Setelah mengarungi hutan belantara, naik turun bukit & lembah, dlm pelarian sampailah si Monyet di suatu kampung di balik bukit. Kampung yg dikungkung dinding cadas, gerinjul tanah berkapur, & pohon-pohon kurus berdaun separuh kering meranggas. Tonjolan batubatu besar muncul dr permukaan tanah serupa arca raksasa yg tak sempurna dikuburkan. Sinar matahari yg jatuh dipantulkan kembali oleh tanah, sehingga udara sejuk diisap tak bersisa.
Rumah penduduk sangat jarang & berjauhan. Sulit sekali mendapatkan air. Untuk membuat sumur harus menggali puluhan meter guna mendapatkan mata air. Di sanalah mereka bergantian mengambil air untuk mengolah makanan & minum. Mandi & mencuci mereka lakukan di anak sungai basah keruh jauh di kaki bukit.
Si Monyet tak terlalu merasa asing dgn kampung ini. Ia merasa entah kapan & untuk apa pernah singgah & dekat dgn kampung ini. Seperti de javu. Ia tak menduga dlm pelarian hingga ke kampung ini. Penduduknya memang baik & ramah, tapi miskin. Mungkin sebab miskin itulah mereka baik & ramah. Mereka tak memiliki apa-apa yg bisa dihidangkan ke para pejalan yg kemalaman, selain senyuman.
“Apa nama kampung ini, Nek?” Si Monyet mengajukan pertanyaan pada pemilik satu-satunya kedai yg ia jumpai di kampung ini.
“Kampung Playon,” sahut si nenek, seraya mengangkat singkong rebus dr tungku di segi kedai. Meski sungguh sepuh si nenek terlihat masih berpengaruh & cekatan. Enteng saja ia mengangkat panci besar dr tungku.
Si Monyet agak terperanjat. Jawaban si nenek seperti menyindir. “Mungkin hanya kebetulan,” pikir si Monyet. Tak mungkin perempuan peyot itu menyindir. “Dari mana ia tahu gue pelarian,” sergah si Monyet seraya menggaruk kepala.
“Kampung tempat singgah & menetap para pelarian,” tambah si nenek tanpa lepas dr kesibukan.
Kedai kecil ini beratap anyaman rumbia seperti keseluruhan atap rumah di kampung ini. “Kami dahulu para pelarian, & hingga kini masih pelarian, tetapi sudah dilupakan. Kami menetap di sini alasannya adalah tak tahu mesti lari ke mana lagi.”
Si Monyet ingin bertanya kenapa mereka jadi pelarian, namun merasa tak nyaman. Tenggorokannya kering & ia merasa terjebak di kawasan yg salah. Ia cemas nenek ini sungguh sungguh sedang menyindir. Ia mesti hati-hati. Nalurinya berkata untuk sesegera mungkin meninggalkan kampung ini.
“Bukankah Kisanak pula pelarian?”
Pertanyaan si nenek bagai palu memukul dada & membuatnya bingung. Entah berapa lama si Monyet akan singgah di kampung ini. Ia bertekad tak boleh usang-lama. Ia cuma butuh dua-tiga hari untuk memulihkan tenaga & menyembuhkan diri dr luka gesekan di tubuh. Ia mesti segera keluar dr kampung ini & meneruskan pelarian entah ke mana.
Begitu hingga kampung ini menjelang subuh hari kemarin, si Monyet mendapatkan satu-satunya kedai di tepi desa. Kedai milik nenek yg sudah sangat sepuh yg sepertinya senantiasa sepi pembeli. Hanya sesekali melayani petani atau pencari kayu bakar atau pejalan yg singgah seperti si Monyet. Hampir tak ada makanan atau penganan dijual, kecuali teh, kopi, jagung, & umbi-umbian rebus, serta nasi dgn lauk ala kadarnya, yg seakan mewakili keadaaan kampung ini yg serba terbatas. Si Monyet percaya tak ada kejadian menarik untuk dicatat di sini.
