Kecoak | Ghufron Muda



Anak perempuan terkecil saya tubuhnya harus senantiasa dibasahi air hangat & diolesi minyak. Dunianya sebatas di kamar, depan TV, & rumah potongan belakang jika hendak berak atau kencing. Sudah usia sekolah, tetapi belum sekolah alasannya adalah kulitnya gatal-gatal & kurus sekali. Sakit. Meski doyan makan, otak encer, karena gatal-gatal & kurus, ia tak mampu jalan wajar . ia berlangsung dgn jongkok.

Dia sangat takut pada kecoak. Tahu ada kecoak, terlebih di dekatnya, ia eksklusif berteriak. Padahal bila di depan TV di bangku panjang, kecoak mampu saja keluar dr sela-sela dingklik. ia menjerit. Saat malam akan tidur, kecoak datang entah dr mana ke kamar. ia takut bukan main.

“Ayah, ada kecoak. Tangkap!”

Saya tangkap, saya buang lewat lubang ventilasi. Kadang sekitar pukul 22.00 banyak kecoak beterbangan dr tumpukan & sela-sela busana, dr dinding yg ambrol. Wur, wur! Suara bergemuruh. Banyak sekali. Terbang jauh, menyambar-nyambar kepala anak saya. Berseliweran, kadang hinggap. Wah, anak saya menjerit keras sekali.

Kecoak di rumah saya aneka macam. Di tumpukan & sela-sela pakaian, kompor, wajan, panci, piring, alat rumah tangga yg belum di basuh di dapur. Mereka mencari makan dr sisa masakan.

Di dinding belakang banyak sekali kecoak. Saya paling suka menangkap, memasukkan ke botol air mineral bekas yg saya beri lubang. Sekali tangkap sebuah malam bisa 20 sampai 30 ekor.

Tidak saya buang atau bunuh. Saya punya empat ekor ayam di rumah mertua. Kecoak saya berikan pada ayam. Saat kecoak saya lepas, empat ekor ayam berebutan. Ayam yg menerima eksklusif lari, takut yg lain merebut. Saya berpura-pura menendang, tapi mereka tak menggubris. Pokoknya mampu kecoak. Lahap sekali.

  Masjid Abah | Cerpen A Zakky Zulhazmi

Bagi ayam, kecoak makanan istimewa, paling lezat, menyehatkan. Ayam cepat besar & lincah. Celaka, ada tetangga menginginkan. Satu per satu ayam itu hilang. Tinggal seekor, saya potong untuk makan, sebelum semua hilang.

Saya galau bagaimana meminimalisir atau bahkan menghilangkan kecoak sebanyak itu. Saya beli tiga ekor ayam kampung. Saya pelihara di rumah. Saya beri makan kecoak. Ternyata ayam kampung tak tahu hukum. Saya lepas di dapur, naik ke piring, panci dgn sisa nasi, wajan, bahkan masuk ke kamar tidur, berak. Ke ruang tengah, naik ke TV, ke ruang tamu, naik ke meja & kursi, bahkan naik ke kepala tamu. Berak. Kurang ajar.

Akhirnya saya lepas semua. Keluar rumah, sore-sore, seekor ayam pulang dgn kaki pincang, jalan tak benar. Jelas diserampang alias dilempar orang dgn sapu atau bambu gara-gara berak di halaman berkeramik tetangga atau mencuri makanan di rumah tetangga. Ayam lapar alasannya adalah cuma saya beri makan kecoak. Tetangga marah, melukai ayam kesayangan saya.

“Ayam siapa sih berak di halaman keramik saya yg sudah bersih & mengilat. Dulu-dulu tak ada ayam. Kini ada ayam lagi. Setan!”

Globrak! ia melemparkan sapu, kena kaki ayam. Keok, keokk! Ayam berlari.

Saya menetapkan memangkas semua. Seekor setiap hari untuk lauk pauk, ketimbang menyebabkan dilema. Namun belum dewasa tak ingin makan. “Ayam kecoak!” kata mereka. Di rumah saya, kecoak semakin banyak. Saya resah cara memberantas.

Di kawasan gelap pada malam sepi, saat saya hendak makan, mengambil sambal manis sisa kemarin, kecoak merubung bejana kawasan sambal. Kecoak merubung gula aren di atas lemari; istri lupa membungkus kembali. Kecoak makan atau melewati nasi di ceting dan lauk pauk. Makanan atau sayur jadi berbau pengak, tak enak. Bekas kecoak.

