Sebelum meninggal, ibu kerap berpesan semoga gue senantiasa mempertahankan relasi baik dgn semua kerabat tiriku. Dan setiap ibu menyampaikan pesannya itu, gue senantiasa menganggukkan kepala selaku tanda mengiyakan kata ibu.
Tapi gue tak tahu, apakah ibu pula pernah menyampaikannya pada masing-masing saudara tiriku perihal pesan itu. Sebab, setahuku, ibu tak pernah mengucapkan pesan itu di depan kami.
Ibu memiliki anak tiga. Aku yg tertua dr dua saudaraku yg berlawanan ayah itu. Kata ibu, ayahku adalah seorang pelaut. Kata ibu lagi, ayah pula pemabuk & suka main judi. Ayah pergi meninggalkan ibu di dikala gue gres berusia lima tahun. Kabar yg ibu peroleh selanjutnya dr pelaut lainya adalah bahwa ayahku sudah kawin lagi dgn seorang janda muda di pulau seberang.
Aku sendiri luput mengenang wajah ayahku sendiri serupa apa. Usiaku terlalu kecil untuk bisa mengenang kenangan bersama ayah. Apalagi memang ayah kuingat jarang pulang. Di dlm rumah kami yg sederhana, tak satu pun terpajang foto ayahku. Sampai usiaku akil balig cukup akal, di rumah itu, yg terpajang hanya tiga bingkai foto, yg pertama foto ibu, lalu foto gue & dua saudaraku dgn latar halaman rumah, & yg ketiga foto ayah tiriku.
Di masa sepeninggal ayah, ibu mengurusiku seorang diri. Untuk memadai kebutuhan ekonomi, ibu berjualan sarapan pagi di depan rumah kami. Para konsumen ibu pada umumnya para lelaki yg melakukan pekerjaan sebagai pelaut & pedagang ikan. Bila pagi hari, gue acap kali mendengar para lelaki tertawa-tawa di kedai ibu dgn maksud yg tak kupahami. Sebagian lagi mengatakan dgn intonasi tinggi bila mereka berkomunikasi dgn musuh bicaranya. Terkadang bila barang jualan ibu telah habis, beberapa pelaut bermain watu domino di kedai ibu.
Aku cukup terhibur dgn kedatangan para konsumen ibu yg dominan kaum pria itu. Tidak cuma candaan yg mereka berikan. Aku pun sering diberikan permen atau makanan ringan untuk seusiaku. Yang paling sering memperlihatkan gue permen yaitu Uda Bahar.
Uda Bahar penduduknya baik. Bila ada yg mengusili hingga gue menangis, ia akan memarahi orang itu & lantas menggendong tubuhku, kemudian diberikannya gue pada ibu. Pada masa-masa itu, dr semua para konsumen ibu, hanya Uda Bahar yg sungguh memperhatikanku.
Aku ingat, tatkala duduk di kelas 1 sekolah dasar, ibu menikah dgn Uda Bahar. Ada pesta ijab kabul. Ibu & Uda Bahar duduk di pelaminan, sedangkan gue tak pernah beranjak duduk pula di samping ibu. Ibu kadang kala tersenyum pada para tamu yg hadir pada pesta ijab kabul di rumah kami. Aku percaya ibu sangat senang sekali dikala itu.
Aku pun sangat senang & senang pada ijab kabul ibu. Sejak kedatangan Uda Bahar, situasi rumah kami menjadi riang. Malam hari menjadi ceria.
Malam hari pula tak lagi menjadi kecemasan ibu lantaran lingkungan rumah yg sunyi.
Aku pun merasa terlindungi dgn kedatangan Uda Bahar di rumah. Bukan hanya merasa terlindungi, melainkan gue pula seperti menemukan kawasan mengadu. Di kampung yg terletak di pesisir pantai itu, kerap kali kawan-kawanku mengejek karena gue tidak punya ayah. Dan semenjak kedatangan Uda Bahar, tak satu pun dr mereka yg berani lagi mengejekku.
