Wijil dan Anjing Siluman | Cerpen Angga T. Sanjaya

Ada satu waktu tatkala dongeng-kisah perihal Gunung Wijil menjadi begitu keramat. Orang-orang dusun sepakat bahwa gunung itu berhantu. Penyebabnya tiada lain, anjing-anjing siluman pemangsa warga di dusun. Tidak ada yg mengira, anjing-anjing itu pembunuh yg bengis & mengerikan. Tatkala ada yg berhadapan dgn anjing itu, yg tersisa berikutnya hanya dua opsi, mati dlm panik atau mati dlm melawan.

*****

Saat itu, di tahun yg runcing, banyak orang kehilangan keluarga. Anak-anak kehilangan orang bau tanah. Pula, perempuan-wanita secara tiba-tiba ditinggal suami, tanpa pamit, tanpa kabar. Berhari-hari, berbulan-bulan tak pernah kembali.

Mereka yg ditinggalkan itu layaknya tanah kerontang; kusut & letih dlm penantian. Dalam kondisi genting semacam itu, mereka hanya membisu & menanti dlm debar ketidakpastian. Sembari cemas, bahwa seluruhnya hanya mimpi jelek yg esok akan lenyap. Tapi keinginan kosong seperti itu tak pernah memberi rasa nyaman & lega.

Malam-malam tetap saja terasa tajam & menyeramkan. Jangankan untuk melelapkan mata, sekadar mempesona napas akan sesak & berat. Sebab bahaya akan datang kapan pun. Orang-orang tampaknya hanya menunggu mati diculik anjing-anjing itu.

Entah dr mana kisah-kisah ihwal anjing siluman itu datang berembus. Sebab memang tak ada satu pun saksi yg betul-betul melihatnya. Orang-orang yg pernah diculik pun tak pernah kembali. Andai ada satu saja yg lolos dr malapetaka itu, pastilah mereka mampu bercerita dgn terperinci ihwal anjing-anjing siluman itu.

Tapi kisah tentang anjing itu mendadak berhamburan seperti suara teriakan-teriakan warga yg setiap malam diseret & mati di Wijil. Setiap ada warga yg hilang, sesaat setelahnya terdengar jerit diiringi salak anjing yg melengking seperti peluru yg tajam & membabi buta, menghunus & menuntaskan semuanya. Barangkali bunyi salak itulah yg menciptakan orang-orang di dusun selalu mengaitkan setiap penculikan dgn anjing siluman itu.

Sejak saat itu, orang-orang percaya bahwa anjing itu bukanlah anjing biasa. Tapi anjing siluman, anjing yg secara tiba-tiba tiba & mampu pergi begitu cepat. Anjing yg mampu membunuh & menghabisi siapa pun dgn cara yg mengerikan namun tak diketahui oleh siapa pun.

  Dilarang Melamun di Kelas | Cerpen Andi Wikono

“Anjing itu bisa tiba kapan saja, tepat di hadapan kita,” ujar Tomo Kecrek, warga yg dusunnya saat itu sedang gawat-gawatnya. Sebab, dr dusunnyalah cerita tentang anjing itu berembus.

“Mereka sepertinya mampu datang & pergi dgn cara menghilang,” timpal Pardi Doyok.

“Atau mereka memang hantu?” sahut Tarjo Koplo yg pernah mendengar langsung teriakan orang yg diseret oleh anjing-anjing itu, sempurna di depan rumahnya. Semenjak insiden itu ia menjadi sangat takut, sekaligus menyesal. Sebab dikala peristiwa malang itu ia merasa tak berkutik. Saat peristiwa itu, keluhnya, untuk mengintip saja seluruh badannya begitu kaku, terlebih harus menghadang & menghentikan bak hero.

Kisah-kisah itu, kalimat-kalimat itu, tiba membabi buta, terus berhamburan di mana pun, di setiap atap rumah siapa pun. Mereka saling bercerita, mengira-duga, saling melempar argumen satu dgn yg lain. Hingga kisah tentang anjing-anjing siluman menyelinap kemana pun.

*****

Kisah tentang anjing-anjing siluman itu tercium pula di dusunku melalui verbal Tarjo Koplo. Banyak orang mengajukan pertanyaan-tanya perihal anjing itu. Kengerian anjing-anjing itu begitu runcing. Setiap dongeng yg berembus mirip bertaring, sehingga siapa saja yg mendengarnya akan panik, bahkan kaku di tempat.

Sejak kabar itu berembus, gue & warga lain merasa was-was & tak tenteram. Setiap malam meski dusun terasa nyenyet, tapi sejatinya tak ada yg betul-betul terlelap.

Malam di dusun begitu sepi dgn masbodoh yg menyengat. Dini hari gue masih terjaga. Entah kenapa perasaanku justru tertuju pada cerita Tarjo Koplo tempo hari. Sebab jarak antara dusun Tarjo dgn dusunku tak begitu jauh. Aku merasa mesti bersiap dgn realita yg akan terjadi kapan pun. Saat ini kami merasa tidak mempunyai opsi lagi selain lebih berhati-hati, menutup pintu & jendela rapat-rapat, serta menyingkir dari segala acara di malam hari. Jika tidak, nyawa taruhannya.

