Teo Berubah Jadi Bebek | Cerpen Kiki Sulistyo

Teo berganti jadi bebek. Suatu malam, listrik padam & angin bertiup kencang. Jendela serta pintu yg ditutup rapat berderak-derak. Di ruangan cuma ada gue & Teo. Kami menyalakan lilin. Beberapa kali api dr korek kayu tak mampu menyala lama. Desakan angin terlampau kuat hingga menembus celah-celah jendela. Hanya sehabis kulindungi dgn kelima jari, api mampu menyala & asap berpilin seperti benang halus yg sebentar kemudian pupus di udara. Teo mendekatkan sumbu lilin pada api. Ujung sumbu itu menjamah api & korek secepatnya padam seakan mengerti tugasnya cuma memindahkan nyala.

Teo meletakkan lilin di atas alas besi ibarat mangkuk nasi. Kami diam sebentar, berpikir, bisa jadi angin kembali menciptakan nyala api buyar. Pucuk api memang bergoyang-goyang, tapi tak sampai padam. Dan sesudah beberapa saat, Teo berkata, “Siapa yg mempertahankan?”

Aku mengangkat jari telunjuk seperti murid sekolah dasar hendak menjawab pertanyaan.

Teo menggerutu, “Kau yg mengusulkan ini, harusnya gue yg angkat jari.”

“Tapi kamu yg bertanya, tak mungkin kau yg menjawab juga. Lagipula ini masalahmu,” balasku.

Teo termenung sejenak, sebelum berucap, “Baiklah, belum tentu pula mantranya bekerja.”

Keputusan sudah lingkaran. Teo mesti setuju. Aku mampu lihat wajahnya mengeras. “Ayo, cepat!” seruku dgn suara sedikit kubuat-buat.

Teo menawan napas panjang, lalu memejam. Aku mendengar Teo merapal mantra. Aku tahu mantra itu karena gue yg memberi beberapa hari lalu. Mantra yg mampu membuatmu berganti jadi apa yg kau mau.

Seorang lelaki renta memberiku mantra itu tatkala dengan-cara tak sengaja gue berjumpa dengannya. Waktu itu hari Kamis, menjelang magrib, hujan turun demikian bengis. Aku sedang berjalan pulang & merasa harus menepi, kaki nyaris keram & tubuh mirip kapal akan tenggelam. Jarum air menusuk-nusuk kepala & kulit. Jalanan sepi seakan orang-orang tak berani keluar karena takut penyakit. Sebuah bangunan kayu di tepi jalan terlihat cukup rindang untuk kujadikan tempat berteduh. Hanya ada seorang lelaki di situ, bersedakap menahan acuh taacuh. Tak ada kendaraan terparkir di dekatnya. Lelaki itu niscaya berjalan kaki, pikirku. Aku tersenyum padanya sembari mengibas-ngibaskan air dr baju.

  Bukit-bukit Seperti Gajah Putih | Cerpen Hills Like White Elephants Terjemahan A.S. Laksana

“Deras sekali hujannya,” ucapku.

Dia tak menyikapi. Bunyi jatuhnya air demikian keras, hingga masuk akal bila ia tak mendengar. Aku amati sekitar & menduga-ngira untuk apa bangunan ini diresmikan. Kecuali atap, seluruh bagian bangunan yang dibuat dr kayu. Ada lima tiang & beberapa palang, menopang asbes yg disusun sebagai atap. Tak ada tanda apa-apa selain itu. Di tiang-tiang kayu memang ada gurat tulisan, macam-macam isinya, tapi yg mayoritas nama-nama orang, pula denah jantung tertancap panah.

Si lelaki renta menoleh padaku & berkata, “Nak, saya mau minta sedikit bantuanmu.”

Lelaki ini lebih renta dr ayahku. Kukira ia lebih layak menjadi kakekku. Tampaknya ia suka mengunyah sirih, mulutnya merah & datang-tiba kubayangkan ia mirip vampir yg suka mengisap darah. Tapi secepatnya gue berseru, “Apa yg mampu saya bantu?”

Dia mengeluarkan bungkusan dr gulungan sarung. Dari bungkusan itu ia keluarkan tembakau, korek kayu, & sebatang lilin yg tinggal setengah. Setelah memisahkan lilin & korek, ia masukkan lagi tembakau ke dlm gulungan sarung. “Saya mesti secepatnya sampai rumah. Tapi seperti mampu dilihat, hujan tampaknya masih akan lama. Saya mau menyalakan lilin, bisakah anak bantu saya menjaga nyalanya?”

Aku gundah. Kusangka kakek itu pasti sudah linglung. Tapi tanpa menanti jawaban, ia minta gue memegang lilin.

“Lindungi dgn tangan. Hujan memang deras, tapi kelihatannya angin tak begitu keras,” katanya.

Setelah gue berkemas-kemas, ia secepatnya menggesek batang korek. Api menyala sebentar, lalu padam. Berkali-kali ia menjajal , namun tidak berguna. Aku merapat lebih ke dalam, bersandar ke tiang tengah. Di belakangku sebatang pohon menjulang. Angin takkan menjangkau dr belakang, & gue mampu melindungi nyala api lebih mudah.

Akhirnya api menyala, pindah dr korek ke sumbu lilin. Si kakek lega, ia usapkan kedua tangan ke kain sarung.

