Kakek dan Nenek Misterius | Cerpen Khairul Anam

Suatu hari, tatkala gue berlibur dgn Mela istriku, gue merasa kakek & nenek yg gue lihat tadi di dekat pintu masuk, sedang mengikuti kami. Mereka mengikuti kami yg berjalan melewati beberapa anak tangga menuju jeram. Mulanya gue merasa biasa, namun sehabis kami berlangsung kemana-mana & mereka mengikuti kami, kami merasa ada yg ganjil dgn kakek & nenek itu.

Aku mengajak istriku untuk duduk dahulu di bersahabat riam. Memandangi air terjun, menjajal mengalihkan perhatian supaya tak mengamati kakek & nenek yg sedari tadi terus mengikuti kami.

Mereka pula ikut duduk, dgn jarak yg agak jauh. Sesekali, gue mendengar mereka bercanda layaknya pasangan muda. Terdengar pula, kurang jelas mereka membahas kami sambil menertawakannya. Istriku pula mendengar hal yg sama, tatkala gue bertanya, “Apakah ananda mendengar mereka membahas kita?”

Sempat muncul niat memarahi mereka karena menganggu waktu kami. Tetapi, setelah ku pikir ulang, dr bukti & sikap saja mereka itu tak salah. Mereka pula pengunjung disini, tentu berhak menerima hal yg sama dgn kami meskipun mereka sudah tua.

Istriku beranjak lagi, ia memilih daerah yg agak jauh dr mereka. Ia berlangsung ke batu yg pas buat kami berdua. Batu itu terletak sangat bersahabat dgn penderasan. Sehingga kami yg duduk di dekatnya, sering terkena siratan airnya. Sejuk, & menyenangkan kata istriku sambil menengadahkan kedua tanganya, memuat siratan air lalu membasuhkan ke parasnya.

Namun lagi-lagi, kakek & nenek itu duduk di dekat kami. Malah lebih erat dr sebelumnya. Kali ini, mereka hanya membisu memandang air terjun yg terjun gemericik ke bawah. Tangan mereka bergandengan, kepala sang nenek disandarkan ke pundak sang kakek. Mereka bernyanyi dgn samar-samar gue mendengar; mereka bernyanyi lagu romantis yg sering pasangan muda nyanyikan ketika ini. Lagu yg pula sering gue nyanyikan dgn Mela istriku. Kuperhatikan dgn khidmat mereka dikala ini, sambil memandangi wajah istriku, yg gue rasa, ia menjadi masa kolot terhadap kakek & nenek tadi, mungkin ia lebih kesengsem menikmati penderasan ketimbang mengelola kakek & nenek yg mengikuti kami semenjak tadi.

  Suara di Bandara | Cerpen Budi Darma

Aku yg mulai bosan pula mengamati mereka, menentukan untuk menikmati gerojokan dgn istriku. Ia sempat terkejut kala tangannya gue sentuh, kemudian melempar senyum. Istriku menyandarkan kepala di pundakku.

Beberapa menit kemudian, istriku bernyanyi lagu yg sama, yg dinyanyikan oleh kakek & nenek tadi. Seketika itu pula gue teringat mereka, kualihkan pandanganku ke samping (ke arah kakek & nenek tadi), tetapi tak kutemui batang hidung mereka. Aku cari-cari di sekitar, tak kudapati pula mereka. Kemana mereka? Apakah mereka menghilang atau pergi? Aku terus bertanya-tanya sambil galau mencari mereka. hingga-sampai membuat istriku geram.

“Sudahlah duduk sini, jangan mengurusi oranglain.” Katanya dgn wajah sebal, menarik tanganku.

Aku teringat perkataan orang sini waktu di parkiran. Mereka membincangkan hal yg ganjil, yg sering terjadi di jeram. Mereka sering melihat hewan abnormal, mirip ular yg bertanduk di kepalanya, atau menyaksikan simpanse dgn ukuran besar. Ada pula yg pernah menyaksikan sosok makhluk halus yg mirip manusia, biasanya membisu di akrab jeram, jenisnya; ada pria dewasa, ada perempuan, & ada pula belum dewasa. Namun mereka tak menyebutkan ada kakek & nenek di riam ini.

Mungkin, gue pula mengalami hal yg sama seperti mereka, diperlihatkan tampak hantu dlm bentuk kakek & nenek. Mungkin mereka pasangan yg mati bunuh diri di teladas ini, atau mungkin mereka korban pembunuhan yg terjadi pada masa kemudian, yg mungkin pula pelakunya belum ditangkap, sehingga mereka keluar meminta tolong pada kami.

Tentu kemungkinan-kemungkinan itu cuma bisa gue pendam. Aku menanyakan pada istriku sebetulnya, tetapi ia malah mengataiku.

