Macet | Cerpen Alif Febriyantoro

Sudah lebih dr tujuh jam saya berada di tempat perbatasan antara Bondowoso-Situbondo. Senja memang sudah mengusir biru, namun senja tak bisa menghalau seluruh kendaraan yg mendadak tak bergerak. 

Berbagai jenis kendaraan ada di sini; motor, kendaraan beroda empat, pikap, bus antarkota, truk kecil, truk pengangkut tebu, truk gandeng, truk kontainer, truk Pertamina, bahkan ambulans & mobil kebakaran pun tak bisa lewat, semua terhambat. Semua yg hidup ada di sini; janin, bayi, balita, anak kecil, bocah bau kencur, akil balig cukup akal, sepasang kekasih, suami-istri, bencong, om-om, tante-tante, duda, janda, kakek-kakek, nenek-nenek, sepasang kakek-nenek. 

Semua golongan pun ada di sini; mahasiswa, pengangguran, pebisnis, polisi, politikus, serdadu, petani, wartawan, kiai, ustaz, ustazah, pencopet, jambret, preman, mantan buronan, semua mengalami nasib yg sama. Semuanya setara. Dan dlm kemacetan ini, kaya & miskin akhirnya dilahirkan kembali menjadi saudara kembar.

Lalu, bagaimana bila kemacetan ini berlangsung seumur hidup?

Semua orang kebingungan & bertanya-tanya, mau melalui mana? Di sebelah kiri ada sebuah jalan yg nantinya akan melintasi kawasan perkampungan. Tetapi jalan itu pun sudah penuh dgn kendaraan. Sedangkan di sebelah kanan terhampar sungai & jurang.


Lagi-lagi pertanyaannya tetap sama, mau lewat mana? Sepertinya memang tak ada kendaraan yg bisa melalui kecuali harus berjalan kaki. Tetapi siapa yg mau merelakan kendaraannya tertinggal di jalanan? Tak ada. Karena mungkin siapa saja masih memiliki ajaran yg sama, bahwa kemacetan ini niscaya akan berlalu, entah hingga kapan.

Suara klakson dr aneka macam jenis kendaraan bersahut-sahutan. Melayang-layang bersama angin. Mendekap & memekakkan telinga. Sungguh siapa pun sudah menjadi gila. Semua depresi. Bayi-bayi menangis, anak-anak menjerit & mengeluh. Sepasang kekasih berkelahi ahli. Sepasang kakek-nenek tampaknya ingin menuntaskan kehidupan alasannya sudah merasa bosan dgn semua yg bernama cinta.

“Oek…oek…!”

“Ma, kapan sampai rumah? Terus nanti mau tidur di mana?”

“Pa, Raina kebelet pipis! Rumah masih jauh, ya? Uh….”

“Ah, ananda gak becus jadi laki-laki! Kita putus! Mending gue cari pacar yg jadi pilot aja, biar gak macet-macet gini!”

“Tolong jangan pergi… gue masih mencintaimu dgn sepenuh kenangan.”

Setiap orang tak akan pernah lepas dr duduk perkara. Dan problem akan menciptakan seseorang menjadi kebingungan. Dan kebingungan akan menyedot otak. Dan tatkala otak bekerja keras, pastinya perut akan berbunyi alasannya adalah kelaparan.

Dan jikalau ada yg bertanya tentang lapar, lebih baik tak usah ditanyakan. Karena siapa pun yg tinggal di daerah perbatasan ini sudah lebih dulu bergerak & menyaksikan potensi . Mereka berlomba-lomba memasarkan aneka macam macam masakan. Dari yg termurah hingga yg begitu mahal. Ada pula yg menyediakan jasa kamar mandi. Ada yg memberikan jasa penginapan di rumah masing-masing.

  Mata, Air, Hujan | Cerpen Sungging Raga

Begitulah, diperbatasan ini pun malah lebih mirip mirip tempat rekreasi. Mungkin sejenak, kemacetan ini memang harus dilupakan.

