Potret Pengemis | Cerpen Toni Lesmana

Dadang berdiri di bordes semenjak terdengar keterangankereta akan memasuki Stasiun Owah. Larut malam. Kabut di luar jendela. Kabut tebal. Kereta api berhenti dlm gulungan kabut. Udara cuek menyambut Dadang yg berjalan mencari pintu keluar stasiun, bangunan kuno yg seluruhnya dibalur warna ungu. Sebuah jam lingkaran di atas pintu yg tinggi, seperti beku. Sepi. Sampai di pelataran parkir yg higienis, kabut menipis. Lampu-lampu temaram.

Beberapa motor terparkir rapi. Sebuah warung kopi. Dadang tersenyum. Sepuluh jam perjalanan yg cukup melelahkan sudah sebaiknya dirayakan dgn secangkir kopi. Ia melangkah sambil mengikat rambut panjangnya. Ransel di punggung & kamera tergantung menjamah perut yg mulai buncit.

“Mas ini wartawan, ya?” sapa ramah seorang pemuda yg sama-sama sedang menghadap cangkir kopi. Wajahnya segar & riang. Seperti itu pula paras ibu pemilik warung. Seperti bercahaya.

Dadang menggeleng. Dihirupnya aroma kopi sebelum hati-hati meminumnya. Ia sodorkan bungkusan rokok. Pemuda botak membalasnya dgn senyuman. Tampak sungkan menarik sebatang rokok.

“Saya cuma kuli, Dik. Kebetulan ada kerjaan di sini.”

“Kuli kok kayak mau pelesiran begini, Mas. Baru kali ini ke Kota Owah?”

Kali ini Dadang mengangguk. Sambil bercakap Dadang sesekali melihat cahaya-cahaya dr bangunan yg terbalut kabut tipis. Begitu rapi. Rumah-rumah berjajar, nyaman, & lelap. Jalanan lebar. Trotoar terbebas dr sampah. Di pertigaan samar terlihat suatu patung dlm kucuran air mancur & lampu warna-warni.

“Memotret pengemis di kota ini?” Ari, begitu nama cowok gundul yg ternyata tukang ojek, seakan tersentak. Heran.

“Kenapa?” Dadang teringat reaksi istrinya tatkala ia menyampaikan hal yg sama.

“Heran saja. Kok pas sekali. Ini kan musimnya pengemis di sini. Kok milih kota ini, Mas? Di kota-kota lain pula niscaya banyak.”

“Musim pengemis?”

“Lebih tepatnya pesta pengemis.”

“Hahaha! Menarik ini. Pantas Murtopo menyuruhku pribadi berangkat.”

“Murtopo? Murtopo yg pelukis itu? Pelukis yg melulu melukis pengemis?”

Lho?”

“Siapa tak kenal Murtopo di kota ini, Mas. ia jagoan bagi kami. Tak ada tokoh yg paling dibanggakan selain Murtopo. ia mengharumkan nama Kota Owah hingga ke luar negeri. Konon, ia pula yg paling bersungguh-sungguh menyumbang untuk pembangunan. ia panutan di kota ini, Mas. Di sini, ada banyak bayi yg lahir diberi nama Murtopo.”

“Anak saya pula saya namai Murtopo biar bisa handal & ampuh seperti ia.” Timpal ibu pemilik warung kopi yg dr tadi terlihat seperti memejamkan mata.

“Sialan Murtopo!” batin Dadang sedikit iri. Diteguknya sisa kopi hingga habis.

“Sumpahnya itu lho, Mas, yg sangat terkenal. Anak-anak kecil pula menghafalnya sambil berimajinasi mampu seberani itu.”

“Sumpah? Murtopo punya sumpah?!” Dadang tak jadi menyulut rokok.

“Mas ini benar kawannya? Masa, tak tahu. Sumpah yg ini,” Ari mendadak berdiri di atas kursi, ibu pemilik warung pula ikut berdiri, mereka mengangkat tangan kiri, berbarengan berkata. ”Sekali pergi meninggalkan kampung halaman pantang pulang sebelum mati.”

