Ketika Kang Ilham Datang | Cerpen Religi Irfan Fauzi

Mas, ada kajian ilmu aqidah, ustadznya lumayan elok. Malem ini habis isya. Ikut ya.

Sore jam tiga lebih kubuka SMS. Teman baruku pedagang minyak wangi. Aku abaikan pesan itu. Ah malas, lagi pula nanti malam ada program bakar-bakaran ikan. Lebih asyik, lebih seru. Aku membatin.

Hidupku biasa saja. Mirip kebanyakan orang. Bergaul, ngobrol, jalan-jalan. Kadang pula ikut pengajian, cuma buat kombinasi kegiatan saja sebetulnya. Namun hari-hari ini mengaji sedikit menguras perhatian. Awalnya, gue cuma ikut ngaji di mushala, atau jikalau ada hari besar Islam. Itu pula sambil nyambi pasang tampang, barangkali ada cewek ngelirik.

“Kalau ngaji ya baiknya rutin, Mas. Biar ilmunya tetep keinget,” kata sahabat baruku itu, namanya Ilham, gue manggilnya Kang Ilham alasannya adalah ia lebih akil balig cukup akal dua tahun dariku, usianya 24 tahun.

“Ya sih, Kang, tetapi males. Paling-paling ngebahas, sholat, wudhu, puasa. Itu mah gue udah hafal.” kataku agak santai, sekedar jawab.

Orang berjenggot tipis di sebelahku menyeringai. Peci putih di atas kepalanya ia betulkan.

“Lagi pula males aku, Kang, ngaji-ngaji ya tetep kayak gini. Kata orang ngaji itu ngasah jiwa. Tapi gak terasa tuh jiwaku diasah. Gak kerasa apa-apa. Rasanya pula masih sering resah. Hemm.” gue nyerocos saja, memang begitu. Bagiku ngaji cuma lewat saja. Buat apa? Apalagi jika ustadznya cuma ngomong doang.

Aku pula sering diledek sahabat-teman di tongkrongan.

Ah, percuma lu ikut ngaji men. Mending ini nih. Ayolah.” sobat mainku menawari sebotol ciu. Ya, meskipun bisa dikatakan gue anak badung, tetapi gue nggak suka minum-minuman.

“Ah, sok suci kamu. Kampungan.” timpal sobat lain lagi. Aku cuma mendengus. Beberapa botol sudah kosong. Temanku pada teler. Pingin pula sih. Tapi entah kenapa gue ngotot ngga mau. Aku lewati temanku yg begitu.

Tiga hari yg kemudian, sepulang kerja, suatu insiden menampar batinku. Di depan terminal, seorang tergilas ban bus antar provinsi. Aku melihat pribadi. Jiwaku terguncang, saat mengetahui korban masih hidup, gue seakan terbetot dr bumi, kaget setengah mati. Napas orang itu tersengal-sengal. Aku memekik kaget menyebut nama Tuhan, sesuatu yg jarang kulakukan. Orang ramai segera tiba. Bus dikosongkan. Petugas belum tiba. Aku gemetaran saat menolong korban yg terjepit di ban. Dongkrak dipasang untuk mengangkat tubuh bus. Seorang ibu tersedu-sedu. Orang ramai berucap nama Tuhan.

Astagfirulloh.” suara orang ramai.

Allahhuakbar. Ya Allah.” tubuhku lemas.

Akhirnya korban bisa dievakuasi & eksklusif dilarikan ke rumah sakit. Aku pulang dgn asumsi semrawut. Terbayang tabrakan, kengerian, napas sang korban yg tersengal; teringat ajal!

“Kang, ada kajian apa minggu ini?” gue menghubungi temanku penjual minyak wangi melalui SMS. Hp eksklusif berdering. Sebuah panggilan. Ia mengabarkan tak ada, ustadnya lagi kena bencana alam, lagi sakit & dirawat di rumah sakit.

Hari-hariku berlangsung mirip biasa. Teman nongkrong masih kudatangi. Minggu pagi ialah waktu bebasku dr kegiatan kerja di pabrik kerupuk. Aku suka jalan-jalan, kadang mampir ke tempat kios minyak wangi. Kebetulan parfumku tinggal sedikit, gue mau ke sana, tetapi toko itu tutup. Aku melanjutkan jalan-jalan menikmati hari libur.

