpa terasa anjing Golopi sekarang sudah besar. Warnanya coklat variasi putih di kepingan perut. Selain gagah, anjing itu pula membuat takut belum dewasa kecil di kampung kami. Saking populernya anjing itu, tiap kali ada anak kecil menangis atau rewel & tak mau makan, ibu mereka tinggal menyebutnya saja & semua anak-anak akan membisu & kembali makan dgn lahap.
“Ayo lekas habiskan buburnya, kalau tak ibu akan panggilkan anjing Pak Golopi gres tahu rasa. Mau ananda ibu panggilkan anjing Golopi?” Tentu saja belum dewasa menggeleng panik. Demikianlah para ibu menakut-nakuti anak mereka.
Yang kemudian membuat nama Golopi kian melambung adalah kemahirannya memukul gendang. Mula-mula memang terdengar biasa saja, seperti pukulan tukang gendang yang lain di kampung kami. Tapi usang-kelamaan mulai tampak perbedaannya. Baik caranya memukul maupun rentak irama yg tercipta. Benar-benar lain. Orang-orang renta yg sudah sepuh, mencicipi benar perbedaan itu. Seperti mengandung kekuatan magis yg dahsyat, kata mereka. Nah, kemahiran permainan gendang Golopi meraih klimaks tatkala Abidin, memintanya bergendang untuk menghibur tamu dlm rangka menyemarakkan selamatan akikah anak bungsunya.
Baru saja program dimulai, terjadilah hujan deras. Guntur menggemuruh, halilintar menyambar. Angin pula mengamuk dgn ahli. Waktu itu banyak pohon kelapa yg tumbang. Abidin hampir menangis alasannya undangan sungguh sedikit yg datang. Kursi-dingklik banyak yg kosong. Tatkala itulah Golopi menghampiri Abidin, berbisik ke telinga lelaki itu, meminta izin untuk memainkan gendangnya. Mula-mula Abidin agak terkejut oleh ajakan yg cukup abnormal itu. Tapi sebab tak ada pilihan lain, ia pun oke saja. Golopi mengambil posisi duduk bersila dgn gendang di pangkuannya. Sebelum menghantam, lebih dahulu ia memandang langit yg masih gelap. Lalu ia menggumamkan sesuatu, entah apa, tak ada yg tahu. Kilat masih bersabung.
Pukulan pertama ia ayunkan dgn hikmat sepenuh perasaan. Irama & tempo ia naikkan perlahan-lahan. Kemudian terdengarlah irama gendang yg asing, terutama di telinga para laki-laki renta. Hanya mereka yg kenal irama semacam itu. Dan mereka tahu, dikala itu Golopi sedang melakukan ritual menghalau angin & hujan. Tempo pukulan terus meningkat tapi tetap dlm ritme yg terencana. Sebagian warga cuma bisa mendengar irama gendang itu dr rumah mereka masing-masing karena hujan & angin hari itu. Dan mereka menyangka bunyi gendang yg mereka dengar dimainkan oleh dua orang atau lebih.
Ketika sampai pada pukulan terakhir, hujan & angin pula berhenti dgn tiba-tiba. Orang-orang tercengang, setengah terpana menyaksikan kejadian yg sama sekali tak mereka sangka-sangka. Semua mata kini terarah pada Golopi yg sekujur tubuhnya basah oleh keringat. Pada Abidin ia minta segelas air putih & meneguknya hingga habis. Sejak itulah warga kampung memanggilnya Pak Gendang.
Sekarang Golopi sudah dianggap keluarga oleh warga kampung kami. Lelaki itu sudah sering kelihatan mandi di sumur lazim, yg selama ini tak pernah ia lakukan. Begitu pula dgn anjingnya. Kemanapun Golopi pergi anjingnya pasti ikut. Ke sumur biasa , ke lapangan bola. Bahkan ia sering ikut tuannya bareng warga pergi menangkap kepiting kenari dlm gua kerikil di pantai ujung kampung.
Sampai saat itu, hanya satu tempat yg belum pernah dihadiri Golopi: masjid desa. Tapi tak ada warga yg mempersoalkan itu. Hanya ayahku yg sesekali menggumam sendirian sepulangnya dr masjid.
“Kenapa orang itu tak pernah sembahyang? Padahal ia beragama Islam.” Entah berapa kali ayah mengucapkan kata-kata ini.
Suatu malam ayahku meninggalkan rumah. Katanya hendak ke pantai, mengusut pukat yg ia pasang petang tadi. Tak lupa ia membawa tombak mata tiga, mirip trisula. Tombak seperti ini memang biasa ia pakai oleh nelayan tatkala menyuluh ikan pada malam hari. Waktu itu bulan sudah turun. Kampung hampir gelap sepenuhnya. Ayah berjalan perlahan, melalui rumah-rumah penduduk yg membelakangi bahari. Semuanya rumah panggung.
