Sepanjang tepi kali dr Sagan ke Bulaksumur, belum dewasa laki-laki yg sudah sukses mendapatkan banyak ikan, melangkah ke utara sembari meneriakkan yel.
pring reketeg
gunung gamping ambrol!
dasar ati mantep
nyoblos marhen jempol!
jempolé ….
Dari dlm rumah, orang-orang tua maupun muda menghunus jempol.
“Hidup marhen!” Kata mereka.
“Hidup marhén!” Sahut anak-anak kecil itu.
Terlihat baliho besar bergambar banteng menyeruduk di atas gerbang kampung. Orang-orang yg baru saja mendirikannya melihat gerombolan kanak-kanak itu melalui mereka.
“Hoi! Ngirik ya? Dapat banyak?”
Seseorang menengok bekas kaleng biskuit Amerika yg dipeluk anak paling kecil. Tentu saja anak paling kecil senantiasa bertugas membawa kaleng itu. Anak-anak berbadan terbesar memimpin di depan, memegang irik ke bawah semak-semak di tepi kali, merjejak-jejak semak semoga ikan-ikan di bawahnya mengelak & dijebak irik itu.
“Kok banyak céthul-nya?”
“Terbawa saja Mas, itu banyak wader-nya, malah ada kuthuk dan lélé juga.”
Orang itu menentukan lagi.
“Wah, iya, malah ada welut juga,” katanya, tapi terus mengacungkan jempol, yg semula dikira bawah umur memuji mereka, meski ternyata bukan.
“Hayo! Marhen apa?”
Serentak disambut.
“Jempoooollll!”
Disambung dgn yel yg sudah dihayati bawah umur itu dgn sarat semangat.
………………
jempolé jempol gajah
gajahé gajah bengkak
abuhé dientup tawon
tawone tawon endas
endasé endas banteng
banténgé banteng édan
édané ditutuk palu
palu ariiiiiiiit
pé-ka-i ayo i
iwak babi ayo bi …..
Lantas orang itu mengepalkan tangan meski yel itu belum usai.
“Ganyang pé-ka-i!”
Yang eksklusif saja bersambut.
“Ganyang pé-ka-i!”
“Hidup marhen!”
“Hidup marhen!”
Anak yg paling kecil masih mengulang-ulang yel itu dgn suara rendah ke dlm rumah, sambil menenteng kaleng bekas susu bubuk berisi céthul lima ekor. Hasil perburuan mereka memang dibagi, & selaku anak terkecil ia mendapat ikan dgn kasta paling rendah.
Ia masih menggumamkan yel pelan-pelan sesudah memadukan cethul-nya ke bak air di samping sumur. Sudah ada sejumlah ikan yg lain di situ, hasil perburuannya saban hari selama libur sekolah. Liburan yg telah diperpanjang, alasannya sebagian guru tak boleh mengajar lagi. Sebagian bahkan semenjak lama tak pernah muncul, sesudah dijemput menjelang dini hari.
Dengan tubuh menggelantung di bibir kolam, anak itu menyaksikan ikan-ikan berenang di dasarnya. Kakinya berayun & diperhatikannya segala pergerakan ikan-ikan itu. Ia berdendang pelan.
Njer-geeeeeenjer….
“Heh! Sudah dibilang jangan nyanyi itu lagi!”
Terdengar suara di belakangnya.
“Bisa bikin celaka kita semua.”
Ia meloncat turun. Ibunya timbul menenteng ember & menurunkan tali sumur yg embernya hitam.
“Teman-teman pula …”
Ibunya berbisik.
“Hus! Sumur ini dibagi dua dgn tetangga, hati-hati, mereka mampu dengar suaramu kalau nyanyi, banyak keluarga celaka sebab nyanyian itu. Jangan coba-coba!”
“Pak Narto kan baik, Bu.”
Ibunya menghentikan bejana yg meluncur itu sebentar. Berbisik lagi.
“Ssstt! Dengar ya, jangan bicara apa pun ke sebelah,” katanya, “malah jangan bicara apa pun pada siapa pun. Sekarang ini kita tak tahu, siapa yg benar-benar baik.”
Talinya lantas dilepaskan lagi. Terdengar bunyi bejana menjamah permukaan air. Suaranya bergema di dlm sumur.
Anak itu memandang ibunya yg mulai menimba.
“Bu, apa betul Bapak diciduk?”
Ibunya terpana, tetapi tetap terus menimba.
“Siapa yg bilang?”
“Teman-sobat.”
Hanya terdengar bunyi helaan napas.
“Betul Bu?”
Suara roda timba berderit-derit.
“Bapakmu di luar negeri. Berapa kali gue mesti bilang?”
Ember hingga ke atas. Di balik tembok tetangganya menahan napas. Terdengar suara air dipindahkan ke bejana lain.
“Kamu & ikanmu menguasai bak ini,” kata Ibu, “saya harus mengangkut air untuk mandi ke dalam.”
Anak itu tahu ibunya mengalihkan pembicaraan, namun ia tak mendesak lagi.
Ia menyenandungkan nyanyian itu lagi sehabis ibunya pergi. Kali ini cuma nadanya.
Namun di balik tembok seseorang mengepalkan tangan, dgn ungkapan wajah mirip berhasil menangkap lalat.