Kenyataannya, orang-orang tak kunjung berhenti mengeluh. Maka saya mencoba keluar dr kendaraan beroda empat, menghampiri salah satu orang yg terlihat sungguh panik & kebingungan.

“Bahaya! Bahaya! Ini gawat!”

“Apanya yg bahaya?”

“Coba lihat ke samping, kereta pula ikut macet.”

Hah!? Benar. Saya melongo. Ternyata kereta pula bisa mengalami macet.

“Dan bukan cuma di sini yg mengalami kemacetan.”

“Terus?”

“Coba lihat gosip! Semua perbatasan kota di seluruh Indonesia pula mengalami hal yg sama.”

Oh, bahu-membahu apa yg sudah terjadi? Lantas saya kembali masuk ke dlm kendaraan beroda empat & menjajal membuka handphone untuk membaca sendiri info ihwal kemacetan yg katanya dialami di seluruh kota di Indonesia.

Saya langsung buka Youtube. Saya cari satu video dgn nama kota Bondowoso- Situbondo. Dan sungguh, hal yg tak masuk nalar sungguh-sungguh terjadi. Dalam video itu, bus melaju kencang sebelum karenanya ambruk dgn sendirinya, sempurna di sebuah belokan perbatasan kota. 

Anehnya, sesuatu yg ditabrak itu tak ada. Abstrak. Semacam menabrak kumpulan angin besar tetapi sungguh halus sehingga terlihat begitu bening & transparan. Saya melongo melihatnya. Dan lebih melongo lagi tatkala saya melihat semua video di perbatasan kota-kota lain ternyata pula mengalami hal yg sama.

Inikah keajaiban? Atau inikah peristiwa? Bencana macam apa yg dapat menyerang seluruh tempat perbatasan sekaligus? Atau di seluruh dunia?

“Astaga! Indonesia sudah terpecah belah, Bung!”

“Kota-kota seperti ingin bangkit sendiri!”

“Sungguh gawat pemirsa!”

“Bung Hardi, kira-kira apa yg bisa dijalankan oleh pemerintah?”

Sungguh saya tak terpesona dgn info yg terlalu berlebihan merespon keajaiban ini. Bahkan tatkala memang benar Indonesia terpecah, saya tak peduli. Toh, saya tak melakukan pekerjaan pada negara. Atau tatkala memang kota-kota sudah bangun sendiri, saya pun tak peduli. Saya memang memiliki suatu rumah di Situbondo. 

Di sana, saat ini ada seseorang yg sedang menanti kedatangan saya. Ya, istri saya. Ia menunggu bukan sebab rindu, melainkan ingin mengorganisir somasi cerai supaya cepat berlalu. Tak jelas kenapa istri saya itu minta cerai. Untung saja saya tak mencintainya. Entahlah. Sepertinya hidup saya ini memang tak jelas. Orang tua pun tak terperinci siapa. Saya hidup sendiri semenjak nenek saya—bukan nenek kandung tetapi merawat saya semenjak bayi—meninggal tatkala saya masih bocah. Kata dia, saya yaitu bayi menangis yg jatuh dr langit ketika bulan purnama.

Ah, tentu itu bukan kisah yg bahu-membahu. Jelas, dahulu saya yaitu bayi yg dibuang oleh orang tuanya. Tetapi sudahlah, saya tak akan memperpanjang dongeng wacana masa kemudian. Toh sekarang, saya sudah tidak memiliki siapa-siapa yg dirasa penting lagi & pula tak ada keterkaitannya dgn kemacetan yg saya alami ketika ini.

  Cerpen: Jujur Itu Sungguh Mulia

Saya cuma menginginkan ketenangan. Itu saja. Sementara situasi di sini semakin memburuk. Ricuh. Tak karuan. Ada yg tawuran. Ada yg berebut tempat. Keadaan memang sudah berganti total. Dalam hal ini, keteguhan sudah hilang dr badan insan. Seorang ustadz frustasi. Seorang kiai pun begitu adanya.