  Opor Ayam dan Ketupat | Cerpen Gandi Sugandi

Jika tak dibunuh atau dikonsumsi keuntungan-laba, kecoak tak bisa mati, meski tak makan berhari-hari. Kecoak tak seperti jangkrik bisa untuk mainan, mampu diadu atau bersuara elok pada malam hari. Tidak berbau, yg jantan berwarna manis; jalibang, jaliteng, atau gulageseng. Kecoak, apa baiknya? Tidak berguna. Hanya merepotkan.

*****

Saya melakukan pekerjaan selaku pelapor saat kapal perikanan datang atau berangkat. Kini keadaan sepi. Kapal tak bisa berangkat sebab banyak surat izin dr Jakarta belum turun. Apalagi banyak kapal melepaskan diri dr saya, beralih ke biro jasa lain. Pun tidak sedikit kapal datang tak ke pelabuhan di kota saya, tetapi ke Juwana.

Keadaan itu menciptakan penghasilan saya sangat sedikit. Biasanya saya mampu minta ikan layang, banyar, bentong, atau tongkol ke kapal yg saya laporkan tiba. Kini tak mampu, sebab saya tak melaporkan. Karena penghasilan sedikit, pembeli lauk-pauk terbatas. Tidak harus ikan, apalagi daging. Bisa telur atau ikan asin. Sekali-sekali ayam pedaging. Lama-kelamaan dana lauk habis. Saya resah.

Ah! Bukankah banyak kecoak? Bisa untuk lauk, daripada hanya makan nasi putih dgn garam atau kecap.

Malam-malam saya tangkap kecoak. Saya tampung di blek roti bekas. Banyak sekali. Saya lepaskan sayap & kakinya satu per satu. Hewan itu masih hidup, namun tak bisa berlari. Saya masukkan ke wajan berminyak. Saya goreng dgn perhiasan kecap & sedikit garam.

Ada satu piring. Dingin, saya cicipi. Seperti udang. Enak. Anak terkecil saya minta makan. Saya beri lauk kecoak bercampur mi goreng.

Lho mirip udang, Bu? Minta lagi!” pinta ia pada sang ibu yg menyuapi.

Begitulah tak jarang saya kembali menangkap kecoak kalau tak memiliki duit. Untuk lauk lagi alasannya adalah bawah umur ketagihan. Seperti ikan, dikala mentah berbau anyir, tetapi sesudah matang yummy. Kini, sayap & kaki tak lagi saya lepas. Langsung saya goreng.

  Konferensi Para Tikus | Cerpen Aljas Sahni H

Namun saya gundah. Kini, di rumah saya tak ada kecoak lagi. Habis. Saya tak berani mencari di rumah tetangga. Apalagi kalau mereka tahu kecoak itu untuk lauk. Mereka niscaya terkejut & menganggap saya macam-macam.

*****

Menjelang Idul Fitri, saya mendapat THR dr para pemilik kapal. Ada banyak uang untuk beli pakaian bawah umur, jajan untuk jamuan tamu bersilaturahmi, mengecat rumah. Saya membeli ketupat & ayam. Setahun sekali membahagiakan belum dewasa, semoga mencicipi makan enak.

Ketika sampai di pasar ayam di turunan jembatan Kali Loji, kami terkejut bukan main. Semua ayam, khususnya ayam jantan, mengejar kami. Hendak mengeroyok kami.

“Ayah, takut! Mau dipatok ayam!” jerit anak terkecil saya.

Langsung saya bopong.

“Takut, Yah! Takut sekali!” jerit sang kakak.

Saya tarik! Lari menghindar dr kejaran ayam yg tak bisa saya cegah, meski sudah saya tendang. Terus memburu.

“Jangan di sini, Bu! Beli di Pasar Grogolan saja!” rekomendasi saya.

Di Pasar Ayam Grogolan, semua ayam pula mengejar kami, hendak mematok kami. Tatkala saya hendak menendang, ayam-ayam itu tetap maju. Tak takut.

“Tinggalkan saja. Jangan di sini!” saran istri saya. “Ke Pasar Hewan Landungsari saja!”

Di pasar itu pun, ayam-ayam mengejar kami. Hendak mematok. Tak mampu kami hindari, tak bisa kami cegah.

“…oo…, kita dianggap kecoak ya, Bu?!”

Saya resah. (*)