Para Pemudik yang Tak Pernah Kembali | Cerpen Zaenal Radar T

Lebaran Idul Fitri sudah melalui dua bulan. Tapi jalanan Ibu Kota yg ditinggalkan pemudik masih lengang. Pom bensin yg biasanya sudah antre tetap kosong. Bahkan ada dua alat pengisian materi bakar yg tak dipakai sebab katanya pegawainya belum kembali dr pulang kampung. Ada pengumuman di bersahabat alat pengisian materi bakar; ‘diharapkan lima karyawan gres untuk posisi operator. Yang berminat hubungi Satpam pom bensin’. Yang minat diminta mengontak satpam, padahal tak terlihat seseorang berseragam satpam. Jangan-jangan satpam pom bensin itu pun belum kembali dr kampung halaman?

Pagi yg berair. Di jalanan cuma ada satu-dua kendaraan yg melintas. Saya bertemu mantan atasan saya, Pak Markum, di areal pom bensin itu. Pak Markum, manajer perusahaan minyak itu, nyetir sendiri. ia bilang, si Handoko, sopir pribadinya, belum kembali dr kampung halamannya di Jawa Tengah.

“Saya pastikan si Handoko resign,” ucap Pak Markum datar, sehabis saya menanyakannya.

“Handoko berjanji akan kembali lima hari sehabis lebaran. Tapi sudah nyaris Idulfitri haji tak timbul batang hidungnya.”

Bulan kemudian, istri Pak Markum mengeluh pada istri saya. Tiga orang ajun rumah tangganya yg mudik tiga hari sebelum Lebaran tak kunjung kembali sampai menjelang hari raya kurban. Hampir saban hari Bu Markum menelepon, namun ponsel para tangan kanan rumah tangganya tak ada yg aktif. Padahal ketiganya sudah dibelikan telepon pandai oleh Pak Markum. Kini, mereka sukar sekali dihubungi.

Saya & istri saya mulanya tak terlalu terusik dgn keadaan ini. Saya, istri, & dua anak saya tak pernah mudik alasannya tidak mempunyai kampung halaman. Baik orangtua saya maupun mertua, segalanya tinggal di Jakarta. Paling jauhnya, ada keluarga dr keluarga saya & keluarga istri menetap di pinggiran Ibu Kota. Selain itu, kami tak punya ajun rumah tangga, yg kebanyakan mudik dikala Lebaran Idul Fitri tiba.

  Putu Cangkir | Cerpen Chaery Ma

Kami sudah sudah biasa dgn situasi sepi ketika Lebaran Idul Fitri. Sudah lazim menghadapi toko-toko yg tutup, jalan protokol yg biasa hiruk pikuk berubah lengang. Raibnya suara knalpot bising & asap knalpot selama piknik hari raya. Namun baru kali ini, sudah lebih dr dua bulan semenjak Lebaran Idul Fitri, tak ada tanda-tanda orang-orang yg pulang kampung akan kembali ke Ibu Kota.

Warung-warung makan pinggir jalan masih tutup. Setelah saya selidiki, pemilik berikut karyawan warung-warung itu ternyata belum kembali dr kampung halaman. Loh, loh…. Kenapa aneka macam pemudik yg belum kembali? Siang itu pula saya berusaha mencari tahu melalui koran. Astaga, seingat saya, sudah lebih dr dua bulan sejak surat kabar libur dlm rangka hari raya Idul Fitri, koran tak pernah sampai ke teras rumah. Setelah saya tanya sana-sini, ternyata bukan cuma loper korannya yg belum ada, tetapi para biro koran yg pulang kampung belum kembali ke tempat kerja mereka.

Akhirnya saya nonton televisi, sesuatu yg jarang saya kerjakan. Hanya ingin melihat informasi. Ya, Tuhan. Hanya ada dua stasiun teve yang siaran. Stasiun yang lain masih gambar semut. Dan, dua stasiun teve yang ada cuma menyiarkan isu kemacetan. Sebelum saya tahu apa yg bahwasanya terjadi, lampu PLN mati! Televisi tewas kehilangan setrum. Jangan-jangan para petugas PLN yg bertugas di salah satu gardu masih di kampung halaman mereka?

Saya nyalakan ponsel untuk browsing, tetapi pulsa sudah sepekan habis. Tukang pulsa belum buka alasannya mudik. Saya ke ATM, ternyata ATM belum mampu digunakan sebab duit di dlm kotak mesin ATM kosong & belum ada petugas yg datang mengurusnya. Apa mereka pula masih belum kembali dr pulang kampung?

