Sorot sinar mentari menerobos melalui celah-celah dedaunan. Mataku masih mengerjap malas. Aku menggeliat perlahan dr posisi tidurku, kemudian duduk. Aku harus waspada kalau tidak ingin tersungkur ke bawah. Dari atas pohon, kulihat pesona maritim pagi ini begitu biru dgn ombak yg begitu nyaring menghantam karang. Inilah satu-satunya caraku untuk menyegarkan asumsi. Perlu dimaklumi, pulau sempit ini dihuni tak lebih dr 40 orang. Tempat ini yakni pulau di tengah maritim yg belum banyak diketahui orang. Sebuah tempat rahasia. Black Market. Lokasi transaksi barang elektronik selundupan.
Semua orang di sini bekerja dgn bebas. Tak saling peduli kecuali saat saling membutuhkan suatu barang. Tempat yg sempurna bagiku. Tak akan ada orang yg mengganggu dlm menggeluti misiku. Rumahku ialah kantorku. Kalimat itulah yg dapat menggambarkan betapa bersepahnya rumahku dgn barang-barang elektronik & aneka macam perkakas. Tetapi rumah ini cukup tenteram untukku.
Terkadang gue pergi ke kota untuk berbelanja beberapa barang yg kubutuhkan. Tapi perlu perjuangan supaya pemerintah ataupun warga tak mengetahui sosokku. Aku mem-PHK diriku sendiri dr perusahaan sains. Pembuat barang-barang teknologi masa depan. Membuat perusahaan gulung tikar dlm sebulan & investasi negara menurun. Maklum, gue berada di lantai atas. Lalu gue pergi tanpa tanggung jawab. Kemudian sosokku mulai populer & dicari-cari.
Ah, gue jadi teringat Aidan.
Malam itu, gue menyaksikan anakku terbujur kaku dgn wajah pucat & senyum wajah yg sedih. Padahal dipagi hari sementara waktu yg lalu tawanya masih terdengar nyaring. Kanker itu tumbuh dgn cepat merusak sel otaknya, biadab!
Aku gagal menyembuhkannya. Aku merasa menjadi profesor yg tolol. Aku tertunduk memohon pada ilmuwan-ilmuwan yang lain biar membantuku mengembalikan Aidan. Namun, gue cuma menyaksikan punggung mereka. Sampai jadinya kuputuskan melakukannya sendiri. Ya sudahlah, bukan penyesalan. Otakku mesti terus terperas untuk bikin suatu alat supaya anakku kembali. Mesin waktu….
Aku menepis wajahku kasar, terjaga dr lamunanku yg memutar kronologis peristiwa kenapa gue hingga ada di sini. Semangat, Fredy! Semakin cepat kau menyelesaikannya, semakin cepat kau bertemu Aidan. Motivasi dr diri sendiri memang diperlukan, walaupun terlihat menyedihkan.
Aku kembali berkutat pada pekerjaan yg telah tujuh bulan ini gue tekuni. Dengan baju apron lusuh, Google, sepatu boots navy, & sarung tangan isolator tebal, gue mulai menyambung bagian-bagian untuk merangkai mesin waktu yg telah sukses 70%.
“Hei, Bro, apa kau membutuhkan logam aluminium & nanoteknologi baru? Kamp kita kehadiran kiriman dr Prancis hari ini.” Pria berkulit cokelat dgn perawakan kasar & baju tanpa lengan langsung menerobos rumahku tanpa permisi, gue dapat mengenali suaranya tanpa melirik.
“Ayolah, Ten, ketuk pintu dulu. Aku sedang bermain dgn api, jangan coba membuat tanganku menghilang dgn membuatku terkejut.” Api putih yg berkobar dr mesin di tanganku masih menyala. Tanpa menghiraukan Tendy, dua logam setengah bulat sudah menyatu membentuk bundar dgn diameter 2,5 meter. Pintu masuknya sudah siap.
“Kuperhatikan kau selalu memakai api putih. Bukankah itu api balasan reaksi fusi matahari? Api itu cuma mampu didapat menggunakan alat di perusahaan ‘La Teqno’-mu.” Belum sempat Tendy menyesaikan celotehnya, telingaku sudah panas.
“Ten, kau senantiasa bertanya hal yg jawabannya sama. Bukankah senantiasa kukatakan semua alat itu gue yg membuat? Aku masih bisa membuatnya kembali dgn mudah.”
“Oke baiklah… gue tau kau profesor ulung.”