Aku merasa begitu mujur lantaran ibu sudah menikah lagi. Sebab, dgn begitu, gue memiliki seorang ayah. Namun, harus kuakui, pada mulanya gue terkadang masih begitu canggung bila memanggil Uda Bahar dgn panggilan ayah. Namun, Uda Bahar dgn tabah menyuruhku agar berguru terus memanggilnya dgn istilah ayah.
“Ya, anak kecil, mulai sekarang ananda mesti terus membiasakan diri agar memanggil ayah, ya,” kata Uda Bahar kepadaku, waktu itu.
Dan kuingat ibu tersenyum menyaksikan kegugupanku. Dan tak usang kemudian kepalanya mengangguk-angguk kepadaku.
Di hari-hari berikutnya, gue terkadang masih salah pula memanggilnya dgn sebutan ayah. Sering gue memanggilnya dgn istilah Uda Bahar. Berulang kali pula ibu & Uda Bahar kembali menasihatiku. Dan hingga satu bulan kemudian gue gres andal memanggilnya dgn ayah.
Satu tahun kemudian, ibu melahirkan adikku yg pertama. Ia berjenis kelamin pria. Kulitnya hitam. Rambutnya hitan. Ia mirip wajah ayah. Dan ayah memberinya nama Samsir.
Ibu & ayah sungguh senang lantaran kehadiran Samsir. Ibu sangat telaten merawatnya. Ayahku sungguh perhatian sekali pada adikku. Jika adikku menangis, ayah akan dgn cepat memerintahkan ibu supaya menyusuinya. Atau ayah akan memarahi ibu jikalau adikku terus menangis.
Ketika adikku itu telah berumur tiga tahun, ia acap kali menciptakan ibu berada dlm duduk perkara. Sering ia terjatuh di rumah karena kenakalannya Memecahkan piranti rumah. Dan ibu sering jadi sebabnya lantaran dianggap lalai mempertahankan adikku itu. Tidak hanya ibu, gue pun mulai jadi sasaran ayah jika ia menangis sehabis bermain denganku.
Kehadiran adikku semakin lama membuat ibu & ayah mulai sering berantem. Ibu tak suka bila ayah memarahiku. Apalagi jikalau ibu menyaksikan ayah menarik kupingku hingga gue menangis.
“Jangan pernah kamu mengasari anakku,” kuingat ibu bersuara keras pada ayah sebuah malam yg herhujan.
“Kenapa memangnya? Aku yg memberi makannya. Sudah patut ia kumarahi bila ia menjengkelkanku.”
“Tanpa ananda beri, gue tetap bisa memberi makannya. Kamu harus tahu itu,” kata ibu dgn suara yg makin tinggi.
“Maksudmu apa?”
“Maksudku, kalau ananda ingin pergi, gue tetap bisa memberi makan anakku. Paham?”
Peristiwa itu yaitu perkelahian ayah & ibu yg terakhir sesudah adikku yg kedua lahir. Adikku yg kedua wanita. Ayah memberinya nama Diva. Sama mirip kelahiran adikku yg pertama, ibu & ayah pula sungguh senang pada kedatangan adikku ini.
Namun, kebahagiaan di rumah kami kurasakan tak berjalan lama. Pertengkaran-perkelahian antara ibu & ayah mulai kembali terjadi. Pemicunya karena ayah terkadang menilai ibu tak bisa mengelola dua adikku. Dan pula ihwal ayah yg sering membedakan gue dgn dua adikku.
Kehadiran dua adikku membuat ayah memang tak peduli lagi kepadaku. Sikap ayah sungguh berganti sesudah kedatangan mereka. Tidak jarang ayah lebih mendahulukan mereka dibandingkan dengan aku. Jika ayah membeli kudapan, contohnya, ayah tak pernah memberikannya kepadaku. Ayah pula hanya mengajak dua adikku ke pantai pada hari Minggu. Aku merasa bahwa ayah benar-benar mengucilkanku dr dua adikku. Dan perlakuan ayah itu membuat gue begitu sedih.
Dalam kesedihan, gue bengong. Dan berpikir kenapa ayah berubah.
“Ibu harap ananda jangan bersedih jika ayahmu kurang memperhatikanmu,” kuingat kata ibu dahulu.