“Sudahlah, jangan kebanyakan berkhayal, marilah kita nikmati liburan ini,” katanya sambil memeluk tanganku.

  Rumah Impian | Cerpen Abdul Hadi

Istriku tidak mau tahu, & tak mungkin gue bertanya satu per satu pada pengunjung lain, & tidak ingin pula gue mengajukan pertanyaan hal ini pada penjaga wisata penderasan ini. Mereka niscaya akan tak peduli denganku. Biarkan, gue penasaran pada kakek & nenek itu, memendamnya sendiri atau mencari tahu sendiri tetapi bukan ketika ini tepatnya, sebab gue sedang dgn istriku, ia pasti tak mau membantuku, tentu ia pula akan melarangku.

Kami pindah kawasan ke lebih atas sesudah istriku bosan. Dengan membawa tas punggung yg berat, gue menuruti keinginannya. Kami berhenti di sebuah tempat yg di depannya menghidangkan panorama yg indah. Ayunan pula turut mengisi tempat itu. Di depan ayunan, ada pula tempat duduk yg cukup untuk dua orang & istriku menentukan duduk di kawasan itu.

Tak berselang lama setelah kami duduk. Kakek & nenek itu timbul lagi. Tak tahu darimana ia muncul, ia sudah sangat akrab dgn kami & terus melangkah kian erat. Kami sempat cemas, hendak lari. Tetapi kakek & nenek itu melarang kami, katanya, mereka hanya meminta tolong.

“Tolong antar kami pulang nak,” kata sang kakek memelas, menciptakan gue & istriku saling lempar tatap, ragu.

Mereka menerangkan bila mereka bukanlah orang yg hendak berbuat kriminal pada kami. Memang mulanya kami sempat mewaspadai mereka, lantaran seringnya kami mendengar modus kriminal memakai kakek & nenek yg meminta dikirimkan pulang, kemudian setibanya di sana, sudah banyak preman menunggu yg siap menodong & merampok kami. Tetapi sesudah melihat matanya, pula parasnya yg memang sungguh-sungguh meminta tolong, kesudahannya kami pun meminta mereka untuk duduk dulu.

Istriku menanyainya banyak hal. Mereka mengaku kehilangan arah setelah berkali-kali mencari jalan pulang. Istriku terus mengulang, mencoba memancing ingatan mereka, namun tetap saja mereka mengatakan “lupa” pada kami.

  Anjing Belanda | Cerpen Yuditeha

Dengan demikan adanya, gue mulai tahu jikalau kakek & nenek ini yaitu manula yg sudah pikun. Mereka cuma hafal satu sama lain saja, selain dr itu, mereka tak ingat apa-apa.

Wilayah ini cukup luas untuk kujelajahi satu per satu mencari rumah kakek & nenek tersebut. Lagi pula, mereka tak menyebutkan alamat atau sedikit saja kata atau kalimat yg mampu membantu kami menemukan rumah mereka. kami galau, sejurus kemudian, gue ber-ide, menenteng mereka ke kantor polisi.

Mereka setuju dgn usulku. Istriku sebenarnya tak setuju, sebab kami hanya menenteng satu motor, pasti diantara kami ada yg menyerah, & tentu dialah yg harus menyerah karena tak mampu naik motor. Aku katakan padanya, gue antar jemput satusatu, ia pun mengangguk setuju.

Tanpa sepengetahuan orang lain, gue mengirim mereka ke kantor polisi. Setelah semua tiba di kantor itu, mereka izin ke kamar mandi berdua. Aku ingin menolong mereka, namun mereka menolak. Sebelum mereka izin, mereka berpesan pada kami biar tak saling mengedepankan ego supaya mampu utuh selamanya.

Mereka bilang, “pokoknya salah satu diantara kalian harus ada yg mengalah. Mungkin ananda selaku lelaki mesti banyak mengalah, manjakan istrimu, itu akan memperindah masa renta kalian.” Kata mereka sembari menunjukku.

“Masa bau tanah tak ada yg tahu kek, nek,” kataku.

“Kalian sudah tahu.”

Sampai berjam-jam kemudian, bahkan hingga beberapa ahad & entah berapa usang lagi, mereka tak pernah kembali. Mereka memang pergi ke toilet & gue menyaksikan badan kurus mereka menghilang ke balik pintu toilet.

Sampai lebih dr setengah jam, saya, istriku, & dua petugas kepolisian memeriksa toilet, tak ada siapapun disana. Kami pun pulang & tak berhenti memikirkan ucapan terakhir kakek & nenek itu. Kami tersenyum tatkala membayangkan kemungkinan asing ini, bahwa betapa ternyata mereka ialah kami di masa yg berlainan. (*)