Jalan protokol yg biasanya padat merayap sungguh-sungguh sepi. Jalan-jalan gang kompleks yg biasa dipakai untuk parkir mobil pun kosong melompong. Kantor kelimpungan babak belur sebab OB & satpam belum kembali melakukan pekerjaan . Dipastikan mereka semua masih di kampung halaman. Padahal, jatah cuti mereka sudah lama habis. McDonald dan KFC di akrab kantor sudah menunjukkan pengumuman, besok mereka akan tutup untuk sementara. Lima karyawan mereka ambruk kecapekan. Satu-satunya warung Padang, yg berhadap-hadapan dgn Warung Tegal di bersahabat gerbang kompleks, pula tutup dgn argumentasi pasar belum buka, stok sayuran habis, ikan & daging belum ada yg mengirim . Kemana mereka semua? Apa mereka pulang kampung & tak ingin kembali?

  Penulisan Kalimat Langsung Yang Benar Dalam Penulisan Cerpen Adalah

Beberapa orang yg tak balik kampung berkumpul & berdiskusi. Apa yg akan kami lakukan seandainya orang-orang yg mudik tak kembali lagi? Itu sampah rumah tangga teronggok di mana-mana, tak yg memuat karena orang yg biasa mengurusi sampah, baik petugas kebersihan maupun sopir truk sampah, mudik semua & belum kembali sampai hampir hadirnya Idulkurban.

Supermarket & minimarket yg biasa melayani warga satu per satu tutup. Keamanan tak ada. Polisi-polisi yg biasa berjaga-jaga ternyata mudik bersama keluarga mereka masing-masing. Kami menetapkan untuk bertemu dgn Walikota. Tapi katanya Walikota belum kembali dr mudik, semenjak dua bulan lalu. Pak Gubernur kabarnya masih di kampung halaman! Masya Allah!!!

“Lagian sih, pilih pemimpin bukan orang asli sini. Pilih dong orang daerah sendiri semoga enggak pakai balik kampung kayak gini!”

Saya tak mempedulikan gerutuan salah satu warga. Akhirnya beberapa warga sepakat untuk menghadap Presiden. Pak Presiden kan sudah biasa bertemu dgn rakyatnya. Sudah lazim Presiden ketemu rakyat kecil alasannya ia gemar blusukan. Namun, kabar datang dr istana, satu-satunya orang istana yg tak pulang kampung, mengabarkan bahwa Presiden mungkin masih di Solo.

Ada apa ini? Kenapa mereka masih pulang kampung semua? Masak iya, mereka akan kembali sesudah Lebaran haji?

Saya kembali menyalakan televisi sesudah listrik menyala. Kini tinggal satu stasiun teve yang siaran. Dengar-dengar stasiun satunya sudah kehabisan karyawan. Karyawan belum kembali melakukan pekerjaan . Sementara karyawan yg ada ambruk semua.

Akhirnya saya memperoleh balasan dr satu-satunya pembaca isu yg sudah loyo, wajah pucat pasi, bibir kering, & mata celong. Mungkin ia tak pernah ganti sif. Pembaca gosip itu mengabarkan, “Pemirsa, para pemudik masih tertahan di pintu keluar tol Cipali sejak tiga hari sebelum Lebaran. Jalan jalur utara & selatan seluruhnya macet total. Penyeberangan Bakaheuni terhenti total, kendaraan beroda empat-mobil eksklusif & pemotor tak bergerak. Kabarnya, mereka belum sampai ke kampung halaman. Kemacetan tak cuma dialami rakyat biasa, namun pula menimpa sejumlah pejabat negara, tergolong beberapa orang wakil rakyat, Presiden, & sejumlah menteri yg ingin mencicipi jalan tol yg gres didirikan untuk keperluan pulang kampung tahun ini.

  L O P | Cerpen Putu Wijaya

Saya jadi ingat ucapan Pak Markum. Istrinya sempat mendapatkan telepon dr kampung para asisten rumah tangganya. Bahwa ketiga ajun rumah tangga itu belum hingga di kampung halaman mereka. Padahal mereka sudah izin mudik tiga hari sebelum Lebaran. Jangan-jangan para ajudan rumah tangga itu masih terjebak kemacetan?

Setelah itu pembaca gosip teve menginformasikan pada pemirsa bahwa ini siaran terakhir mereka. Karena reporter & sejumlah kameramen sudah tak lagi mengantarkan berita. ia sendiri sudah capai siaran sejak Lebaran sebab rekan-rekan penyiar yg lain belum kembali bekerja.

Pembaca isu yg biasanya terlihat segar & elok itu kini sudah berparas kacau, berkulit kisut, berambut kusut, & bersuara lemah. Namun ia masih sempat tersenyum sesaat sebelum menyelesaikan info, “Demikianlah gosip-berita terakhir yg kami sajikan pada Anda, pemirsa. Selamat malam. Sampai jumpa…. Kapan-kapan…” (*)