Ketegangan itu seolah memuncak di benakku. Saat tiba di tengah malam, gue merasa ada yg tak beres. Sebab, dlm lamat-lamat risik malam, gue mendengar bunyi-suara ribut. Semakin usang bunyi itu makin keras & jelas. Ada langkah kaki beradu dgn teriakan kalut seseorang. Aku keluar kamar, mengintip dr jendela ruang tamu. Namun sayang, tak satu pun gerak-gerik bisa kulihat kecuali pekatnya malam yg begitu kelam. Hanya terdengar teriakan meluncur, kemudian bergema di langit. Setelah beberapa saat teriakan itu makin lirih, makin menjauh. Diikuti tindakan kaki yg ikut lenyap ditelan jarak. Membawa lengking parau seseorang yg entah siapa.

  Hikmah | Cerpen Risda Nur Widia

Aku masuk ke kamar, menjangkau pundak istriku. Suaraku lirih mengoyak lelap. “Bu, Bu, ada bunyi ribut?”

Puji mengucek kantuk di kelopak matanya sambil berbisik, “Lamat-lamat, Pak. Sepertinya tak jauh.”

“Jangan-jangan ada yg diculik anjing ya, bu?” Tak ada tanggapan dr bibir Puji. ia cuma membisu, mirip dibungkam kekalutan.

Setelahnya, situasi malam kian mencekam, kami dipasung keadaan. Seolah ada yg menjambak gelap, menggorok lelap di mataku, mau tidak mau kami pun tersadar. Banyak pikiran yg hinggap di kepala, & tak mampu pula kulepaskan.

Saat itu pula, gue teringat insiden di dusun Tarjo, satu hari kemudian ada tiga orang lagi yg secara tiba-tiba hilang, semuanya pria. Kebetulan salah satu di antaranya ialah sahabat baikku di organisasi cowok desa, Suliman Kroto namanya. Aku tak menyangka Suliman Kroto akan bernasib sial. Menjadi korban keganasan anjing itu. Padahal Suliman Kroto yaitu panutanku dlm berorganisasi selama ini.

Suliman yg dikenal berbakat & cakap mengatakan di organisasi kepemudaan itu, ternyata tak lagi dapat tercium jejaknya. Barangkali itu pula karena ia tak hati-hati. Sejak kabar anjing-anjing siluman mencuat, Suliman Kroto memang masih sering pulang larut malam, sering rapat di sana-sini & berkumpul anggota yg lain. Sedangkan saya, semenjak beberapa hari ini, sudah tak pernah keluar rumah tatkala malam hari.

Setelah kabar perihal Suliman Kroto itu, gue pun menagih peristiwa itu, tetapi tak satu pun orang tahu. Tak ada yg dapat memperlihatkan balasan. Yang terperinci, sesudah ketiganya lenyap, katanya, selang beberapa ketika ada warga yg mendengar salak anjing begitu melengking, saling bersahutan, seperti suara senapan yg mengejar puluhan kali.

  Jaket Ayah | Cerpen Eep Saefulloh Fatah

“Apakah yg tadi anjing-anjing itu. Apakah mereka sudah hingga di kampung ini?” Aku berisik dlm hati.

Mengingat peristiwa Suliman Kroto tempo hari, rasa cemas di hatiku kian menjadi-jadi. Aku gemetar. Dengan perasaan semrawut, gue berusaha keras bersikap santai di samping istriku. Itu satu-satunya hal yg bisa kulakukan supaya ia mampu damai. Sebab gue percaya, ia pula mencicipi kekhawatiran yg hebat. Beberapa waktu, napasnya terasa berat & mengejar.

Lamunanku pun tiba-tiba buyar tatkala mendadak mendengar langkah kaki di halaman rumah.

Braaak,” Jantungku berdegub kencang.

“Bu?” Aku berbisik.

Suaraku gemetar. Aku terkesiap. Jantungku kian berdegup. Napasku mengejar tak karuan.

Aku mendengar pintu digedor, lantas didobrak. Beberapa langkah kemudian, kaki itu dgn cepat mencapai kamarku.

Paaakkk,” suara Puji meledak.

Dalam remang-remang itu, mirip ada yg menarik tanganku, tubuhku kemudian diseret keluar. Beberapa dikala kemudian, tiba-tiba ada yg memukul wajahku begitu keras. Aku tersungkur. Mataku gelap. Badanku lemas bukan main. Setelahnya, gue tak mampu mengenang apa pun.

Ketika sadar, gue terkapar di atas rumput liar. Suasana begitu mencekam & gelap. Pekat. Tanganku diikat sangat dekat. Wajahku linu. Badanku nyeri sekali. Dadaku begitu sesak. Semuanya terasa berat. Aku mencicipi ada tangan yg mengangkat badanku. Dalam posisi membungkuk itu, ada suara menyelinap ke telingaku, “Maju sedikit.”

Tiba-tiba terdengar letupan keras sekali, ibarat bunyi salak anjing yg melengking itu. Sesaat kepalaku begitu sakit, seperti ada sesuatu yg merobek & bersarang dlm otakku. Beberapa detik seusainya, malam pekat & hening.

Yang kuingat sebelum kesadaranku lenyap, anjing-anjing itu sempat mengatakan seperti insan. Tarjo & warga mesti tau, tetapi mirip tirai yg terkatup, mendadak semua gelap. Aku ngantuk sekali. (*)