  Jendela Tua | Cerpen Iyut Fitra

Di suatu masjid, gue berhenti. Adzan dhuhur sudah berkumandang. Jamaah sholat sudah keluar halaman. Ada yg mengganjal pikiranku. Masjid apa ini? Orang Arab? Kebanyakan mereka berjenggot. Beberapa jamaah menyalamiku. Tersenyum. Berucap salam & berlalu. Hampir semua busana orang-orang itu sama; baju takwa kegedean ukuran, celana cingkrang di atas mata kaki, peci bundar. Semuanya ibarat penampilannya Kang Ilham, pula menyerupai si korban gesekan yg kutolong minggu lalu. Aku sholat dhuhur.

“Suka baca buku, Mas?” tanya Kang Ilham. Aku lagi di kios winyak wangi.

Nggak juga, Kang.” jawabku.

“Baca buku banyak manfaatnya, Mas. Ya nambah ilmu biar nggak buta wawasan. Itu banyak buku di rak, jikalau mau pinjem ambil saja ya. Aku suka baca kitab kehidupan para kawan dekat nabi. Penulisnya Khalid Muhammad Khalid. Bagus, Mas.” Kang Ilham memperlihatkan buku tebal bersampul hitam. 60 Sahabat Nabi Muhammad, judul bukunya.

“Males aku, Kang.” jawabku sekenanya. “Oya, parfum baru ada, Kang?” gue mengalihkan obrolan.

“Oh, ada itu di depan.”

Aku melangkah ke etalase. Di deretan botol kecil parfum mataku melihat suatu buku, bergambar seorang laki-laki cakep menggunakan peci, ada pula gambar pesawat terbang, seakan lagi bertempur. Kubaca sekilas judulnya, Tatkala Mas Gagah Pergi. Aku mengambil botol minyak wangi, menghirupnya. Lalu kembali duduk.

“Enak wanginya, Kang. Segar.” kata Kang Ilham. “Baru kemarin datang. Kalau mau ambil saja. Itung-itung penawaran spesial.”

“ Ya dibayar dong, Kang. Aku kan mau beli.” jawabku.

Ia tersenyum saja.

Kemudian gue bercerita tentang kecelakaan dua minggu kemudian itu. “Ih ngeri Kang. Aku gemeteran. Kukira orang itu lagi sekarat. Napasnya tersengal-sengal. Aku mendengar ia berbisik, Allah. Berulang-ulang. Kayaknya sih ustadz dia, Kang. Pakai peci, jenggotan pula.” paparku prihatin.

Kang IIham mendengar dgn seksama. “Di mana kejadiannya, Mas?”

“Di depan terminal. Kejadiannya hari kamis ahad kemudian.”

Kulihat wajah Kang Ilham menimbang-nimbang sesuatu.

*****

“Mas ada waktu? Ikut ya?” Kang Ilham meneleponku.

“Kapan, Kang? Sore? Jam berapa? Oya ada, mampu. Ya, wa’alaikumsalam.”

Aku & Kang Ilham hingga di lokasi parkir rumah sakit. Ia mengajakku menjenguk ustadznya yg masih dirawat. Sebelumnya, ia berbelanja buah apel di kios depan. Kami berlangsung menyusuri koridor. Di tengah jalan, seorang bapak menyapa kami.

Assalamu’alaikum, Akhi. Sehat?” Orang itu memeluk Kang Ilham.

Alhamdulillah.”

Lalu gue disalami & dipeluk juga. Aku agak kagok. Ia tersenyum padaku.

“Mau menjenguk Ustadz Umam?” ia bertanya.

“Insya Allah, Ustadz.”

“Ya silakan.” Kami bersalaman kayak tadi.

Di depan pintu kamar pasien, gue menyaksikan tiga perempuan memakai baju kurung panjang mirip mukena berwarna biru gelap, keluar ruangan. Setelah mereka berlalu, kami berjalan mendekati kamar. Kang Ilham menunduk ketika berpapasan dgn mereka. Aku tersenyum, masuk mengikut di belakang Kang Ilham.

Tiba-tiba… Aku terhenyak, terkejut alang kepalang! Wajah itu, mata itu. Aku seakan melihat kembali sang korban kecelakaan bus dua minggu kemudian. Bibir berjenggot itu, berdzikir pelan. Aku tercekat. Tubuhku kembali bergetar. Ya Tuhan. Ia adalah sang korban yg gue tolong!

