Uban di Kepala Ibu | Cerpen Teguh Affandi

Sore itu saya menyisir rambut ibu, yg selama ini begitu saya kagumi alasannya adalah tak pernah sekali pun menjelma uban. Berbeda dgn rambut di kepala saya, yg meski baru sepertiga dr usia ibu sudah mulai ditumbuhi rona putih di helaian dlm rambut.

“Ibu, rambut ibu benar-benar kuat,” kata saya.

“Rambut itu simbol kekuatan wanita. Ibu pula tak pernah sekali pun mengumbah rambut dgn shampo-shampo sepertimu,” jawab ibu.

“Tapi rambut ibu begitu higienis,” saya kembali memberondong.

Ibu saya terkekeh. Kemudian menjangkau sisir yg saya pergunakan untuk meluruskan rambut ibu, ia menggelung rambut. Kemudian berbalik memandang wajah saya.

“Yang namanya barang-barang pabrikan itu senantiasa memiliki pengaruh jelek,” sehabis menggelung ibu beranjak dr dingklik. Semburat senja menciptakan rambut ibu berkilau.

Saya akui ibu yaitu wanita kurang pandai yg menolak segala jenis perkembangan, kecuali listrik & televisi yg menayangkan gambar bersuara. Itu pun alasannya radio sudah tak memberi slot sandiwara. Ibu semenjak dulu hanya membasuh rambutnya dgn tumbukan lidah buaya & sekam arang. Ibu tak suka segala jenis shampo.

Terbukti benar, bahwa sampai kini rambut ibu kuat tak rontok. Hitam tak beruban. Dan legam sempurna. Saya iri pada ibu. Tapi untuk memulai laku semacam ibu sudah barang pasti terlambat.

“Bawa ini,” ibu menyodorkan dua papah lidah buaya. “Rambutmu sudah kering. Butuh nutrisi dr ini.”

Dari kunjungan sore itu ke rumah ibu, saya beroleh nutrisi alami yg sekiranya mengembalikan keparipurnaan rambut saya.

*****

Waktu bergulir & berganti. Yang tak berubah ialah kebiasaan saya mencuci rambut dgn produk kimiawi. Lidah buaya dr ibu teronggok di pojokan troli kulkas bareng aneka sayuran. Saya sudah tidak memiliki waktu mirip ibu, yg meremukkan sendiri pengecap buaya untuk rambutnya sendiri. Manusia seperti saya mungkin ditakdirkan untuk takluk pada kemudahan.

  Meniti Jalan ke Surga | Cerpen Rumadi

Saya hampir terlupa akan pengecap buaya dr ibu, hingga telepon dr ayah yg menjadi pengingat. Ibu sakit.

Saya gegas ke tempat tinggal sakit. Dan di sana saya saksikan ibu terbaring lemah di atas dipan yg serba putih. Kepala ibu dibungkus perban. Ada benjolan besar dlm tengkorak kepala ibu. Mau tak mau, rambut yg paling dikagumi ibu, terpaksa harus dicukur sebagian. Belum lagi efek obat takaran keras yg pula merontokkan keperkasaan akar rambut ibu.

“Rambutmu sekarang yg lebih manis” kata ibu. “Obat betul-betul merusak rambut ibu. Ibu jadi tak berdaya.”

Ibu berusaha menunjukkan kelakar. Kalimat ibu terdengar mirip sebentuk sayatan yg menggerus hati. Saya tersenyum. Namun air mata tak mampu saya hentikan meluruh di pipi. Ada pilu yg pijarnya melampaui kelam rambut ibu.

Sebulan sarat ibu terbaring di dipan. Rambutnya tak sekali pun ditampilkan. Saya tak tahu apakah rambut ibu kembali segar seperti semula atau berkembang uban. Setelah ibu sembuh, seluruhnya akan terbuka. Setelah perban lepas.

*****

“Rambut ibu sekarang jelek,” ibu berkaca & melihat rambutnya kini pendek, kusam, & mulai memutih.

“Tidak apa-apa, ibu. Yang penting ibu kembali sehat,” jawab saya.

Ibu berdeham pelan. Tampak betul ketidakpuasan di muka ibu. Meskipun sudah berkali-kali saya ingatkan & dijawab oleh ibu dgn iya, tapi tak pula kembali semangat ibu yg dahulu. Perkara rambut bagi ibu ternyata lebih penting dr sakit. Sudah saya usulkan untuk menutupi dgn kain supaya tak aib, namun ibu tetap tidak ingin.

Ibu tak pula membalik. Tubuhnya tak lagi segesit dahulu. Apa-apa mesti dibantu oleh ayah. Entah karena penyakit di kepala ibu yg belum tuntas diangkat atau justru karena fikiran ibu perihal rambutnya yg memperparah.

  Yang Lebih Hebat dari Kata Rindu | Cerpen Maya Sandita

Sering kali saya saksikan ibu duduk di tubir ranjang menghadap jendela kamar. ia memegang sisir & selingkar cermin rias. ia melaksanakan gerakan menyisir-nyisir. Seolah rambutnya yg panjang masih bersarang di kepalanya. Dua-tiga gerakan menyisir, kemudian ibu terjaga. Rambutnya kini pendek. ia membanting sisir & cermin. Kemudian tergugu oleh kesedihan yg menyusup.

Puncaknya, ibu kembali dilarikan ke rumah sakit untuk kedua kali. Tubuh ibu kejang-kejang & panas tinggi. Mukanya pucat & memuntahkan kembali apa-apa yg saya suapkan ke dlm tubuh ibu.

“Ibu yg berpengaruh ya,” saya membisikkan kalimat di indera pendengaran ibu.

Ibu mengangguk sangat lemas. “Kamu lihat sendiri bukan. Rambut adalah sumber kekuatan perempuan. Simbol perlawanan. Setelah ia rontok, badan ibu pun rontok satu demi satu.”

Saya menangis sambil memeluk ibu. Beberapa helai rambut ibu yg pendek & memutih rontok & jatuh di paha saya. (*)