  Pulang Cerpen OJ Hara

Dadang terbengong-bengong. Sampai ia lupa mengabadikan momen asing tersebut. Peristiwa yg mungkin hanya akan terjadi di Kota Owah. Tidak mungkin ada di kota-kota yang lain. Bahkan di seluruh kota negeri adil & makmur ini.

Di penginapan Dadang tak bisa tidur. Dari jendela kamar di lantai 3 itu, ia mengintip sebagian kota dlm selimut kabut. Di bawah bayang gedung-gedung tinggi yg dihias lampu warna-warni, Kota Owah terlihat nyaman dlm benderang lampu-lampu yg tersebar penuh warna. Di sebagian daerah, lampu seperti rumpun-rumpun pelangi. Bentangan jalan tak kalah semarak cahaya. Kota yg megah dlm selimut kabut.

Telepon genggam bergetar, berdering di atas ranjang. Dyah. Istrinya.

“Sudah sampai?”

“Sudah, Sayang. Ini di penginapan.”

“Jangan lama-usang.”

“Lho, gres pula sampai.”

“Ini meronta-ronta terus. Mules-mules. Sepertinya ingin secepatnya lahir.”

“Kata dokter kan sepekan lagi.”

“Dokter kan bukan Tuhan. Aku takut. Aku kangen.”

“Tenang. Sehari pula beres, kok. Ini kerjaan gampang. Besok malam pula pulang.”


*****


Murtopo memang sialan! Umpat Dadang sambil melempar tubuh ke ranjang. Murtopo satria Kota Owah. Dadang terkekeh. Edan. Pelukis sableng itu dipuja-puja di kota yg pantang ia injak lagi. Kemarin Murtopo menelepon ingin berjumpa . Lagi kumat gairah melukisnya. Murtopo ingin melukis pengemis di kota kelahirannya untuk melengkapi lukisan-lukisan pengemis yg akan dipamerkan dlm bazar tunggalnya di luar negeri. Baru Dadang mengetahui kenapa ia tak pergi sendiri ke kota ini. ia termakan sumpah sendiri. Tapi, di sisi lain, ini rezeki bagi Dadang yg kelabakan menghadapi kelahiran anak pertamanya. Sama-sama memerlukan. Yang jadi sialan itu ya Murtopo ingin hari itu pula Dadang berangkat. Seperti tak peduli kisah Dadang perihal keadaan Dyah yg menunggu hari melahirkan. Murtopo memang tak pernah menikah. Mana ia tahu kecemasan kandidat bapak. Dadang balasannya menurut sehabis segepok uang dilempar Murtopo ke udara. Segepok duit yg lekas ditangkap & dipeluk oleh Dadang.

Hati Dadang sedikit hening teringat celoteh Ari tentang animo pengemis, bahkan pesta pengemis, yg sedang berlangsung di kota ini. Hal yg mustahil baginya. Apalagi di kota demikian asri & menawan. Memang di kota mana pun pengemis selalu hadir mirip warna baka. Barangkali ini yg membuat Murtopo begitu terobsesi pada pengemis. Tapi, bagaimana mungkin pengemis dipestakan. Dalam pikirannya, terlintas dongeng perihal partai pengemis dlm buku-buku silat yg pernah dibacanya. Terkekeh. Lekas menjangkau kamera, setidaknya kerjaan akan lebih ringan. Sehari pula akan kelar. Tinggal jepret sana jepret sini. Beres. Setelah mengusut kamera, Dadang lelap berlayar ke alam mimpi. Di jendela yg masih gordennya terbuka, kabut menebal.

Pagi hari, dikala matahari menerobos kabut Kota Owah, Dadang sudah siap. Ia ingin lekas menyelesaikan pekerjaannya & pulang. Mimpi yg menyusup dlm tidurnya begitu jelek. Sangat buruk. Ia berkhayal Dyah melahirkan seorang pengemis.

Berbekal kamera, Dadang bermaksud menyusuri kota dgn jalan kaki. Kota Owah ini kota kecil. Semalam sebelum mengirim ke penginapan, Ari sempat mengajaknya berputar-putar di sekeliling kota. Dadang pula tak lupa minta nomor telepon Ari untuk jaga-jaga.