Aku tak menyahut kata-kata ibu itu selain dua mataku makin berair. Lalu ibu menghapus air mataku dgn tangannya. Pada masa itu, gue sudah duduk di kelas VI sekolah dasar.
Namun, apa yg kualami pada hari-hari berikutnya tetap tak pernah berganti, ayah masih saja menyayangi dua adikku & mengesampingkanku. Dua adikku pula mulai tak suka kepadaku. Mereka sering menghindar & seperti tak menilai lagi gue selaku kakaknya.
“Kata ayah, uda bukan kakak kandung kami, jadi jangan coba-coba melarang-larang kami, ya,” kata itu diucapkan Samsir tatkala gue pernah melarangnya bermain di pantai pada sore hari.
“Iya, ayah bilang begitu. Nanti kami lapor ayah gres tahu,” si kecil ikut pula menimpalinya ketika itu.
Saat itu, gue benar-benar bersedih. Mereka tak menyukaiku & tak menghormatiku. Padahal, gue sangat mencintai mereka.
Mungkin ibu sudah tak tahan menyaksikan gue dikucilkan oleh ayah & dua adikku. Sebab, suatu hari ibu begitu marahnya pada ayah.
“Jika ananda tak suka pada Dika, bagiku tak ada problem. Tapi, yg tak gue suka jikalau ananda menghasut adik-adiknya untuk membencinya.”
Aku tak mendengar ayah menyahut kata-kata ibu di malam itu. Aku begitu bersyukur karena ayah diam saja sehingga tak terjadi pertengkaran. Tapi, paginya, sesuatu yg mengejutkanku terjadi juga. Ayah pergi menjinjing pakaiannya yg cukup banyak. Bagiku tak lazim kalau ayah pergi ke laut dgn menjinjing pakaian terlalu banyak.
Kuingat ayah menenteng satu tas pakaian ditambah dua bungkus plastik berukuran besar dgn pakaiannya yg berantakan. Pasti sesuatu terjadi pada ayah. Dan kecurigaanku makin bertambah tatkala ibu berujar di depan pintu rumah dgn nada murka, “Pergilah kalau itu maumu, & kupastikan gue bisa membesarkan anak-anakku.”
Lalu ayah terus berlalu tanpa menyaksikan ke belakang. ia hanya sejenak melihatku. Pagi itu hanya ada gue & ibu. Dua adikku masih tertidur pulas di kamar.
Satu minggu sesudah kepergian ayah, ibu kembali berdagang nasi pagi di rumah kami. Seperti bertahun-tahun yg lalu, para konsumen ibu kebanyakan dr pelaut & pedagang ikan. Rumah kami kembali riuh oleh bunyi & tawa para lelaki. Sesekali, mereka mencandai ibu. Mencubit lengan ibu.
Lalu, apakah dua adikku menyayangiku sesudah ayah pergi & tak pernah pulang? Bagiku sungguh celaka, ketidakpulangan ayah menurut adikku ialah lantaran aku. Samsir & Diva terus membenciku sampai ia remaja. Ibu berulang kali pula menghiburku dgn mengatakan bahwa mereka masih remaja & belum berpikir cukup umur. Namun, gue sungguh tak tahan hidup dlm pusaran kebencian dua saudaraku itu. Aku sering bersedih. Aku sering menangis.
Ibu meninggal pada suatu pagi. Sebelumnva, ia hanya bisa terbaring dgn tubuh agak panas. Dua adikku menyalahkanku kenapa ibu bisa sakit & meninggal. Aku sungguh murka & murung pada mereka. Tapi, kesedihan lebih kuat bergayut di hatiku.
Dua ahad sesudah ibu dimakamkan, gue pergi meninggalkan rumah. Seperti pada umumnya lelaki di kampungku, gue berpikir pilihan merantau ialah solusi menangani masalah. Rantau bagiku adalah pilihan. Dan gue memilih merantau. Dan di rantau ini, kata-kata ibu kadang kala terngiang di telingaku, “Kamu mesti terus mempertahankan kekerabatan baik dgn saudaramu, Nak.”
“Ah, ibu.” (*)