Sepanjang Aliran Sungai | Cerpen Sungging Raga

Bayangkan dirimu yaitu pedoman sungai. Pada suatu sore hari, kau berkelok di sebuah hutan tak berjulukan, di antara baris pepohonan yg memandangmu enggan sambil menjatuhkan daun-daunnya di permukaanmu, & angin hambar membentuk riak kecil di tubuhmu, bareng bebatuan hitam yg telah lama menghuni dasarmu.

Bayangkan, sesudah melalui hutan itu kau menurun di suatu teladas, & pada penggalan bawah ada genangan selebar telaga, & bawah umur desa suka mandi di sana. Anak-anak yg senantiasa ceria, melompat dr batu besar, menceburkan diri ke dlm tubuhmu. Dan kamu merasakan bagaimana mereka bermain kecipak air. Anak-anak laki-laki yg hanya mengenakan celana pendek, sementara busana mereka ditumpuk di tepian di erat ilalang. Kau tak mengenal seorang pun dr mereka, meski bisa saja kau hapal wajah-wajah mereka, alasannya sebagian dr mereka sudah sudah biasa mandi di teladas ini berjam-jam sampai matahari condong ke barat di antara rimbun pepohonan.

Lalu senja tiba. Meninggalkan belum dewasa itu, kamu menelusuri serpihan tepi desa yg tenang. Suara ricikmu bergabung dgn bunyi cericit burung-burung bersayap cerlang di langit. Rumah-rumah tampak keemasan dlm cahaya senja. Dan kau pun besar hati dgn aliranmu yg begitu tenang. Kadang di atas tubuhmu ada beberapa batang kayu menyilang menjadi jembatan kecil, & orang-orang melangkah di atasmu: seorang lelaki yg mengangkut kayu, seorang perempuan menuntun anaknya, & cukup umur-dewasa yg melintas entah pulang dr mana.

Dan bayangkan kamu masih mesti terus berlangsung. Kau cuma pedoman sungai yg kecil, bukan sungai ganas dgn ajaran deras yg mampu menerjang apa saja, mengikis apa saja. Pada suatu tatkala lebarmu cuma sekitar satu meter, tapi perjalananmu jauh, jauh sekali. Kau sudah lupa di mana tubuhmu bermula. Tatkala kau tengok ke belakang, hutan sudah menjadi kecil, perbukitan itu tampak kosong & biru. Pada mulanya kau hanya air mengalir, tanpa menenteng apa-apa. Lalu daun-daun kering ikut bersamamu, bercakap-mahir satu sama lain, mengeluh kenapa mereka begitu mudah dilepaskan, ditelantarkan. Kau tentu tak peduli dgn daun-daun itu, kau bisa menepikannya saja bila terganggu dgn kesedihan mereka.

  Nostalgia Gula Merah | Cerpen Muhammad Abdul Hadi

Dan kini kau tiba di permukiman penduduk yg lebih padat. Ada sampah-sampah yg dibuang, plastik, ranting-ranting, batang-batang kayu, bangkai-bangkai tikus: semua itu dilemparkan ke dlm tubuhmu. Kau tak bisa menolaknya. Kalau bangkai tikus itu cukup berat, maka kamu menenggelamkannya saja, membiarkan tertahan di dasar sungai, sementara yg yang lain kau bawa mengalir. Sesekali beberapa orang petani mencuci kaki mereka di tubuhmu, & lumpur yg melekat di kulit agresif mereka pun terlepas, menyatu dgn lumpur dlm aliranmu. Tak jauh dr situ, ada pula seorang gadis kecil berjongkok, hanya diam memandangimu, sesekali ia memainkan jemarinya ke dlm tubuhmu, lembut. Kau tak tahu yg dipikirkannya, & gadis itu pula tak tahu bahwa kamu sesungguhnya bisa berpikir.

Dan senja berlalu, malam pun turun, & kamu belum tiba di maritim.Ya, sebagaimana yg sudah diberitahukan alam kepadamu, kamu akan datang di kawasan bernama maritim, di mana aliranmu akan menyatu dgn debur ombak. Kau tentu tak pernah melihat bahari sebelumnya. Tapi sebagaimana teman-temanmu sesama anutan sungai, kau yakin bahwa laut yaitu tamat dr segalanya, ujung dr hidupmu di dunia. Kau tak bisa bertanya seperti apa maritim itu. Akankah menggembirakan bisa berjumpa fatwa sungai-sungai lain yg pula bermuara di sana? Kalian akan saling menyapa, membuatkan kisah perihal perjalanan masing-masing.

*****

TAPI kau pernah mendengar kabar bahwa maritim sarat debur ombak yg menyeramkan, pula karang-karang yg ujung-ujungnya tajam, seakan laut tak pernah berbaikan dgn sungai. Dan airmu akan menjadi asin, sarat buih, menunjukan bahwa bahari telah menghabisimu. Kalau kenangan ini diteruskan, tentu kau akan murung menjadi sebatang sungai, & kau akan mengajukan pertanyaan: “Mengapa gue tak menjadi laut saja?” Atau,“Mengapa gue tak dibiarkan mengalir terus saja? Tanpa tujuan, tanpa harus berhenti & hilang?”

Tapi tentu kamu akan dianggap gila dgn pertanyaanmu.

