Ramdola menangkapnya. Berita gempar itu nyatanya berhasil menggaet rasa penasaran orang-orang mendatangi warung kopi Mak Sareh. Mereka ingin menyaksikan dgn mata kepala sendiri wujud sejati si makhluk laknat. Mitos yg telah menggegerkan warga sekampung kurun sasi belakangan. Belalak kepetangan itu berebut daerah; seperti apa genderuwo gerangan rupanya.
“Mana sih? Tidak kelihatan ada apa-apanya.”
“Namanya makhluk halus ya tak kasat mata. Tapi ada.”
“Iya, di stoples itu kosong melompong. Tak ada isi.”
“Jangan-jangan nipu.”
“Stres kali.”
“Eh dengar-dengar istrinya ngisi. Kok mampu ya, kan…”
Berlagak abai. Pura-pura tak dengar. Padahal ghibah itulah permulaan musabab ia bersungut-sungut pergi di suatu malam meski cukup lebat hujan mengguyur panas hatinya yg sudah bercampur praduga menuju pondok Ki Mantis guna meneguhkan syak dalam keruhnya benak.
Bagaimana mungkin, dirinya yg mudik cuma dua-tiga kali sekali dlm setengah tahun berlayar tiba-tiba mendapati akreditasi Satim, istrinya, bila ia tengah mengandung buah percintaan mereka yg hanya selintas kepala sepur lewat itu. Apalagi mengenang lima tahun sudah perkawinan berselang tanpa sekali pun arahan tertanamnya benih di rahim.
Genap tiga bulan selesai masa ekspedisi dr Hong Kong, sudah dilihatnya pergeseran yg kentara dlm perangai & bentuk tubuh Satim. Seolah memberi waktu sang suami menerka-nerka kejutan hidup yg selama ini mereka idamkan, di suatu malam yg sejuk sehabis gerimis melepas rindu, Satim tak menunda lagi kabar itu sampai keesokan hari.
“Aku hamil, Mas. Akhirnya..”
Ramdola membisu sesaat. Di antara bimbang & senang, ia peluk Satim dgn pikiran masih melayang.
“Sudah berapa bulan?”
“Seumuran ananda pergi.”
Tanpa sepengetahuan Satim, Ramdola memang pernah memeriksakan diri ke dokter. Sampai dua kali. Ternyata ia punya dilema kesuburan. Tiada vonis yg lebih jelek bagi seorang lelaki matang selain tertutupnya kehendak beroleh keturunan. Aib itu ditanggungnya sendiri, terpupuk, & menyemai dlm waktu. Mendengar kalimat Satim, otaknya gaduh. Ia tak mau memercayai gelapnya bisikan-bisikan di benak yg deras menyudutkan istrinya sendiri.
Tetapi bisikan itu kian-hari semakin kencang. Penjelasan takdir apa yg mampu mendamaikan pertentangannya dgn ilmu modern selain hal-hal gaib, yg tentu saja tak membutuhkan usulanempiris apa pun, menyorongkan niatnya pada sosok yg pernah ia kenal di masa lalu. Seseorang yg sangat ia yakin.
Sebelum kini, Ramdola adalah bujang lugu yg hidup sebagaimana lazimnya perjaka-perjaka seumuran di kampung. Setiap pagi ia membantu Ibu di sawah. Saat siang, giliran bulir-bulir jagung milik Wak Anok mesti ia jaga dr bahaya hama. Ritualnya tak jauh dr urusan sawah & ladang. Hampir tiap malam main gaple hingga larut, tak jarang pula Ramdola iseng-iseng bertaruh. Sesekali menang. Selebihnya pecundang. Upah harian acap menumpang saja hinggap di dompet. Jangankan menabung, mendekati Satim pun tak cukup cuma bermodalkan cinta.
Sampai suatu tatkala ia dengar sang kekasih pujaan hendak dilamar seorang laki-laki dr kota, Ramdola gegas mencari jalan pintas terampuh untuk menangkalnya. Solusi yg didapat dr obrolan usil sobat segaple mengerucut pada satu nama: Ki Mantis. Orang asing dr seberang. Mitosnya, ia punya aji-aji manjur pengentas segala kasus asmara & rezeki. Cocok! Tak berulur-pikir, ia kunjungi kediaman Ki Mantis di bukit Hamalangin.