  Asap Dapur Penutup Aib | Cerpen Finka Novitasari

Kang Ilham menyalami, gue mengikuti. Ia tersenyum ramah. Mata itu teduh, teramat teduh. Aku melihat kedamaian di sana. Keadaannya cukup parah, kaki kanan patah & mesti dipen. Kang Ilham mengobrol pelan. Aku diam duduk di dingklik. Apakah ini kebetulan? Apakah ini rencana Tuhan? Untuk apa? Pikiranku beradu hebat.

“Oya, maaf Ustadz bukunya belum gue kembalikan.” kudengar Kang Ilham berucap sehabis menanyakan keadaan.

Nda papa, dibaca hingga habis. Insya Allah ada keuntungannya. Kisahnya bisa menambah semangat dakwah.” Kata Ustadz. Aku mendengarkan.

“Alhamdulillah, berkat buku itu gue pula tambah ulet cari ilmu, Ustadz.” jawab Kang Ilham.

“Alhamdulillah, sudah baca dongeng Mas Gagah?”

“ Sudah Ustadz.” jawab Kang Ilham lagi.

Aku teringat sesuatu, buku Tatkala Mas Gagah Pergi.

“Buku itu banyak memberi ide mitra-kawan. Saya punya beberapa, sengaja beli buat dibagikan, semoga kawan-kawan mempunyai semangat dakwah & menimba ilmu.” kata Ustadz diselingi batuk kecil.

Kang Ilham mengambilkan air minum di meja.

Aku takjub dengannya. Sepertinya ia semangat sekali berdakwah, sampai-hingga dikala sedang sakit pun masih berusaha menyampaikan nasehat. Batinku tertampar. Bagaimana denganku? Ikut ngaji saja masih setengah-setengah.

“Oya bagaimana kabar keluarga?” tanya Sang Ustadz pada Kang Ilhan.

“Alhamdulillah, baik. Terimakasih Ustadz.“

“Oya, temannya siapa namanya?” berkata Ustadz.

Merasa diundang gue bangun dr bangku & mendekat berdiri di sampingnya.

Ia sedikit mengerutkan dahi ketika melihatku, seakan berpikir.

“Nama saya Irfan, Ustadz. Temannya Kang Ilham.” kataku memperkenalkan diri.

“Kita sudah saling kenal saudaraku?” katanya, mirip mengajukan pertanyaan. Aku membisu, beralih menatap Ilham yg pula menatapku.

“Saya seperti pernah melihat Antum, Saudaraku.” kembali Ustadz berucap sambil berusaha tersenyum ramah.

Aku mengangguk. Ia mengamati.

“Saya pernah menolong seseorang kecelakaan di depan terminal dua minggu lalu. Sang korban mirip dgn Ustadz.” Nada bicaraku pelan, entah kenapa gue merasa damai saat ini.

Ustadz itu sedikit terkejut . Lalu melapangkan kedua tangannya, & meraih badanku. Aku membungkuk di pelukannya. Kudengar ia tersedu. “Terimakasih, Saudaraku. Terimakasih. Jazakumullah.” ucapnya tersendat-sendat.

Hatiku bergetar, jiwaku gerimis. Seakan ajaran darah mendesir lebih. Mataku panas, air kurasa meleleh dr sana. Aku masih dipeluknya. Kurasakan pula tangan Ilham menepuk-nepuk bahuku. Kuusap air mata. Sang ustadz mengucap hamdallah, & beristigfar. Aku masih berdiri di samping ranjang. Kulihat Kang Ilham mengusap pipinya. Hatiku seperti diguyur air hujan. Ya Allah, kenapa dgn diriku?

Tak lama kami berpamitan. Sang Ustadz banyak berpesan & dgn rela gue mendengarkan.

“Kang, gue pinjem buku Tatkala Mas Gagah Pergi ya, yg tadi diceritakan Ustadz.” Kataku, di tengah jalan pulang. Kami naik sepeda motor. Lalu lalang kendaraan memaksaku berkata agak keras.

Di depan sambil memegang gas motor, Ilham menjawab. “Wah, bukunya lagi dipinjem keponakanku, Mas. Gimana ya?”

“Kapan dikembalikan, Kang?”

“Keponakanku lagi mudik. Ya kayaknya lama. Aku pula gak lezat mau dipinjemin, soalnya ia maksa. Coba kita pinjem di perpustakaan, Mas?”