“Tutup pintu! Jangan menghancurkan engselnya lagi!”
Otot lengannya yg kekar seringkali menutup pintu rumahku dgn kasar, membuatnya seketika ambruk. Untunglah ia temanku satu-satunya yg senantiasa membantuku di sini. ia masih kondusif dr amarahku.
Empat bulan yg sepi berlalu tanpa kurasa.
Masih tak percaya apa yg ada di hadapan kami, gue & Tendy tetap mematung ke arahnya.
“Apa sudah 100%?”
“Aku yakin masih 97%.” Tendy menolehku dgn satu alisnya terangkat.
“Aku belum mencobanya & belum membuktikannya. Namun sehabis hal itu terjadi, akan menjadi 100%,” ucapku dgn kepercayaan diri yg tinggi.
Jika diamati, benda ini berupa tabung dgn pintu masuk bundar yg di depannya terdapat sensor elektromagnet terbaru. Sepanjang bodinya terlihat seperti beling tembus pandang yg bekerjsama sungguh kuat & tahan banting. Begitu glamor dgn warna abu di seluruh bab bodi & warna maroon di pintu yg berupa lingkaran. Di bab dlm tabung terdapat suatu bangku empuk yg di depannya penuh tombol warna-warni dgn aneka macam fungsi. Kerja kerasku setahun sarat , inilah yg gue hasilkan. Kuseka keringatku dgn bangga. Ingin menangis rasanya, gue berhasil.
“Aku tau paras tololmu itu sedang sangat bahagia. Aku ikut bahagia misimu untuk pindah ke sini terealisasi.” Tendy merangkul pundakku.
Sejak pagi hingga langit bersepuh warna oranye, Tendy membantuku menuntaskan mesin waktu. Aku sungguh berterima kasih padanya hingga gue sendiri gundah bagaimana cara mengungkapkannya.
Kulukiskan segores senyum padanya & berlari menuju kamar mandi. “Aku ingin membersihkan diri. Akan kucoba alat itu secepatnya,” teriakku pada Tendy.
“Punggungmu akan patah, Fred! Istirahatlah dahulu.”
Aku mendengarnya tapi gue tak akan mengikuti sarannya. Aidan, kita akan segera berjumpa . Aku sungguh merindukanmu.
Kupilih busana terbaik dr yg terbaik & mulai berdandan mema merkan wajahku yg rupawan. Kulihat pantulan diriku di depan logam. Ketampananmu memang tak berkurang. Dari logam, gue bisa menyaksikan muka Tendy yg sedari tadi tersenyum ke arahku.
“Sudah siap lepas landas mitra?”
Aku menghampiri & merangkulnya.
“Terima kasih, Ten. Aku bersyukur bertemu denganmu, kau sungguh membantuku. Sekarang seluruhnya sudah usai. Saat bertemu Aidan nanti, gue akan membawanya kemari, kita akan tinggal bertiga. Oh oh… atau kita pergi ke suatu kawasan saja? Tempat yg lebih baik dr pulau perkakas ini.” Ia cuma mengangguk & tersenyum.
Aku masuk ke dlm tabung waktu. Memberikan posisi ternyaman di pantatku & mulai menekan tombol-tombol untuk lepas landas. Aku akan pergi ke masa tujuh hari sebelum Aidan meninggalkanku. On & Oke. Aku menyaksikan ke arah Tendy & tersenyum, ia membalas senyumanku. Alat ini bergetar. Gelap, kemudian ada banyak sekali spektrum warna di luar tabung kemudian berubah seperti galaksi. Aku rasa gue mulai berlangsung mundur. Tanganku basah oleh keringat.
Getarannya berhenti. Sampaikah? Di luar tabung terlihat sungguh gelap. Jujur saja, gue takut keluar. Takut jikalau impianku cuma sekadar angan. Takut yg terjadi tak sesuai harapan. Takut semua hanyalah khayalan. Lalu gue terluka dlm ilusiku sendiri.
Aku mencoba mengendalikan napas & detak jantung. Pintu terbuka. Ternyata gue berada di ruang bawah tanah rumahku. Aku melangkah ragu. Sekian detik kemudian kupercepat langkah kakiku menuju kamar anakku. Aidan’s Private Room.
Perlahan tapi niscaya kubuka pintu kamarnya. Aku melihatnya, ia tengah tertidur pulas di ranjang. Apa ini mimpi? Apakah ilusiku semata? Tidak! ia memang Aidanku. Aku berlari memeluknya.
