Mataku belum terbuka sepenuhnya. Dari jauh, banyak langkah kaki berjalan buru-buru. Sepertinya orang-orang sedang saling berkejaran. Namun, apa yg mereka kejar?
“Awas! ia masuk ke semak! Jaga dr depan, samping, dr mana saja. Kepung!” teriakan itu terdengar pelan, tapi sanggup menciptakan tubuhku terjaga.
Aku berpikir jikalau ada maling ternak yg kepergok, atau mungkin kampung ini mulai tak aman lagi sesudah dua dekade yg lalu, gosip Ninja ramai & sempat membuat orang-orang di sini was-was. Dulu, periode 1999 hingga 2000, di Jawa Timur, utamanya tempat tapal kuda pernah ramai dgn maraknya represi pada tokoh-tokoh spiritual. Mereka—para tokoh itu—dituduh sebagai pemilik ilmu santet. Salah satunya di Banyuwangi, ada yg sampai terbunuh. Pelakunya sekelompok warga & oknum misterius yg kabarnya menggunakan baju serba hitam, tangkas, serta bisa bergerak cepat. Orang-orang menyebutnya, Ninja.
“Jancuk! Kijangnya ngeloyor melalui sel*ngkanganku! Ayo, kepung terus!”
“Apa perlu ditembak saja? Kuambilkan senapan.”
“Jangan! Nanti nyasar, kena orang.”
Aku berlari ke halaman. Kusapukan pandangan ke sekitar. Namun tak ada seorang pun kujumpai. Belukar yg menjadi pagar alami bagi kebun depan rumahku terlihat seperti bekas tergilas sesuatu. Dari arah timur, kudengar sayup teriakkan orang-orang. Belum sempat melangkah ke jalan, ibu muncul dr pintu dapur.
“Koe mau ke mana? Ndak usah ikut ngejar! Nanti diseruduk kijang. Bangunkan Mas mu saja, biar ia yg ngejar.”
Dengan paras masam, gue melenggang menuju kamar. Kugoyangkan tubuh kakakku yg masih terbungkus sarung. Setelah beberapa goyangan, ia berdiri, & kujelaskan apa yg terjadi.
“Wah, kita bakal makan lezat! Gulai kijang!” pekiknya seraya bangun, menyilangkan sarungnya di bahu, & kemudian bergegas.
Matahari sudah terik. Aku menolong ibu mencuci & memotong daging kijang yg dibawa kakak tadi pagi. Sambil menimba air, pikiranku mencari dr mana asal kijang malang ini? Kampungku ialah dataran rendah yg dikelilingi bukit di timur, utara, & barat. Sementara di selatan membentang Laut Selatan, Samudera Hindia. Orang-orang tua di kampungku lebih mengenal tempat ini dgn nama Ngerawan. Usut punya usut, dahulu kala kampung ini yaitu rawa yg terhampar luas. Namun apakah mungkin ada hewan liar seperti kijang yg masih berkeliaran di kampung? Sedangkan dr program televisi yg pernah kutonton, kawanan kijang biasa hidup di padang rumput atau di hutan.
“Biasanya bila ada binatang liar, binatang dr hutan yg masuk ke kampung, tandanya habitat mereka sedang tak baik-baik saja.” Kalimat ibu itu membuyarkan rasa ingin tahuku.
“Lantas dr mana kijang itu, bu?”
“Mungkin dr arah tenggara sana. Gunung Kursi. Di sana ada padang rumput & hutan.” Kata ibu menjelaskan.
“Maksud ibu bukit?”
“Yo wes itu lah. Ibu ndak ngerti mana bukit, mana gunung. Almarhum kakekmu pula pernah bilang bila ada binatang liar masuk kampung, itu menunjukan akan ada bencana”.
Gunung Kursi atau bukit Kursi berada di segi tenggara kampung kami. Adalah formasi dataran tinggi yg memanjang ke selatan. Dilihat dr kejauhan, bukit itu mirip bukit pada umumnya; dr bawah landai & menanjak ke atas. Namun di pecahan tengah seperti ada padang rumput yg bentuk tanahnya datar ke dalam, kemudian menanjak lagi sampai ke puncak. Mungkin alasannya adalah adanya padang rumput itu, bentuk bukit jadi menyerupai dingklik panjang yg memiliki sandaran.
Aku biasa melihat bukit itu tatkala sedang mempertahankan flora padi—dari gangguan burung—milik keluarga kami yg mendekati masa panen. Sebelumnya, gue tak pernah memperhatikan dengan-cara detil. Buatku itu cuma bukit biasa. Namun, semenjak ibu menyampaikan jika kemungkinan kijang itu berasal dr sana, gue bergegas menuju sawah untuk melihat bukit Kursi lebih lama.
Benar saja. Dari kejauhan, di bukit Kursi kudapati seluruhnya menguning mirip padi yg siap panen. Bahkan di sekitarnya sudah jarang sekali pepohonan. Keadaan yg sama pula terjadi di bukit sekitarnya. Mungkin kijang malang itu nekat turun ke kampung karena sudah susah mendapatkan makanan, atau mungkin terpisah dr kawanannya tatkala berjalan jauh untuk mencari makan.
“Kemarau sudah separah ini.” Gumamku.
“Kemasi baju-bajumu! Ibu akan membenahi surat-surat penting di lemari.” ucap ibu sambil tergopoh-gopoh membawa kantong plastik besar.
“Banjirnya sudah hampir masuk rumah, bu!” kakak berteriak dr teras.
“Makanya, cepat urus barangmu!” tukas ibu, “Kalau hujan ndak berhenti satu jam ke depan, kita ngungsi.”
“Sek, gue ke pos kamling dulu. Mukul kentongan!”
“Kok hujannya bisa sederas & selama ini, bu? Ini kan animo kemarau & sedari tadi mendung wajar -wajar saja.” Aku mengambil baju seadanya. Yang perlu kuselamatkan ialah buku-buku.
“Mungkin ini karena kijang yg ditangkap, disembelih, & kita makan bahu-membahu kemarin!”
Jawaban ibu menghentikan aktivitasku mengemasi barang. Seketika ingatan pada waktu membersihkan daging kijang terngiang di kepala. Ibu mengatakan jika hewan liar turun ke kampung, habitatnya sedang tak baik-baik saja. Dan pula membuktikan akan ada peristiwa.
Hari ini sempurna satu bulan yg kemudian kami sekeluarga, bahkan mungkin sebagian warga kampung menikmati daging kijang malang yg masuk kampung itu. Mungkin mengambarkan itu benar, tragedi itu berwujud banjir di trend kemarau.
“Bu! Ibu!” kakakku pulang. Tubuhnya kuyup, “kita harus ngungsi, bu! Hujannya belum tentu reda dlm waktu bersahabat. Gunung Kursi pula longsor! Aku tadi dapat kabar di pos kamling!”. (*)