  Bendera | Cerpen Mashdar Zainal

Di parkiran penginapan, seorang bapak sedang menyapu. Wajahnya bercahaya. Cahaya kegembiraan. Cahaya yg pula ia peroleh pada wajah Ari & ibu pemilik warung kopi. Tergoda untuk mencoba kamera, Dadang mengarahkan lensa untuk membidik. Tiba-tiba bapak itu menoleh, tersenyum. Dadang tak enak hati, secepatnya ia palingkan kamera ke arah jalanan. Membentur baliho gambar caleg. Wajah yg gagah memelas. Sampah! Rutuknya. Kadung dibidik baliho itu diabadikannya juga.

Dari penginapan Dadang menyusuri trotoar ke arah alun-alun. Trotoar yg bersih. Para petugas kebersihan bekerja menyapu daun. Wajah-wajah yg bercahaya. Anak-anak sekolah berjalan riang sambil bercanda. Para pedagang menyiapkan roda dagangan dgn rapi. Bunga-bunga mekar dlm pot-pot besar sepanjang trotoar. Toko-toko terbuka. Senyum mengembang di mana-mana.

Alun-alun begitu hijau. Selalu ada kabut tipis. Hamparan rumput. Pohonan rimbun di setiap sudut. Patung & air mancur di beberapa tempat. Bangku-dingklik. Burung-burung terbang & hinggap. Kupu-kupu. Nihil. Tak ada pengemis. Mungkin terlalu pagi. Pedagang bubur tampak sibuk melayani pembeli di bawah sebuah baliho raksasa yg memanjang di seberang alun-alun. Baliho caleg. Sampah di kota yg menawan, batin Dadang.

Matahari meninggi. Dadang keluar dr pasar, mengelap keringat dgn kesal, memandang kemudian-lalang orang. Sudah dimasukinya pasar itu dr setiap pintu. Yang ditemuinya cuma para pedagang & pembeli yg sarat kegembiraan. Tak ada sosok tubuh lusuh menyedihkan. Dadang mulai sangsi pada kata-kata Ari. Tak disangka cowok riang berwajah bayi itu kasatmata seorang pendusta. Musim pengemis mana? Pesta pengemis apa? Sudah beberapa jam. Beberapa daerah ia susuri. Nihil. Tak ada pengemis. Tak ada sama sekali.

Beberapa kali SMS yg masuk dr Dyah mulai membangkitkan panik. Dadang berjalan cepat menuju arah terminal. Kesibukan kendaraan menyambutnya. Orang-orang berparas cahaya hilir pulang kampung dlm kegiatannya masing-masing. Rasanya setiap orang sedang melakukan pekerjaan . Tak ada yg bermalas-malasan. Tak ada yg duduk lusuh menengadahkan tangan menjajakan kemiskinan. Rumah sakit! Dadang bergerak kembali. Memanggil seorang tukang ojek. Semangatnya bergelora lagi. Namun padam kembali begitu menjejak pelataran parkir bangunan putih memanjang & bertingkat. Deretan kendaraan, jajaran para pedagang yg rapi. Kerumunan para pengunjung. Yang besuk & pulang. Wajah-wajah yg sedikit murung & sedih tanpa menanggalkan cahaya ketenteraman & kebahagiaan.

Mustahil, batin Dadang. Hampir senja Dadang terduduk murung di kursi alun-alun. Setiap penjuru kota telah dijelajah. Tinggal beberapa jam menuju agenda yg tertera pada tiket pulang yg sudah ia bayar kemarin. Bagaimana mungkin suatu kota tanpa kedatangan pengemis. Tiba-tiba ia merasa kesal. Kesal & gagal. Mungkin karena kameranya belum melakukan pekerjaan sama sekali. Hanya berisi satu potret. Potret baliho.