Maka bayangkan saja kamu masih tak begitu peduli dgn simpulan tujuanmu. Di malam yg makin legam ini kamu masih mengalir, meninggalkan desa, kau melintasi sebuah kota yg tampaknya sudah tertidur. Tapi lihatlah! Bangunan-bangunan kota itu sebagian mengeluarkan asap, bekas terbakar, & beberapa dikala kemudian aroma bau mendekati tubuhmu. Aroma darah. Ya, mayat-jenazah bergelimpangan di tepianmu, ada tangan-tangan tergeletak menyentuh permukaanmu. Dingin. Tangan-tangan yg tak lagi bergerak, dgn darah mengucur, darah yg menghitam, yg bercampur dgn dirimu. Kau tentu tak kuat dgn busuk itu.

  Hikayat Tukang Kayu | Cerpen Abdul Hadi

Terdengar suara kendaraan melintas di jalan, bunyi mesin yg terasa berat & serak. Kendaraan itu tak begitu jelas dlm pandanganmu, terhalangi kabut malam & debu yg beterbangan. Tapi kamu terperinci mendengar bagaimana kendaraan itu melindas segala yg ada di bawahnya. Ada suara-bunyi gemeretak, barangkali itu berasal dr tubuh-badan manusia? Entahlah, tapi tak semuanya insan mati, kau masih menyaksikan segerombolan manusia muncul dr kegelapan, sepuluh atau lebih, mereka mengenakan baju yg sama, seragam abu-bubuk, memegang senjata. Langkah-langkah mereka terdengar tegap mendekatimu.

“Kalau saja ada sungai besar di kota ini, niscaya bisa kita buang semua mayit-mayit ini ke dalamnya,” kata salah seorang dr mereka.

“Ah sudahlah, biarkan saja. Toh besok kita sudah pergi dr sini.”

“Benarkah? Apa sudah turun perintah?”

“Ya. Besok kita diperintahkan ke Ensifera, desa di seberang sana itu.”

“Bagus kalau begitu, gue sudah tak tabah menembaki orang lagi.”

Kau boleh saja mengigil. Di manakah desa Ensifera? Apakah itu nama desa damai yg kamu lewati tatkala senja tadi? Berapakah jarak dr kota ini dgn desa itu?

Bisakah kau bayangkan jika ketenangan desa dgn angin senja yg sejuk itu mengantarmu ke mari, suatu jenazah di mana-mana? Air menggeluti kawasan mandi anak-anak itu akan menjadi merah. Ah, tidak, tidak. Kau mesti cepat meninggalkan kota ini. Kau pasti tak tahan kalau mesti melewati daerah ini lagi. “Lebih baik gue hilang saja dlm laut,” begitu mungkin pikirmu. Padahal tadi kau enggan cepat-cepat tiba di laut. Seakan kau lebih enggan untuk mengenang panorama ini lagi. Maka kamu pun terus mengalir sambil berpejam mata, melewati malam yg tinggal sepertiga. Bintang mulai raib. Dan kau terus mengalir, menembus kabut pagi yg hangat lantaran asap.

*****

PAGI pun tiba, ternyata kau belum hingga di bahari. Kau mengalir di tempat lain, yg masih berupa kota juga, dgn jalanan beraspal yg kering, tetapi tak begitu banyak bangunan. Kau lihat matahari yg malas itu tertutupi mendung, tanpa burung-burung. Di kawasan itu kamu sedianya hampir merasa tenang, tapi aliranmu mirip terjungkal tatkala masih kau lihat di sekelilingmu mayit-mayit bergelimpangan, sosok-sosok yg lain, yg sepertinya telah lama tumbang. Ada sesosok tubuh tergeletak di tubuhmu, menyumbat aliranmu. Tubuh itu begitu berat, kamu tak bisa menyingkirkannya atau menyeretnya, kau hanya mengalirkan air lewat sela-sela yg tersedia.

  Laki-laki yang Menyeret Sebuah Pintu | Cerpen Yudhi Herwibowo

Dan di kanan kirimu pun masih banyak badan lain yg mulai membusuk & dirubung hewan-hewan beterbangan. Ada pula senjata-senjata & besi-besi yg tergeletak, bekas ban di jalan raya. Seperti sisa kerusuhan atau peperangan. Dan kau lebih terkejut lagi tatkala di kelokan berikutnya kamu menyaksikan banyak perempuan & anak kecil berada di akrab jasad-jasad itu. Terpampang kesedihan yg terperinci, mirip sebuah melodrama di mana kau tak diundang kecuali sekadar melintas begitu saja.

Kau lihat seorang anak gadis menangis di atas jasad seorang laki-laki. “Ayah, ayah,” begitu kau mendengarnya. Gadis itu kian menderaskan airmatanya, menjajal mengguncang-guncang tubuh itu, ingin mengangkatnya namun tak mampu, ia hanya memeluk, mengusap kepala laki-laki yg telah kaku & berbau tak sedap itu.Ternyata di tempat ini lebih banyak jenazah, namun tak ada orang-orang yg berlangsung dgn pakaian seragam keabu-abuan mirip semalam. Malah kebanyakan wanita-wanita lusuh & bawah umur kecil kumal. Terdengar isak tangis di segala penjuru, di mana setiap bangunan rumah sudah hancur. Apa bahwasanya yg sedang terjadi?

Bayangkan dirimu yakni aliran sungai dr bukit, berkelok di hutan, menurun di pedesaan, melewati kota yg hancur, melintasi mayit-mayat, & kamu masih mesti terus mengalir, jauh, lebih jauh lagi, menyaksikan pemandangan yg sama lagi. Sementara kau tak tahu berapa usang lagi kamu akan datang di maritim. Laut yg entah akan menunjukkan panorama apa. Laut yg tak bisa menentukan bahwa tamat hidupmu akan senang. (*)