“Ayah? Ada apa? Bukannya kau tadi pergi ke kantor? Kenapa cepat sekali hadirnya?” Ia terbangun terkejut & mengajukan pertanyaan dgn polos. Aku semakin memeluknya bersahabat. Takut ia tiba-tiba menghilang.
Aku menjadi sosok ayah yg lemah saat ini. Air mataku begitu deras, tenggorokanku tercekat & isakanku mulai terdengar nyaring.
“Ayah ada apa?” Aku menggeleng & tetap mendekapnya bersahabat.
“Aidan, Ayah minta maaf. Maaf tak bisa membahagiakanmu, maaf. Kau sungguh mempunyai arti untuk Ayah. Tak sia-sia perjuangan ibumu ketika melahirkanmu hingga ia mempertaruhkan nyawanya. Jangan pergi lagi. Ayah begitu hancur tanpamu, Nak. Kau satu-satunya harta yg gue miliki.”
Aku mulai melepaskan pelukan yg mungkin menjadikannya sesak. Kurengkuh kedua pundaknya & menatapnya wajahnya lekat. Wajah yg selalu ceria ini sungguh kurindukan. Ia menjamah daguku pelan.
“Hahahaha, gres kemarin gue membantu ayah cukur, ehh kini sudah gondrong lagi.”
Ah, putra 8 tahunku ini begitu polos. Aku cuma mengangguk & sesegera mungkin mengemasi beberapa pakaiannya. Aku tau Aidan sangat gundah, tetapi ia tak bertanya sepatah kata pun. Aku menggandeng tangannya dekat menuju ruang bawah tanah & segera membawanya pergi dr sini.
“Wah, Ayah, apa ini alat mutakhir buatanmu yg baru? Wah, seperti kendaraan beroda empat-mobilan. Keren. Ayahku memang jago!” Ia begitu bersemangat & menunjukkan gugusan gigi putihnya.
Aku menyuruhnya duduk di bangku & gue berdiri di belakangnya. Aku akan membawanya berjumpa dgn Tendy.
Aidan tampak begitu semringah. Tangan kirinya tak melepaskan genggaman tanganku sama sekali. “Aidan, Ayah akan membawamu jalan-jalan. Kamu pasti suka.”
“Asyiiik. Aku akan pergi bersama Ayah!” ia berteriak dgn lantang. Mataku memanas kembali, rasanya gue ingin menangis. Masih tak percaya siapa yg sekarang bersamaku. Alat ini kembali bergetar, & kami menelusuri waktu bareng menuju 1 tahun yg akan datang.
“Ayah? Apa kita sudah bisa keluar? Aku tak sabar bermain denganmu. Sudah usang kita tak main petak umpet.” Aku menggendongnya, tangan kananku menjinjing tas ransel miliknya. Kami keluar dr mesin waktu.
Selangkah, dua langkah. Aku kembali ke pulau ini. Suasana pantai menyambut kami.
“Ayah, terima kasih telah mengajakku ke sini. Aku suka pantainya.”
Aku memandang Aidan, ada yg aneh. Tubuhnya seolah membias, namun ia tetap dgn tawanya. Aku sangat ketakutan.
“Ayah yakni ayah terhebat sedunia!” Perlahan ia lenyap dr gendonganku. Aku mencampakkan kasar ranselnya & berbalik mencari ke tabung waktu. Kosong. Aku berlari ke sana kemari meneriakkan namanya.
“Aidannnn, Aidannnn! Ke mana kau? Aidannnnnn! Ayah belum memulai permainan petak umpetnya. Ayolah keluar!”
“Aidan!!!” Aku berteriak dgn frustasi. Ia tak ada, ia menghilang.
Aidanku tak kembali.
Aku tertunduk. Pasir hangat ini tak lagi gue sukai. Aku menjangkau ranselnya & menawan paksa sepotong bajunya. Aroma badan Aidan menyeruak. Langitku kembali mendung, & hujannya kembali terurai nyata.
Aidan, Ayah gagal. Aku tak mampu mengembalikanmu. Mungkin sesuatu yg hilang harusnya memang tak kembali, atau sesuatu yg sudah kemudian harusnya tak diungkit lagi. Dan memang pada dasarnya hidup tak menentu pada satu hal di masa lalu. Aku terlalu berpacu untuk merengkuh yg telah usai yg berakibat menyakiti diriku sendiri. Luka ini begitu faktual. Aku kehilanganmu lagi. (*)