Saya tak akan mendustai diri sendiri bahwa saya pula sudah kehilangan ketekunan. Maka tanpa banyak berpikir lagi, saya lewati kendaraan beroda empat. Berjalan ke mana saja, tak terperinci ke mana tujuannya. Sedangkan di semua perbatasan sudah resmi menjadi jalan buntu. Dan itu mempunyai arti sudah bisa disimpulkan bahwa saya benar-benar terjebak di kota ini, bareng orang-orang yg pula mengalami nasib yg sama.

Dan saya rasa, selama waktu tetap bergerak, semua orang akan berguru bagaimana caranya menjadi sendirian & tak akan ada lagi peristiwa tentang meninggalkan atau ditinggalkan.

*****


Untung saja saya sudah menjadi sendirian sebelum keajaiban ini timbul. Kaprikornus saya tak perlu mencicipi apa itu kehilangan. Saya cuma butuh bergerak. Berpindah dr suasana ke suasana. Sempat saya mengkalkulasikan pergerakan matahari setiap harinya. Dan ternyata sudah tujuh hari saya mengembara. Selama tujuh hari ini saya belum tidur sama sekali. Entahlah saya pula tak tahu.

Yang niscaya, saya cuma beristirahat sebentar, bengong, kemudian berjalan lagi. Melewati perkampungan, melewati persawahan, melalui sungai, mendaki pegunungan, menuruni bukit, buang air kecil & besar di sembarang tempat, makan apa saja yg bisa disantap, minum apa saja yg bisa menghilangkan haus, terus seperti itu sampai kesudahannya saya tiba di perbatasan antara Bondowoso- Banyuwangi.

Hari sudah sore tatkala saya berada di puncak tertinggi pegunungan ini. Saya perhatikan suasana sekitar. Sunyi & sungguh-sungguh sepi. Sejenak saya merasa tenang tatkala menghirup sejuk dedaunan yg bercampur dgn cahaya senja kemerah-merahan yg menyanggupi seluruh ruang di mata saya. Sungguh indah. Sungguh menghibur. Dan ketenangan ini menciptakan saya sepenuhnya tak peduli, apakah macet itu masih berlangsung atau kondisi sudah kembali mirip semula.

  Tikus dan Manusia | Cerpen Jakob Sumardjo

“Sudah siap?”

Tiba-tiba bunyi berat dr belakang memecah lamunan saya. Tentu saja saya terkejut . Saya menoleh. Astaga! Seorang laki-laki dgn jubah hitam perlahan menghampiri saya. Astaga! Wajahnya bercahaya. Belum selesai menyudahi rasa kaget yg saya alami, dgn cepat ia menggamit pundak saya kemudian membentangkan sepasang sayap & menenteng saya melayang. Apakah orang ini gila? Mana mungkin orang gila punya sayap?

Ketika berada di ketinggian, sejenak saya mirip merasa kehilangan kesadaran. Ingatan-ingatan saya seperti dicabut dgn paksa. Saya pun secara tiba-tiba lupa cara berbicara. Lidah saya terasa kelu, kepala saya terasa ngilu. Dan tatkala saya sudah berada jauh di atas permukaan, tiba-tiba saja sorot mata saya bergerak sendiri menuju ke suatu kendaraan beroda empat yg terbalik & terlihat hancur tak karuan. 


Oh, kendaraan beroda empat itu telah menyebabkan kemacetan di sekitarnya. Di sana pula terlihat dgn terang badan seorang lelaki yg terbaring kaku bareng kerumunan orang yg sibuk memandanginya dgn kemirisan. Dan entah kenapa, dr kerumunan orang-orang itu, hanya ada satu orang wanita yg mirip sungguh saya kenal. Saya pun menjajal memutar ingatan. 

Namun sungguh, saya tak mampu mengenang. Siapakah wanita itu, yg air matanya terus mengalir, melewati pipi, ke dagu, hingga alhasil jatuh satu demi satu lantas membasahi sebentuk kepala yg telah terpisah dr tubuhnya yg kaku & berd*rah?

Sedangkan di langit, senja & darah tak ada bedanya. (*)