“Bila ada seorang yg terus memikirkanmu, maka di sanalah tempatmu untuk pulang?”
Itu yakni kata Ibu beberapa tahun kemudian. Sebelum gue pergi meninggalkan rumah. Memang, sehabis lulus kuliah & menerima pekerjaan selaku koresponden salah satu perusahaan media di Berlin, gue pergi meninggalkan rumah & Ibu. Aku hidup sebagai pengelana di negeri orang. Hari-hariku tak lagi dipadati dgn percakapan hangat dgn Ibu, namun diganti laporan kerja, kegiatan rutin berangkat kantor, & kesepian-kesepian yg gue lalui seorang diri di Eropa. Apalagi selama meninggalkan rumah, dua tahun—dan sepanjang waktu itu pula belum pernah pulang—saya merasa ada yg hilang dlm hidup. Aku merasa ada yg membuatku kian asing di tengah perantauan.
Lalu alasannya kalimat yg tiba-tiba terngiang itu, gue secara tiba-tiba rindu situasi rumah. Begitu pula hingga siang ini. Setelah kalimat itu sukses mendatangkan kegundahan yg menohok nyaris selama dua minggu, gue memutuskan mengambil libur panjang, & pulang. Demikianlah. Aku berangkat dgn pesawat paling pagi dr Bandara Schonefeld di Berlin. Perjalanan udara yg menghabiskan waktu beberapa jam tak membutku letih. Rindu pada kampung halaman & Ibu bagai mendatangkan semangat lain pada diriku. Sesampai di Soekarno-Hatta, tubuhku bahkan masih sama segarnya mirip saat berdiri pagi. Padahal, perjalanan dr Berlin menuju Jakarta, ialah perjalanan panjang & sebaiknya menghabiskan tenaga.
Dari bandara, gue lekas menggunakan taksi. Aku meminta supir untuk mengantarku ke kafe terdekat. Sopir itu lantas membawaku ke suatu kafe yg lenggang di satu sisi Jakarta. Aku duduk seorang diri di sana, kemudian memesan minuman seraya menerawang ke luar jendela. Aku seolah sedang mencocokkan kembali apa yg ada di benakku dahulu mengenai kota ini. Dapat dikatakan, di tepi meja itu, gue sedang merakit ulang biografi kenangan pada kota di hadapanku. Mataku terus menjelajah dr satu objek ke objek lainnya. Ingatanku bekerja sangat keras. Tetapi, panorama dua tahun lalu wacana kota ini terasa sungguh berlawanan.
“Waktu terus melumat kehidupan untuk senantiasa berganti,” pekikku seorang diri meski dlm hati.
Aku masih termenung di tepi meja kafe. Lalu mendadak, gue mengutuki diri sendiri yg memilih singgah sebentar mencampakkan penat sehabis beberapa jam terkurung dlm pesawat. Aku tak mendapatkan apa yg kucari. Tetapi, gue hanya menemukan keasingan lain seperti sama kurasakan pula dikala di Berlin. Merasa jengah dgn perasaan sendiri, gue melempar sorotan ke langit. Hujan masih menaruh gerimis pada gedung-gedung serta jalanan yg selalu sibuk. Aku sekali lagi mengamati detil-detil kecil dr diorama kota yg telah lama kutinggalkan. Yang kulihat hanya orang-orang yg bergegas; tatapan pilu wajah-wajah bisu yg menyimpan kemurungan masing-masing; laju kendaraan yg semakin padat & tergesa mirip diburuwaktu.
“Kota ini bagai pesta yg gagal menyelesaikan gemanya sendiri,” pekikku lagi masih dlm hati.
Untuk menghibur dir sendiri, gue menjangkau buku catatan & sebuah pensil di dlm tas. Sekilas gue memandangi kertas itu. Tanpa kontrol, tanganku bergerak di atas permukaan kertas polos itu. Aku tak memahami, apa yg sebetulnya terjadi pada diriku? Karena dengan-cara tak sadar, tanganku melukis sebuah rumah kecil dgn bunga-bunga di halaman depannya. Syahdan, tak tertinggal, Ibu yg sedang menyiram setiap kuncup bunga itu. Aku seolah sedang melukis kenanganku sendiri di atas kertas.
“Sejauh-jauhnya kau pergi, suatu dikala niscaya akan pulang! Karena seorang petualang pun senantiasa memiliki rumah, di mana ada orang yg terus memikirkannya.”Aku kembali mendengar suara Ibu dr balik kertas itu.
Ingatan di kepalaku mirip scanner dikala menyaksikan gambaranku sendiri di kertas itu. Kenanganku pula bagai diundang untuk melukiskan lagi adegan dikala Ibu melambaikan tangan ke arahku dgn tampuk mata merah melelehkan kesedihan. Semua itu masih terekam jelas pada slideslide ingatanku. Begitulah. Setelah pengertian merentangkan jarak, lantas ruang & waktu menelurkan rindu, hari ini gue ingin pulang. Aku ingin memeluk Ibu seraya mengecup punggung tangannya.
“Silakan diminum, Mas!” Kata seorang pramusaji perempuan yg memecahkan lamunanku.
Aku mengangguk & mengucapkan, ‘terima kasih’ kepadanya. Pelayan itu kemudian pergi lantas keheningan kembali membekap. Aku mengamati antara minuman serta kertas di meja. Berganti-gantian. Pelan-pelan. Kemudian, gue menggenggam kuping cangkir untuk mendekat. Mencecap minuman itu pelan. Aroma jahe yg khas meresap pada pengecap & tenggorokkan. Mendadak, tubuh yg semula kedinginan menjadi hangat.
