Setan Banteng | Cerpen Seno Gumira Ajidarma


Yogyakarta, 1968

Pada jam istirahat, akan terlihat serombongan anak laki-laki membentuk kerumunan tersendiri.

“Siapa yg berani?” pemimpin rombongan itu mengajukan pertanyaan.

Anak-anak kelas VI sekolah dasar itu cuma saling memandang, bahkan ada yg mundur mirip ada sesuatu yg mengancamnya, namun ada yg menjawab tantangan itu.

“Aku!”

Selalu begitu. Sejak masa kanak-kanak pun sudah terbagi: ada yg pemberani, ada yg senantiasa ketakutan, ada yg sarat perhitungan & lihat-lihat dulu.

Lantas, dgn kapur putih, salah seorang dr anak-anak itu cukup menggambar di lantai, atau kalau tak ada kapur bisa memakai patahan ranting, menggurat di tanah gambaran seperti ini:

“Sudah,” katanya pada pemimpin rombongan.

Pemimpin rombongan itu menoleh ke arah anak pemberani tadi, sambil menunjuk ke arah gambar yg terbentuk di atas tanah berpasir di akrab tembok samping sekolah.

“Ayo!” katanya dgn nada perintah.

Anak yg badannya paling besar itu pun maju mendekati gambar, menekuk lutut, mengarahkan kepala ke arah gambar seperti mau bersujud. Namun anak itu tak bersujud, tatkala wajahnya mendekati gambar jari-jari tangannya membentuk bundar di depan kedua mata, mirip orang yg berpura-pura memegang teropong.

Masih mirip mau bersujud, tubuhnya menekuk dgn jari-jari tangan melingkar di depan mata hingga sempurna berhadapan dgn gambar makhluk bertanduk yg dimaksudkan selaku banteng itu. Melalui jari-jari tangannya yg melingkar di depan mata itu, terhubunglah matanya dgn mata banteng.

Semua anak melamun memperhatikan. Sedetik, dua detik, tiga detik, empat detik, lima detik, enam detik…

Pada saat itulah saya, Setan Banteng, terpanggil & berkelebat merasuki jiwanya. Ia bangun, perlahan tetapi sarat ancaman. Tangannya sekarang lurus kencang & mengepal. Tatkala menoleh, matanya sudah menyala, wajahnya merah, & dr hidungnya keluarlah dengusan amarah. Ya, aku, Setan Banteng, sudah merasuki jiwa anak itu & mengubahnya jadi banteng, meski tubuhnya masih anak kecil.

  Kisah Kegembiraan Penghabisan | Cerpen Nicko Fernando

Ia membalikkan tubuh sepenuhnya dgn mata tersorot tajam. Kakinya menyepak-nyepak ke belakang bergantian, lantas menyerang salah satu segi kerumunan dgn kepala agak tertunduk, mirip pada kepala itu terdapat sepasang tanduk. Banteng itu menyeruduk.

Kerumunan itu pribadi bubar, & semua anak berlari ke segala arah sambil tertawa-tawa melihat temannya telah kerasukan Setan Banteng. Sebagaimana layaknya banteng yg mengamuk, gue pun menyeruduk. Tiada lagi jiwa anak itu, yg ada hanya diriku, Setan Banteng yg menjelmakan dirinya sebagai banteng yg murka dlm permainan manusia.

Sebagaimana banteng, otaknya tidaklah secerdas manusia, meski manusia-manusia kecil yg masih junior sekalipun. Aku menyeruduk ke sana & menyeruduk ke mari, alasannya setiap kali kukejar seorang anak yg berlari kencang sambil tertawa-tawa antara bahagia & takut itu, cepat sekali ia menghilang, & gue pun segera mengejar belum dewasa lain yg tampak di sekitarku.