Si Monyet memesan makan untuk mengisi perut yg keroncongan. Ia berharap pemiliki kedai tak mengajukan pertanyaan lebih jauh soal asal-usulnya, apalagi mengajukan pertanyaan kenapa ia jadi pelarian. Syukurlah, prospeknya terkabul. Si nenek & suaminya yg sama-sama sepuh sibuk mengupas & memreteli biji-biji jagung ke wadah anyaman bambu tanpa banyak bersuara, kecuali mendehem & batuk batuk kecil.
Si Monyet duduk berlama-lama seusai menandaskan makanan, menanti peluang cantik untuk mengajukan pertanyaan tentang tempat untuk bermalam. Pemilik kedai, suami-istri yg telah sepuh itu, menawarkan bilik belakang rumah, dekat sangkar kambing.
“Atau Kisanak bisa tiba ke kepala dusun. Mungkin dia bisa menyediakan kawasan lebih pantas,” kata si pemilik kedai.
Si Monyet memilih bilik belakang rumah mereka. “Lebih sedikit orang tahu keberadaanku lebih baik,” pikir si Monyet. ia memesan kopi secangkir lagi setelah setuju soal harga sewa bilik itu. ia menyesap kopi sambil mengamati betapa misterius kampung ini. Selama enam jam ia duduk di kedai ini, hanya dua orang singgah untuk membeli kuliner.
Meski sempit, bilik itu tak terlalu buruk. Ada ambin dgn bantal pipih, meja kecil, & sebuah jendela. Lumayan buat sekadar istirahat. Si Monyet menilik luka goresan di hampir sekujur tubuh. Luka-luka yg tak terlalu dlm & sebagian mulai mengering, tetapi lumayan perih terutama jika terbasuh air. Ia kesulitan menilik luka di punggung. Bilik itu tak menyediakan cermin. Ia hanya bisa meraba-raba. Ia merasa gatal di sekeliling luka, tanda luka mulai sembuh.
Ia merasa luka goresan di punggung tak sebanyak di betis & lengan. Sekarang giliran memijit-mijit betis yg masih kaku. Pantaslah, ia berlari hampir tak pernah berhenti selama sehari semalam. Setelah merasa tidak mengecewakan enak ia merebahkan tubuh & memejamkan mata. Kegelisahan pun mendera demi memikirkan tujuan pelarian yg belum jelas hingga kantuk menaklukkan.
Pagi-pagi tatkala sinar matahari menerobos bilik membentuk batang-batang cahaya, seseorang memanggil dr luar. Itu bunyi ibu sepuh pemilik kedai. ia tak mengundang Monyet, tentu saja, alasannya adalah itu bukan namanya.
“Mas Badra,” panggil pemilik kedai.
Itu pula bukan nama sesungguhnya. Ia menyebutkan nama yg ia pungut sekenanya ketika ditanya ihwal nama. Memperkenalkan nama itu semata demi keamanan. Monyet sekadar julukan yg diberikan bibi & kerabat-saudaranya lantaran waktu kecil tingkahnya lucu & cekatan ibarat kera kecil dlm pentassirkus. Ia tak keberatan dgn panggilan itu alasannya adalah tahu mereka tak berniat merendahkan. Sebaliknya ia besar hati.
Adiknya yg pendiam & sangat pemalu dipanggil si Moa, lantaran akan selalu menyembunyikan diri di kamar setiap ada orang gres bertandang. Nama ia sebetulnya Darma. Orang tuanya sungguh menggemari dongeng Raja Angling Darma. Seorang raja yg mampu bercakap-mahir dgn serangga & binatang-hewan lain. Ingatan itu menjadikannya merasa begitu kesepian, tetapi tak tahu bagaimana mengobati.
Julukan Monyet seperti isyarat ia lebih menggemari tinggal di antara pepohonan yg banyak tumbuh di kampungnya di tepi hutan. Adiknya pergi meninggalkan kampung di lereng gunung untuk bekerja di kota. Beberapa tahun kemudian kembali untuk memboyong orang tuanya. Sementara si Monyet lebih betah di kampungnya yg sepi & cuma ditemani suara-bunyi hewan.