“Kau ambil secentong air dr tujuh sumur di tujuh kampung yg berbeda. Lalu guyur ke kepala ketika malam Jumat. Sambil baca ini,” tutur Ki Mantis memberi secarik kertas bertuliskan sesuatu. Bibirnya lalu komat-kamit tak keruan.
Rapalkan mantra tujuh puluh kali sebelum mandi. Jangan potong kuku. Jangan dekati jemuran. Tujuh hari mutih. Pantang minum susu. Itu perintahnya.
Saat hendak pamit, Ki Mantis berdeham, “Tuah kecanggihan sering kali meminta musibah. Cukup sedikit tumbal untuk menolak bala.” Ramdola mengetahui. Ia cuma kelupaan. Beberapa lembar uang berpindah tangan.
Tak ada salah mencoba, pikirnya. Angan-angan tinggi mempersunting Satim seraya perbaikan nasib nyatanya lebih keras dr setitik kejernihan akal. Secepat tupai derap kakinya melangkah liar. Di sepanjang jalan, tak luput mantra-mantra itu mulai ia rajah di luar kepala, sambil membayangkan masa depannya yg indah bareng Satim. Selepas membelah titian arus sungai kecil yg tak kunjung dibuatkan jembatan itu, ia mendengar rambat suara dr kejauhan. Tepatnya di warung Mak Sareh. Lambaian tangan mengundang.
Beberapa orang bercengkerama sembari seruput kopi & singkong; tradisi orang kampung sehabis letih bertempur dgn terik. Dari sekian wajah yg diketahui , satu orang menyita perhatian. Sosoknya serasa asing tak asing.
“Tampak semringah rautmu Ramdola. Masih ingat aku?” ujarnya mendekat.
“Jatmika?”
Putra pertama Mak Sareh baru pulang dr rantau rupanya. Sudah sekian tahun berpisah sejak ingatan masa kanak bermain gundu atau boi-boian, ia pergi ke ibu kota ikut pamannya & belum pernah kembali. Si ahli egrang itu kini terlihat resik, cemerlang, & berhasil.
Keduanya langsung asyik mengenang masa kemudian. Membicarakan perkembangan desa, keluarga, & sobat-sobat yg lain. Membicarakan Satim. Jatmika hafal persis kesukaan Ramdola pada Satim semenjak usia masih anabawang. Menanyakan hal itu, wajah Ramdola berubah lesu. Tanpa didesak, ia menceritakan sendiri perihal Satim yg akan dilamar oleh orang lain. Perihal dirinya yg tak jauh akan selsai sama seperti sobat sebaya yang lain di kampung ini, yg terlihat tak prospektif pergantian apa-apa lagi.
Mendengar keluh-kesah itu, Jatmika memberikan sesuatu.
“Tak janji, tetapi gue bakal tanyakan ke bos, apa ada daerah kosong buat kau mampu bekerja di kapal. Tunggu saja kabar.”
Selang beberapa pekan kemudian isu baik itu datang. Ramdola mesti ke ibu kota. Ia diterima melakukan pekerjaan sebagai ABK di suatu kapal tanker. Pekerjaan yg menuntut kekuatan fisik. Bukan problem memiliki arti untuk Ramdola. Upahnya sepadan. Penghasilannya berlipat-lipat lebih besar dr sebelumnya. Di maritim lepas sewaktu malam bergemintang, ia tercenung di jendela kabin.
“Mungkin inilah jawaban tuah azimat itu.” Pikirannya tertuju pada Ki Mantis, sesudah ia tuntas menjalani ritual yg diperintahkan beberapa hari sehabis pertemuannya dgn Jatmika.
Sosok itu pula yg mesti ia kunjungi sesudah pengesahan Satim belum usang ini. Cukup senang Ki Mantis mendapati Ramdola yg telah berganti semenjak terakhir berkunjung. Awalnya lupa-lupa ingat. Setelah diceritakan, ia tertawa.
“Sudah jadi pegawai kau kini.” Ramdola menyeringai satir.
“Kali ini ada insiden genting apa sampai kau mesti kembali menemuiku?”
Diungkapkanlah kegusaran hati itu. Ramdola ingin diperlihatkan kebenaran mutlak perihal benih siapa sebenarnya yg tertanam di perut sang istri mengenang lima tahun lamanya ia divonis mandul. Pikiran gelapnya menyampaikan dua hal. Jika tak disebabkan campur tangan makhluk halus yg pernah ia dengar dr mitos orang kampung, berarti Satim sudah main serong!