Aku pun melongokkan pandangan ke kedalaman cangkir minuman. Aku memandang air kekuningan serta gurat wajah yg perlahan menua. Tanpa kusangka, seperti ada yg mendorongku masuk ke dlm cangkir itu. Aku terperosok pada ingatan masa kecil di rumah. Memoriku terpelanting kembali ketika berlarian turun tangga tergopoh- gopoh berebutan dgn kakakku menuju dapur. Kemudian, Ibu tersenyum mendapati kami merengek meminta belahan lebih dr minuman yg ia bikin. Sebuah minuman sederhana yg terbuat dr rebusan jahe & gula. Minuman yg menjadi perekat kebersamaan kami di rumah. Karena, sering sembari meminum air ramuan jahe yg hangat, Ibu bercerita padaku & abang.
“Tidak ada yg infinit di dunia ini. Kau tak perlu memaksakan segala sesuatu, karena kita sebetulnya tak sedang mencari apa pun. Jadilah orang yg sederhana dgn hati yg baik. Dengan itu kelak akan banyak orang memikirkanmu,” katanya seperti menceramahi diri sendiri.
Ahh, dengung bunyi itu. Aku mendengar bunyi Ibu lagi. Suara yg terasa begitu dekat & lembut.
Di luar, hujan masih turun. Aku menggeloyor keluar kafe. Termenung menanti taksi. Tidak begitu lama, taksi datang & mengantarku ke terminal. Sesampai di terminal, gue terburu-buru masuk bis yg secepatnya akan berangkat. Bis melenggang membelah hujan menuju kotaku. Di tengah perjalanan, gue kembali termenung sembari memandang hujan. Aku mengamati rintik-rintik hujan yg turun teratur. Tangan & pensil di tangan kembali bergerak abnormal. Tanpa sadar gue sudah melukis suatu meja makan sederhana. Aku pula membumbuhkan tiga orang yg duduk menatap suguhan di meja. Dari lukisan itu, gue mendengar teriakan-teriakan lirih.
“Jangan berebut! Kue serabinya masih banyak!” Suara itu terdengar kian dekat. Bahkan mirip berada disampingku.
Dan di tengah lamunan, saat itu juga tercium aroma sedap kuah serabi. Aku menghirup aroma parutan kelapa & air gula yg manis. Aku mengerling ke tepi jalan, & menyaksikan suatu warung serabi kecil di sana. Banyak orang berkumpul di warung itu. Mereka duduk kalem menyantap masakan. Sekejap hati bergetar. Aku ingat serabi produksi Ibu. Makanan yg senantiasa Ibu suguhkan dikala gue & abang berkelahi. Makanan yg membuat kami menjadi keluarga yg utuh.
“Kalian harus membuatkan walau sedikit,” gue ingat nasihat Ibu. “Makanan terasa lebih lezat bila mencicipinya bersama-sama.”
Air mataku menitik. Ingin lekas berjumpa Ibu. Namun, bis masih merayap pelan di jalan sebab macet. Aku makin gusar memandang hujan & keramaian diluar. Di tengah kemacetan itu, dr radio yg diputar supir, gue mendapat info bahwa gres saja terjadi bencana di kampungku. Tsunami besar gres saja melahap kampungku yg berada di pesisir pantai. Mendengar itu, gue panik. Aku cepat-cepat menelepon Ibu ke tempat tinggal—walau kenyataannya, gue ingin memberikan kejutan dgn kedatangan yg secara tiba-tiba.
Terus gue memanggil Ibu. Aku bingung menanti tanggapan dr teleponnya. Tetapi operator senantiasa menyampaikan jika nomer telepon Ibu di luar jangkauan. Perasaanku makin tak karuan. Terlebih, dikala si penyiar radio menyatakan banyak korban jatuh. Aku semakin panik. Tapi untungnya, tak lama kemudian, suatu nomer asing meneleponku. Dari suaranya, gue cepat mampu menganal bila itu Ibu.
“Hallo?” Kata Ibu.
“Ibu?”
“Iya, Nak. Ini Ibu.”
“Ibu baik-baik saja kan? Aku sekarang sedang dlm perjalanan pulang.”
Ibu sempat diam di ujung telepon itu. Lalu Ibu berkata lagi, seolah gemas dgn anaknya: “Kau anak nakal. Pergi beberapa tahun, baru pulang kini. Tapi syukurlah, rinduku hingga pula padamu, Nak.”
“Maafkan saya, Ibu.”
“Cepatlah tiba. Semua orang sudah menunggumu.”
Ibu menutup telepon. Memang tak mirip lazimnya tatkala menelepon Ibu berbicara sesingkat itu. Namun, gue tak peduli. Aku merasa lega dgn kondisi Ibu yg baik-baik saja sesudah bencana.
Ada panorama yg berlawanan ketika gue hingga di rumah. Rumah-rumah yg rubuh, kubangan air, & gelimpangan mayat ditepi jalan. Tangis pula mendengung tiada putus di setiap sudut. Sesampai di dlm rumah, gue mendapati hingar bingar dgn wajah-wajah yg sama murungnya mirip wajah-wajah di jalan.
Kakak sudah menungguku di halaman rumah yg hancur.
“Di mana Ibu, Mas?” Tanyaku kapada abang.
Katanya lemah, “Ibu meninggal dikala peristiwa terjadi. ia gres saja dikuburkan hari ini. Kami tak sempat menunggumu pulang.”
Aku tergeregap. Aku tak percaya mendengar gosip itu. Kakak mengantarku ke kuburan Ibu. Di tepi makam Ibu, gue terduduk linglung seraya berpikir: Siapa yg meneleponku satu jam yg kemudian? Apakah Ibu menghubungiku dr surga? (*)