Pabrik di Seberang Jalan | Cerpen Mufa Rizal

Dari kejauhan alat berat beserta truk pasir hilir-mudik melintasi jalanan antar kota sebelum masuk kawasan proyek. Pria dgn helm berwarna pula sepatu bots sedang mengawasi kuli sambil sesekali mengumpat.

Sebuah mobil sedan hitam meluncur pelan mendekati pos satpam, kemudian masuk sesudah pagar dibuka. Seorang bersetelan jas hitam perlente & sepatu mengkilat turun dr kendaraan. Ia melihat bangunan hampir jadi dgn wajah puas lalu memanggil arsitek pula mandor menemani minum di kantor.

Laki-laki itu setia menanti mata kail disambar ikan. Debu beterbangan dibawa angin kemarau menusuk mata & menciptakan sesak. Nitiarjo merutuki nasibnya yg apes belum menenteng pulang tangkapan. Suara bising pekerja dr seberang jalan menambah sebal. Sebuah pabrik paralon atau besi tak usang lagi berdiri. Daerah itu dulunya lahan pertanian luas ditanami jagung pula tebu. Namun semua berganti, anak dusun enggan menjadi petani atau repot merawat sawah. Mereka lebih senang melakukan pekerjaan di pabrik.

Nitiarjo menicum wangi tahu sekitar lima puluh depa dr tempatnya duduk. Bangunan bau tanah peninggalan Belanda disumpeki pekerja memuat kedelai. Ia masih ingat bagaimana lori membawa flora tebu dr ladang untuk kemudian ditarik kereta uap & berhenti di penggilingan. Rel-rel sisa kejayaan pabrik tebu milik kompeni beberapa raib digasak kolektorbesi.

Tak jauh dr sana jembatan besi sering digunakan anak dusun balap liar saban minggu dikala puasa. Sungai Utara begitu orang menyebutnya. Tak ada anak kecil mandi atau berenang di sana. Beberapa orang tenggelam, foklor yg dipercaya penduduk yakni jin sungai sering meminta tumbal atau sajen.

Ia masih mengingat kehadiran Lurah Jono. Nitiarjo duduk di teras menimati rokok kretek hasil lintingan sendiri. Wajah pemimpin itu lebih ramah dr biasanya, kumis baplangnya seolah hilang & aura tegasnya memudar.

  Sebelum Pesawat itu Jatuh | Cerpen Sam Edy Yuswanto

“Semu warga pemilik tanah di seberang sungai sudah setuju memasarkan tanah mereka untuk dibangun pabrik,” papar Lurah. “Tinggal tanahmu, Nitiarjo. Pak Gunawan berani membeli dua kali lipat dr harga lazimnya . Apalagi tanah itu lokasinya srategis erat jalan besar.”

Istri Nitiarjo tiba dr dlm menjinjing kopi & singkong goreng untuk mereka. “Saya seorang petani. Kakek & ayah saya pula demikian, entah bagaimana hidup kami bila tanah itu dijual.”

“Bapak bisa membuka perjuangan atau berbelanja tanah lain. Dengan duit segitu cukup untuk berbelanja lahan di tempat lain yg lebih murah.” imbau Gunawan.

“Saya tak bisa berdagang, Pak. Saya hidup & menafkahi keluarga dr tanah leluhur yg subur. Saya ragu bisa menggarap tanah lain sedang tanah warisan sudah lama menopang kebutuhan kami sekeluarga.”

Kedua orang itu berpandangan seolah menahan amarah.

“Baiklah, kami akan datang seminggu lagi. Pikirkan baik-baik penawaran kami, Nitiarjo.” pungkasnya.

Dusun mendadak sunyi tatkala malam layaknya kota mati. Ramai cuma dikala tetangga melangsungkan hajat. Meski begitu beberapa laki-laki cukup umur berjaga di pos menikmati kopi & bergosip pejabat kawasan. Bupati mereka ditangkap KPK, rumahnya digeledah demi mencari barang bukti lain. Berita itu memperbesar daftar panjang pemimpin sebelumnya yg culas, serakah & tak peduli nasib mereka.

Nitiarjo jarang ikut kumpulan itu, angin malam menciptakan perut masuk angin & meriang. Ia lebih bahagia mendengar ludruk di radio sambil memejamkan mata. Kabar perjaka dusun berpesta miras oplosan tiba dr perangkat itu. Mereka tewas sesudah terbakar zat kimia, meregang nyawa untuk selamanya. Salah satu korban selamat dibawa ke rumah sakit. Remaja itu bercerita bagaimana mereka menggelinjang mirip ulat bulu, memuntahkan isi perut & buta.