Ki Mantis mengambil posisi, kemudian komat-kamit di antara kepulan asap kemenyan. Matanya merem melek, sesekali berdeham kecil mirip buang dahak.
“Tak pelak lagi. Ini perbuatan genderuwo!”
“Hah, jadi benar itu benih genderuwo?!”
“Dedemit itu mampu menyentuh, bahkan mirip insan untuk lampiaskan nafsu bejatnya. Makhluk cabul berbulu. ia niscaya menyaru dirimu sebelum kau pergi berlayar. Peniruan yg sempurna.”
“Apakah ia masih ada di sekeliling rumahku? Bisakah ia ditangkap, Ki?”
“Biasanya sesudah berhasil memperdaya satu korban, ia akan mencari korban yg lain. Sebentar.” Ki Mantis komat-kamit lagi. Matanya merem melek. Kemudian memberi titah mirip biasa, “Kau ambil secentong air dr tujuh sumur di tujuh kampung yg berlawanan. Lalu guyur ke kepala saat malam Jumat. Sambil baca ini. Penerawanganku menampilkan ia tengah bermukim di sisi ajaran sungai Cirambuh. Di atas kerikil kali hitam terbesar. Masukkanlah ke dlm stoples beling sehabis kau rapal aji-aji yg kuberikan. Tandanya berhasil bila beling itu terasa hangat di telapak.”
“Caranya?”
“Buka penutup stoples, ia akan terisap sendiri laiknya vacuum cleaner.”
Tak berlama-lama, Ramdola undur diri. Kali ini ia tak lupa. Sebuah amplop sudah disiapkan. Namun Ki Mantis berujar, “Bisa ditransfer saja, sekarang?”
Ingin dibantingnya stoples itu hingga hancur. Tapi Ramdola keburu menahan Satim dr tempatnya.
“Sudah gila kamu! Menuduh gue seenaknya?”
Mak Sareh menginformasikan kabar itu pada Satim, sehari sehabis Ramdola menciptakan gempar warungnya. Ramdola yg kedapatan berlaku ganjil di segi sungai, menerangkan secuil argumentasi pada orang-orang perihal tindakannya tersebut. Penjelasan yg hanya menghasilkan pergunjingan.
“Aku tak menuduh. Ini bukan salahmu. Ini kerjaan makhluk brengsek itu. Aku sudah berhasil menangkapnya, sudah selesai.”
“Sama saja! Ternyata ananda tak hanya naif, tapi pula bodoh!”
“Jaga ucapanmu.”
“Mana kewarasanmu, kurang pandai! Ini darah dagingmu. Kau kira dukun gila itu melampaui kuasa Tuhan?! Eling. Kamu cuma ingin membuat puas imajinasimu sendiri.”
“Semuanya terjadi, Sayang. Semua keinginanku tercapai. Kamu tak mengetahui.”
“Dengar. Aku menerimamu dahulu lantaran kutahu perasaanmu tulus. Aku mengenalmu semenjak kecil. Aku kira setelah menikahi orang yg kita sayangi, seorang lelaki dapat mengganti perilaku buruknya. Dan itu berlaku untukmu. Aku tahu kebiasaanmu yg suka berjudi. Tapi gue pula tahu ananda orang yg rajin. Pekerja keras. Semua yg didapat sekarang, lantaran ananda bekerja keras. Takdir-Nyalah yg mempertemukanmu dgn Jatmika. Bukan lantaran mantra si dukun gila!”
Suasana hening. Kata-kata karam di kepala masing-masing.
“Tapi gue mandul, Satim.” Ramdola karenanya menyahut, hampir tak terdengar.
“Apa yg tak mungkin di dunia ini?”
“Semuanya mampu & harus terjadi lantaran suratan. Kamu yakin padaku, kan?” tutur Satim merangkul Ramdola.
Ramdola menanar. Dilihatnya kembali stoples itu. Kosong. Tak berasa apa pun di telapak tangannya. Angin dr luar menusuk, seolah berbisik sesuatu. Satim menatap sepenuh harap. Tiba-tiba Ramdola berdiri meraih stoples itu, beringsut pergi.
“Mau kemana?”
“Ke bukit Hamalangin. Ki Mantis. ia mesti membuat isi stoples ini faktual. Jika tidak, ini penipuan namanya. Sudah kubayar mahal-mahal!”
Satim mematung, tercengang memandang kelakuan suaminya. (*)