Hiruk-pikuk & riang gembira, begitulah permainan kanak-kanak yg mempergunakan Setan Banteng ini, & tentu gue menyeruduk tanpa pandang bulu. Segala sesuatu yg berada di jalur larinya anak itu kuseruduk saja tanpa kubeda-bedakan. Apakah itu anak-anak lain yg menonton dr kejauhan, belum dewasa perempuan yg sedang main bèkel, ibu guru berkain kebaya yg sedang menenteng map, bahkan tatkala anak yg kukejar masuk ke ruang latihan paduan suara untuk keluar dr pintu lainnya, tetap kukejar pula dgn tangan lurus mengepal & kepala yg seakan-akan memang ada tanduknya.

Aku pun tetap menyeruduk meski yg berada di jalur itu yaitu para penjual es dawet, gulali yg bentuknya setelah ditiup menjadi bermacam-macam binatang, arum manis, maupun gambar umbul, karena anak yg kukejar dgn lincahnya memang sengaja melewatinya, biar gue menabrak mereka!

  Gelak Tawa di Rumah Duka | Cerpen Mashdar Zainal

Segalanya berantakan. Anak perempuan menjerit-jerit meski tak takut pada apa pun, selain khawatir akan nasib kawan mereka yg kukejar maupun yg sedang kurasuki itu. Dengan tubuh yg agak lebih besar, anak yg kurasuki memang pantas menjadi banteng. Kedua bahunya menjadi terlihat lebih kukuh, mata mendelik, paras memerah, & dengusnya betul-betul mirip banteng mengejar-ngejar lawan. Segalanya kuterabas!

Apabila kemudian siapa pun sudah tak mampu kulihat, alasannya memang seluruhnya menghindar & bersembunyi, & hanya tersisa dinding tembok sekolah yg kokoh, maka dgn sepenuh tenaga ke sanalah kepala anak sekolah dasar yg sesungguhnyalah tak bertanduk ini menuju.

Tidak akan menjadi dilema bagiku kalau kepala anak itu pecah. Sebagai setan, gue cuma akan terbang kembali ke langit para setan, bergabung dgn setan-setan lainnya, hingga ada lagi yg memanggil Setan Banteng demi permainan banteng mengamuk yg menyenangkan, namun yg bisa sungguh berbahaya ini.

Bagaimana kalau kepalanya pecah? Tentu darahnya abyor membentuk bunga merah darah di tembok. Kadang terlihat indah mirip karya seni, namun tentu bantu-membantu mengerikan-yang terpenting, ini bukanlah tanggung jawabku. Aku hanyalah Setan Banteng yg tak berdaya menolak panggilan. Bahkan diciptakan untuk mendapatkan panggilan itu! Apakah anak ini akan pecah kepalanya?

Namun seorang guru laki-laki secara tiba-tiba muncul di belakangnya, & menepuk punggung anak itu dgn sungguh keras sebelum kepalanya membentur tembok. Anak itu pun terjatuh. Aku lepas dr tubuhnya, sebagaimana dgn cara itu tugasku dgn sendirinya rampung.

Hooooiii!” Guru itu berteriak & menawarkan sikap marah, “Jangan main-main kalian! Ini berbahaya! Ngawur! Apa tak ada permainan lain selain bermain dgn setan?”

Aku sudah pindah ke langit sebelah, namun tetap mampu kulihat bawah umur di kawasan persembunyian yg menutupi mulutnya sambil menahan tawa.

  Parut diatas Alis | Cerpen Ayi Jufridar

Anak itu sendiri, yg tadinya tersungkur, berbalik & mengusap mata bagaikan baru terbangun dr tidur. Guru, yg sepertinya mengetahui belaka permainan semacam ini, mengangkatnya bangun & merangkul bahunya.

Terdengar bel berbunyi.

“Ayo masuk kelas!” Teriaknya lagi, “Mau jadi ilmuwan macam apa kalian?”

Lantas suaranya merendah, mirip bicara untuk dirinya sendiri.

“Sejak kecil sudah bermain setan…”

Pondok Ranji – Katulampa, 17-18 Desember 2018.