Tiba-tiba ayah berhenti melangkah tatkala kupingnya menangkap bunyi tangis bayi di kejauhan. Ia teringat Abidin yg punya anak kecil. Acara selamatannya berlangsung dlm topan, pikir ayah waktu itu. Lalu ia kembali melangkah. Tombak digenggamnya lebih erat. Kebetulan pukat yg dipasang ayah memang tak jauh dr rumah Abidin, ke arah maritim.
Ayah berjalan terus. Rumah Abidin kian akrab. Suara tangis bayi pula makin keras. Sekarang ayah melangkah lebih pelan tetapi tetap dlm kewaspadaan sarat . Ia bertujuan mengambil jalan pintas dgn cara melewati kolong rumah panggung Abidin. Tapi sekonyong-konyong, langkah ayah kembali terhenti. Tubuhnya nyaris kaku, seolah sulit ia gerakkan. Sekitar tujuh meter darinya, di bawah kolong rumah Abidin, ayah melihat sesosok makhluk yg sungguh ia identifikasi: anjing milik Golopi. Anjing Pak Gendang. Kenapa binatang itu ada di sini? Tanya ayah dlm hati. Beberapa ketika lamanya ayah terus berpikir. Tatkala ayah memandang kembali hewan itu, ia menyaksikan sesuatu yg mengerikan. Mata anjing itu sekarang berganti merah seraya terus menatap ke atas, ke celah lantai papan rumah panggung. Tangis bayi bertambah keras, kini malah menyerupai suara jerit kesakitan. Mulut anjing itu sesekali terbuka dgn lidah yg menjulur terus menerus. Ia pasti mengendus sesuatu di atas lantai papan rumah panggung itu, pikir ayah.
Ayah masih terus mengamati gerak-gerik binatang itu tatkala ia hingga pada kesadaran untuk melaksanakan sesuatu. Tapi belum sempat ayah menawan napas berikutnya, si anjing tiba-tiba menoleh ke arahnya & mereka bersitatap. Ayah berhenti bernapas, bulu kuduknya meremang. Ayah mencoba mengundang Abidin namun tenggorokannya seperti tersumbat. Suaranya tak mampu keluar. Tombak dlm tangan ayah terasa lebih cuek kini. Ayah merasa telapak tangannya lembap.
Ketika kesadaran ayah kembali pulih mengertilah ia kini apa yg sedang ia hadapi. Ini makhluk jadi-jadian, niscaya suruhan seseorang, pikir ayah. Ia mundur selangkah, lalu dua langkah. Anjing itu kini sudah menyaksikan ayah dgn terperinci & mengikutinya keluar dr kolong. Sewaktu ayah berhenti, jarak antara ia & anjing itu tinggal empat meter. Ayah menggenggam tombak lebih erat lagi.
Perlahan ayah mengangkat tombak sambil mengucap sepotong doa, mungkin semacam mantra. Dan tombak pun melesat menuju sasaran. Kena kamu, ucap ayah dlm hati. Beberapa detik anjing itu menggeram keras, kemudian melompat cepat melalui ayah yg masih terpana usai melemparkan tombak. Ayah menoleh ke belakang. Meski cuma beberapa detik, tapi ayah masih mampu menyaksikan anjing itu serta tombak yg melekat di tubuhnya hingga ia menghilang dlm kegelapan. Ayah merasa yakin tombaknya mengenai lambung kiri anjing itu. Sambil berjalan pulang, ayah terus mempertimbangkan kejadian barusan. Juga tombaknya yg terbawa anjing itu. Sampai di rumah ayah eksklusif masuk kamar, berusaha tidur tapi hingga fajar menjelang, ayah hampir-hampir tak mampu memejamkan mata membayangkan insiden yg ia alami berjam-jam yg lalu.
Esok harinya, pagi-pagi sekali, warga kampung kami digegerkan oleh kabar kematian Pak Gendang yg begitu mendadak. Yang asing, anjingnya pula ikut menghilang.
“Bangun, Pak. Pak Gendang mati, anjingnya pula hilang,” kata ibuku, menjajal membangunkan ayah.
Ayah melompat bangkit & berlari menuju rumah Pak Gendang. Tatkala ayah tiba di sana, orang kampung sudah banyak yg berkumpul tetapi tak ada yg berani masuk. Ayah menyibak tirai pintu kamar Pak Gendang, ingin menyaksikan penyebab ajal laki-laki itu, apakah benar seperti yg ia pertimbangkan semalam. Dan ternyata memang benar. Pak Gendang mati akhir kehabisan darah. Pada segi kiri perut lelaki itu terlihat luka menganga, ibarat luka bekas tusukan tombak ikan. Perlahan-lahan ayah mundur lalu keluar dr kamar Pak Gendang seraya mengucap istighfar berkali-kali, puluhan kali, bahkan mungkin ratusan kali, hingga ia tiba kembali di rumah. (*)