Suatu sore dr arah Gawang Lorek di Bulaksumur lewat bulevar Dalan Alus mengalir pawai kampanye pemilihan biasa . Sejak siang hari terus-menerus orang meneriakkan yel, & berhojah sembari mengganyang partai terlarang.
Ia ingin menonton pawai itu. Namun sejumlah anak mencegat di depan Rumah Sakit Panti Rapih. Baju mereka tak terkancing, kadang alasannya adalah memang tak ada kancingnya, & ada pula yg tak berbaju. Bau tubuh mereka seperti tak mengenal sabun. Ia sendiri kalau mandi hanya memakai sabun cuci cap tangan bersalaman.
Mereka mengikuti dr belakang tatkala ia melangkah terus.
“He, anak pe-ka-i!”
Ia tak menggubris. Teringat apa kata ibunya tatkala dijemput sejumlah petugas pada sebuah siang. Ibunya berbisik di pendengaran dikala diperbolehkan menciumnya.
“Jangan bandel ya, jadilah anak baik, jaga adikmu.”
Umurnya 7 tahun, adik perempuannya 5 tahun.
“Karena bapakmu yg ke luar negeri belum pula pulang, ibumu mesti bekerja di tempat yg jauh, supaya bisa menghidupi ananda & adikmu,” kata seorang ibu bau tanah yg disebut-sebut sebagai kerabat-jauh, tetapi tak pernah dikenalnya.
Di rumah ibu itulah, di Blimbingsari, ia sekarang tinggal bareng adiknya, tak jauh dr Terban, kawasan tinggalnya yg sudah ditempati keluarga lain.
Anak ibu itu sudah besar, & setiap hari menghunus tinju sebelum keluar rumah.
“Marhen menang!” Katanya.
“Marhen menang!” Ia pun mengacungkan tinjunya.
Merasa dirinya termasuk Marhen, entah apa itu artinya, ia tak takut pada gerombolan belum dewasa tak berbaju maupun bila berbaju belum pasti berkancing itu. Apalagi dr arah depan timbul kawan-kawannya mencari ikan, yg kali ini sebagian berselempangkan layang-layang
“He, pé-ka-i semua kalian! Beraninya sama anak kecil!”
Anak-anak yg mencegatnya secepatnya bubar berlarian, alasannya adalah di antara gerombolan anak-anak yg menyerbu ini terdapat anak-anak yg berbadan lebih besar.
“Dasar pengecut!”
Tapi anak-anak yg berlarian itu pun menyahut.
“Ke sini kalau berani!” Sebagai perjuangan memancing ke dekat kawasan tinggal mereka.
Namun bagi belum dewasa pun siasat ini terlalu mudah dibaca.
Anak yg badannya paling besar merangkulnya.
“Jangan takut,” katanya.
Gerombolan anak-anak yg senantiasa mengembara bareng ini, ngirik ikan sepanjang sungai dr Bulaksumur ke selatan hingga Sagan & ke utara melewati Bong sampai Selokan Mataram. Mereka tahu belaka apa yg sudah dialami kawan terkecil itu.
Pawai kampanye tiba-datang saja mendekat dgn yelnya yg rampak.
………….
bintang sabiiiiiiit
masyumi ayo mi
minakjinggo ayo nggo
nggodok tela ayo la
landa gendeng ayo ndeng
dengkul jaran ayo ran
ranté kapal ayo pal
palu ariiiiiittttt….
Anak-anak itu mengikuti pawai hingga perempatan Kotabaru, ikut merayakannya dgn bergairah.
“Marhen menaaa-ang! Marhen menaa-ang!”
Suatu malam, tatkala terbangun, anak ibu bau tanah itu dilihatnya mematikan radio. Bersama adiknya, ia tidur di atas tikar diruang tengah, karena memang tak ada kamar lain. Ibu tua itu memuat belum dewasa lain yg orangtuanya diciduk. Kaprikornus kamar-kamar lain sudah penuh. Di ruang tengah itulah terletak radio Grundig yg besar.
“Hhhh ….” Terdengar anak ibu itu mendesah.
“Ibu bilang pula apa,” kata ibunya, “politik itu ada musimnya, tak ada partai yg bisa jaya selama-lamanya. Ingat saja nasib bapakmu.”
“Tapi Golkar ini partai saja bukan Bu, kok mampu menang?”
Meski memejamkan mata & tengkurap di tikar, anak itu memasang telinganya.
“Namanya zaman sudah berubah, Gus, sekarang musimnya bukan isu terkini partai,” jawab ibu tua itu, sambil mengembuskan asap rokok klobot cap Siluman. (*)
Pring reketeg = bambu gemeretak; dasar ati mantep = dasar hatinya mantap; Marhaen = maskot Soekarno yg diasosiasikan sebagai Partai Nasional Indonesia.
Ngirik = cara mencari ikan menggunakan irik, yg bentuknya mirip kalo, alat masak untuk menyaring santan.
Abuh = bisul; dientup tawon = disengat lebah; tawon endas = jenis lebah yg besar; edan = abnormal; Palu Arit = simbol Partai Komunis Indonesia; iwak = ikan atau daging.
Bintang Sabit = lambang Partai Masyumi; Minakjinggo = nama Raja Blambangan dlm legenda Damar Wulan; nggodok tela = merebus ketela; landa gendeng = Belanda asing; dengkul jaran = lutut kuda; rante = rantai.
Golongan Karya, baru resmi menjadi partai seusai Reformasi 1998.