Panggilan di luar terus terdengar dgn jeda lebih usang. Ia segera menyahut & membuka pintu. Si ibu bangkit di ambang pintu dgn nampan berisi penganan & kopi. Si Monyet segera menjangkau nampan berisi kopi & jagung rebus. ia genggam jagung rebus yg masih panas & mengepulkan uap tipis.
Selama lima hari di kampung ini, si Monyet lebih banyak terdiam di dlm bilik. Ia cuma keluar untuk menuntaskan kebutuhan badan yg tak bisa ditahan: makan & membuang ampas. Itu ia lakukan setenang mungkin agar tak ada orang curiga. Ia melongo bukan hanya menimbang-nimbang ke mana melanjutkan pelarian, melainkan pula mengingat- ingat kapan & untuk apa pernah ke kampung ini. Ia gusar alasannya tak menemukan kenangan. Namun yg jauh lebih menggusarkan adalah insiden apa yg menciptakan ia jadi pelarian.
Seingatnya, sebelum menemukan diri berlari keluar-masuk hutan & menyeberangi sungai, ia sedang tidur-tiduran di rumahnya di tepi telaga. Tak mendengar bunyi-bunyi apa-apa selain kemirisik dedaun diembus angin yg melintas pelahan, & sesekali kecipak ikan yg melompat dr bawah permukaan air. Ia yakin betul ingatannya tak keliru. Namun, kenapa tiba-tiba jadi pelarian, menjinjing buntalan berisi satu setel baju & buku, ke dlm hutan?
Si Monyet untuk sementara pasrah & menyerah pada kenangan yg serapuh bubuk kayu sisa pembakaran. Semua berjalan mulus sampai ia berpapasan dgn seorang gadis dikala hendak ke sungai di kaki bukit. Gadis itu menatap terang terangan & melemparkan senyum yg membuatnya kagum & kikuk. Si Monyet ingin segera berlalu. Namun si gadis mengundang. “Mas Badra, saya tahu Anda pelarian,” kata si gadis. “Saya pula tahu Badra bukan namamu yg sebetulnya.”
Gadis itu membuka ingatannya; ia mengingatkan si Monyet pada Ratmi, wanita yg diam-diam mencintainya. Ratmi sering datang membawa gula kopi & makanan ke rumah yg si Monyet jadikan markas untuk daerah kumpul-kumpul dgn sejumlah teman yg senantiasa terlihat bersemangat mendengar wejangannya. Gula & kopi & penganan yg dibawa Ratmi sungguh memiliki kegunaan menolong mereka untuk berdiskusi hingga jauh malam. Mereka mengajari warga di kaki bukit itu untuk menolak menjual tanah.
Ah, si Monyet ingat sekarang. Suatu hari mereka bergandengan tangan menuruni bukit, mengadang truk-truk yg hendak meratakan bukit. Mereka berhasil menghentikan truk-truk itu. Mencegah mereka mengeruk bukit. Percekcokan tak mampu dihindarkan antara sahabat-teman si Monyet & para sopir truk. Situasi tak terkendali saat seorang sopir truk menampar salah seorang mitra si Monyet, hingga terjungkal lantaran tak bisa menjaga keseimbangan tubuh bangkit di tanah miring. Tubuhnya menggelinding ke bawah.
Mendadak kemarahan menguasai si Monyet. Ia memungut kerikil & menghantamkan ke kepala sopir truk. Si Monyet panik melihat sopir truk terhuyung & terjengkang. Saat ia ternganga panik, sebuah pukulan mendarat di pelipisnya & mengempaskan dia. Ia terpelanting & menggelinding ke bawah. Sebongkah tunggul pohon menyambut kepalanya.
“Aku bisa membawamu keluar dr pelarian ini atau selamanya di kampung pelarian ini,” kata si gadis. (*)