SMS dr Dyah. Mas, gue sudah di rumah sakit. Sendiri. Makin cemas. Malah teringat Ari. Lekas mengirim SMS. Pemuda itu mesti mempertanggungjawabkan kata-katanya. Kabut tipis masih membayang di udara. Dadang merasa berada dlm sebuah lingkaran kebohongan. Kebohongan suatu kota yg demikian tenteram mirip dlm dongeng. Kebohongan dr orang-orang berparas cahaya. Kebohongan Ari.

  Engku Badar | Cerpen Aida Radar

Kepanikan menciptakan Dadang makin kesal. Ia melempar pandang ke atas. Ke arah baliho besar. Kamera yg berjam-jam hanya menggantung mulai dibidikkan dgn murka. Baliho caleg. Dilempar ke arah lain. Sama saja. Gambar-gambar caleg tegak berjajar di udara, dlm aneka macam bahan & ukuran, sepanjang jalan. Jepret. Jepret. Seperti kesurupan Dadang membidik semua gambar caleg yg terlihat . Mungkin gara-gara berjam-jam Dadang memandang lurus & menunduk mencari pengemis tanpa hasil. Kemarahan ia ledakkan pada karnaval gambar caleg yg ternyata begitu meruah di mana-mana. Tanpa sadar ia berjalan mengejar setiap gambar wajah yg lengkap dgn atribut partai. Dadang hampir berlari memburu setiap gambar. Tak memedulikan dering telepon yg tak henti-henti.

Di depan pagar sebuah gedung ia bersandar kelelahan. Seorang pejalan dgn ramah menawarinya minuman. Dadang melongo ibarat orang bego. Dering telepon genggam menyusup dlm kesadarannya.

“Mas Dadang di mana? Saya dr tadi di alun-alun!” bunyi Ari yg riang.

“Di pesta pengemis!” kesal Dadang menjawab pendek.

“Wah, jika begitu mampu di mana saja. Mesti ke mana saya menjemput?” Suara Ari bercampur tawa.

“Saya di depan gedung yg tiang benderanya berwarna keemasan, sebesar pohon palem, setinggi kubah masjid.”

“Wah, itu sentra pesta pengemis, Mas. Sebentar saya meluncur.”

Dadang penasaran mengintip ke arah gedung. Terpampang nama dgn huruf-abjad yg megah & pongah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Owah. Sepi. Satu-satunya bangunan yg tak menerbitkan cahaya kegembiraan. Cahaya khas Kota Owah. Cahaya yg menyebar & memijar di wajah orang-orang. Cahaya dlm selubung kabut tipis.

Ari tiba sempurna saat Dadang berbalik. Matanya kontan melotot. Kemarahan meledak.

“Mana trend pengemis? Pesta pengemis? Yang ada hanya gambar-gambar sampah!” bentaknya sambil menuding ke arah baliho sepanjang jalan, lantas dgn berangasan memberikan potret-potret dlm kamera.

Ari tak melepas senyuman.

“Masa sampah, Mas. Mereka orang-orang yg pantas dikasihani, Mas. Mengemis suara dgn menjajakan kegagahan & kekayaan. Mereka tidak mempunyai pekerjaan mirip kami. Mereka mengemis kerja pada kami. Kami di sini, di Kota Owah, kasihan sekali pada mereka. Sudah semestinya Murtopo melukis mereka. Salam buat Murtopo. Katakan kami ingin seberani & setangguh Murtopo.”

Dadang tergagap. Limbung. Melihat sekeliling. Menarik napas panjang. Naik motor. Minta dikirim ke penginapan.


*****


Malam. Dalam kabut. Dalam Stasiun Owah yg ungu. Dadang duduk murung di peron memangku laptop. Baru saja selesai mengirim e-mail ratusan potret gambar caleg yg tadi ia bidik dgn gila. Kereta tiba. Lekas berkemas. Dering telepon. Kabar Dyah melahirkan bayi laki-laki dgn selamat. Berbinar. Hampir bersorak. Mengucap syukur. SMS masuk. Murtopo. Berdebar. Pasrah. Dibaca. Uedaaaaan, Dang! Dadang bangun. Berjalan memasuki kereta dgn wajah yg bercahaya, ibarat wajah orang-orang di Kota Owah. Kereta api berangkat meluncur dr pelukan kabut yg tebal. (*)