Kang Ilham mengarahkan motor ke arah Alun-Alun Kota, belok kanan ke selatan, & berhenti sempurna di gedung Perpustakaan Daerah. Kami masuk gedung & langsung mencari di rak-rak buku. Hampir setengah jam mencari tapi belum ketemu. Petugas Perpustakaan sudah menginformasikan 10 menit lagi akan tutup. Aku menghembuskan nafas berat.

  Pengintai | Cerpen Mashdar Zainal

Gak ada, Kang” kataku letih.

Ilham tersenyum “Pulang?” tawarnya.

Aku mengangguk.

Aku sedikit menyesal. Kenapa tak mendapatkan nasehat Kang Ilham sewaktu di kios, agar gue baca buku. Ia sempat mengambilkan buku Tatkala Mas Gagah Pergi, yg waktu itu berada di etalase botol minyak wangi. Sekarang gue ingin sekali membacanya. Penasaran, sehebat apa buku itu. Kenapa mampu begitu memberi semangat Sang Ustadz berdakwah, pula memberi semangat Kang Ilham biar terus mencari ilmu.

Aku & Ilham berlangsung ke arah pintu keluar. Iseng saja gue melihat-lihat buku di rak yg kulalui sambil jalan. Mataku terpicing. Gambar seorang laki-laki cakep & pesawat melayang bertempur menyergap. Aku berhenti, secepat kilat kusambar buku itu.

“Ini dia!” gue memekik keras.

Astagfirulloh. Kenapa, Mas?” Kang Ilham terperanjat alasannya kaget.

“Ini, ini bukunya.” Aku girang.

Kang Ilham berucap hamdalah disertai istighfar, mungkin masih kaget.

Aku genggam buku itu berpengaruh-kuat. Pakai kartu anggota perpustakaan milik Ilham buku itu dipinjam.

Dan mulailah gue menemukan lembaran baru dlm hidupku. Kenyataan yg abnormal dlm benakku. Aku masih bergaul dgn sobat tongkrongan di perempatan jalan. Tapi tak sesering dahulu. Kadang cuma melalui, jika agak ramai gue gabung. Teman-sahabat agaknya memperhatikanku.

“Kenapa lu, Fan, lagi ada persoalan? Kayaknya sekarang sering diam.” kata seorang teman berambut gondrong.

“Ya ni ya, jarang ngomong. Kenapa kau?” tanggap sahabat yg rambut kepalanya dipotong gaya punk.

Ngga apa-apa. Cuma pengin diam saja. Iya.”

Beberapa hari sesudah gue baca buku Tatkala Mas Gagah Pergi, gue merasa ada yg asing. Seperti sebuah skenario yg entah siapa yg buat. Aku teringat Ustadz Umam yg kecelakaan, gue pula teringat Mas Gagah dlm kisah di buku itu. Aku teringat kawan-kawan di majelis yg kuikuti bareng Kang Ilham, pula nyaris menyerupai sikap & metode bergaulnya dgn kisah buku itu. Aku ingat Kang Ilham yg mempertahankan pandangannya saat berpapasan dgn wanita. Aku seakan menyaksikan kehidupan Mas Gagah pada diri Kang Ilham, pula pada semangat dakwah Ustadz Umam.

Aku disergap sesuatu yg lain dr kehidupanku yg dulu. Entah kenapa gue pula ingin menjadi mirip mereka. Aku ingin bisa mirip Mas Gagah yg memprioritaskan Allah di atas segala!

Suatu pagi, gue coba kemeja yg diberi Kang Ilham, kupakai pula celana materi longgar. Peci putih tak lupa kukenakan. Aku bercermin. Kurang apa ya? Batinku. Jenggot? Aku menduga nerka, apa kayak gini ya tampilan tokoh Mas Gagah di kisah buku itu? Mungkin pula tidak, namun yg terperinci niscaya santun. Aku tersenyum sendiri.

Ah, tetapi masih banyak yg mengganjal dlm benak. Kalau gue bergaya seperti ini, apa kata teman-sobat tongkrongan? Apa kata dunia?

Ah, kenapa sih gue ini?

Tiba-tiba suara sepeda motor terdengar berhenti di halaman rumahku.

Kang Ilham tiba!

Assalamu’alaikum.”

Wa’alaikumsalam.” Kubuka pintu.

Kang Ilham menatap terkejut, lalu memelukku. (*)