  Suara Muazin dari Menara | Cerpen A Makmur Makka

Ia sama sekali tak tidak senang pabrik. Pabrik sudah menyumbang pajak untuk membangun jalan dusun yg becek tatkala isu terkini hujan. Pabrik pula mengentaskan perjaka dusun dr aktivitas tak berkhasiat, judi, mabuk-mabukan di pos ronda atau menarik hati gadis kampung sebelah. Nitiarjo hanya tak sanggup berpisah dgn tanah warisan leluhurnya. Tanah yg dulu direbut sukar-payah dr tangan penjajah. Tanah yg bersimbah darah peperangan para pejuang.

“Mau apa kamu kemari!? Aku tak butuh belas kasihan. Sudah dibayar berapa kau sama usahawan busuk itu?” bentak Nitiarjo.

“Sabar, Jo. Aku kemari bukan untuk debat kusir tetapi ingin membantu wargaku yg kesusahan. Jika kamu murka begini sama saja tak menghargai tamu.”

“Aku tak mampu bermanis-bagus dgn lintah darat sepertimu.”

“Hormati aku, jelek tua begini gue lurahmu! Ya sudah jikalau kamu masih emosi gue pulang dahulu. Tapi ingat penawaran kami dahulu.” tukasnya. Ia membisu membiarkan tamunya pergi berlalu dr pintu.

Istrinya meringkuk di kasur dgn selimut. Nitiarjo tak tidur, keluar rumah sambil merokok. Langit angkasa bersih hanya ada beberapa bintang. Bulan bersinar terang tak pertanda akan redup. Di pos situasi ramai pemuda melihat pertarungan sepak bola, sementara manula menjalankan bidak catur. Tak tampaklurah mata duitan itu.

Nitiarjo sedikit dongkol menghadapi tabiatnya. Pungli sudah menjadi kuliner sehari-hari lurah. Tidak ada uang, persoalan mandek tak tanpa gangguan, bahkan untuk mengurus surat tanda tangan dirinya. Tapi apa mau dikata, orang-orang terlanjur memilih penjahat selaku pemimpin. Apalagi amplop darinya sudah melenakan warga kampung.

Ia berjalan terus menjelajahi kampung dgn napas hangat sesudah mengisap tembakau beberapa jenak. Hawa cuek menjalari kulit meski mengenakan jaket tebal. Sepeda motor masuk area pabrik. Baju & kopiah itu tak pernah dienyahkan Nitiarjo. Ia tak terkejut bila pemilik pabrik mencuci otak pemimpin mereka.

  Ibu Pergi Memancing | Cerpen Mashdar Zainal

Hitam. Semuanya hangus terbakar, tak bersisa. Gosong, baunya seperti bangkai binatang dilahap bara api. Nitiarjo menyaksikan sawah miliknya seumpama Padang Kurusetra yg aktual. Lututnya bergetar seolah seluruh rusuknya rontok seketika. Ia menangis layaknya bayi merindukan belaian. Tangannya meraup tanah yg tertutup bubuk & membalurkan ke wajahnya.

Kejadian itu mirip mimpi jelek yg tak pernah ia kira. Panen kali ini terancam gagal, para buruh tani bakal meminta bayaran & yg ada di anggapan hanyalah Lurah. Tak ada yg menyaksikan insiden itu. Semuanya cepat sekali. Saat itu ia masih bercinta dgn istrinya tatkala salah satu warga mengetuk pintu. Nitiarjo terpaksa menuntaskan persenggamaan.

Pria paruh baya itu memakai sarung, bareng istrinya menyaksikan api menjalar & berupaya memadamkan dgn air sungai. Orang-orang membantu sebisanya supaya tak melahap tanah yang lain. Untuk pertama kalinya ia bersedih & bersusah hati. Meski di masa kemudian ia pernah melaksanakan hal serupa, tak sengaja aben lahan milik orang.

Ayahnya memberi kado pukulan rotan di punggung. Ibunya tak bisa berbuat apa-apa selain menyiapkan obat untuk lukanya. Nitiarjo tak mampu melewatkan kejadian itu sampai kini. Ia hendak menenteng bubuk tebu untuk dibawa pulang. Selain itu kartu bisnis Gunawan tak sengaja ia temukan. (*)