“Nak, bahwasanya saya jarang melakukan ini. Hanya ketika-dikala terpaksa saja. Saya tak bisa melaksanakan sendiri. Karena anak sudah membantu, nanti saya beri imbalan. Sekarang, tolong jaga nyala lilin ini hingga lilinnya hilang.”

Aku tak tahu mesti berkata apa. Tugas menjaga nyala lilin serasa tugas menjaga seluruh semesta. Perasaan tegang menjalar di tubuh. Lelaki renta itu memejamkan mata, komat-kamit, kemudian dgn begitu saja tubuhnya lenyap. Aku terkesiap. Di depanku sekarang berdiri seekor burung. Tak pernah kulihat burung mirip itu. Wujudnya sebesar kalkun, tetapi seluruh bulunya hitam pekat. Kakinya panjang dgn selaput lembut & kelihatan mudah robek sebagaimana selaput di kaki angsa. Burung itu menjulurkan kepala, paruhnya terlihat terus-saluran meludahkan cairan merah. Burung itu melihat padaku & mendengking serupa anjing. Seperti diingatkan, kulindungi nyala lilin dgn lebih hati-hati. Burung itu mengambil ancang-ancang, kemudian sayapnya mengepak & tubuhnya pelanpelan terangkat ke udara. Begitu sampai di ketinggian tertentu, burung itu eksklusif melesat seperti pesawat. Aku masih tak mampu berpikir jernih, daya tangkapku berantakan seolah-olah terpuruk dlm mimpi jelek. Sampai tak kusadari lilin di tanganku sudah lenyap berganti segulung sobekan kain kumal & lembap.

  Kakek Pencari Kayu Bakar | Cerpen Ratna Ning

Kubuka gulungan kain. Ada lima baris tulisan di atasnya. Kubaca baris per baris & setiap akhir baris-baris itu langsung terhapus. Tanpa bermaksud menghafal, goresan pena itu menyumpal pikiran & tak bisa hilang seolah bakal kekal.

Berpekan-pekan sesudah insiden itu, mantra kakek tua terus terngiang-ngiang di indera pendengaran. Seperti ada desakan mencoba. Makin lama kupikir makin berpengaruh desakan itu. Tapi tak ada situasi bisa memaksa. Sampai gue berjumpa Teo.

Teo sobat masa kecilku. Kami berkembang bersama, meski nasib kami berlawanan. Sudah lama kami tak bersua, semenjak Teo pergi ke lain provinsi untuk bekerja di perusahaan tambang. Beberapa waktu kemudian Teo kembali membawa persoalan: ia melarikan diri, meninggalkan tumpukan utang. Tentu gue tak mampu menangani persoalannya. Seperti kubilang, nasib kami berbeda; ia pernah jadi orang kaya, gue masih sama saja semenjak remaja. Kenyataan itu membuatku sedikit tidak senang Teo. Maksudku, semestinya kami tetap bersama, sama-sama sulit & sebaliknya sama-sama bahagia. Pernah perasaan terkhianati muncul dlm hatiku tatkala Teo hendak pergi ke lain provinsi.

Pada masa kecil kami tergolong bocah nakal yg acap berbuat kriminal. Mencuri dagangan orang di pasar, menggedor pintu rumah di pinggir jalan, curang tatkala bermain dgn mitra-kawan, main domino dgn uang hasil curian, sering bolos sekolah & melakukan hal-hal yg membuat guru marah. Itu kenakalan-kenakalan kecil yg tatkala kami beranjak dewasa menguap begitu saja. Namun konferensi dgn Teo seperti menghidupkan lagi ingatan-kenangan itu. Tatkala Teo menghadapi masalah & sebagai teman gue mesti menolong, mantra kakek tua seperti memperoleh waktu untuk bekerja.

Kami memilih rumah kosong ini, bukan hanya karena gue sering kumpul di sini bersama sahabat-temanku; tetapi pula lantaran daerah ini jarang disambangi orang lain. Rumah ini dianggap menakutkan. Orang sering melihat macam-macam penampakan. Juga bunyi-suara ajaib. Paling sering suara-bunyi hewan yg tak mungkin ada di sekeliling sini; harimau, gajah, atau bunyi yg diduga berasal dr binatang yg tak diketahui namanya. Namun gue & sahabat-temanku tak pernah melihat atau mendengar apa pun. Kami, tentu saja, tak menceritakan itu pada orang-orang. Kadang malah kami mengaku menyaksikan hal-hal mengerikan di rumah ini, biar mereka makin yakin & kami bisa bebas memakai rumah ini selaku tempat berkumpul.

  Eksis | Cerpen Yudhistira ANM Massardi

Di rumah ini, setelah membaca mantra, Teo berganti jadi belibis.

Aku tak tahu kenapa mampu begitu. Kukira ia akan berubah jadi sosok tak terlihat, hingga bisa praktis masuk ke tempat tinggal semua orang untuk mengambil duit mereka, mirip yg ia inginkan. Angin yg tadi menciptakan pintu & jendela berderak-derak, kini menyusut. Hujan turun, tak begitu lebat, & kudengar di luar tindakan orang berlari mendekat. Teo yg sudah jadi belibis berkwek-kwek.

Aku tidak yakin. Kalau lilin kupadamkan, Teo akan selamanya terjebak dlm wujud belibis. Pintu digedor. Seseorang mengundang namaku, disusul seseorang yg lain. Itu sahabat-sobat yg sering m*buk bersamaku. Karena tak ada balasan, salah satu di antara mereka berlangsung ke arah jendela yg pribadi menghadap ruang tempat gue & Teo berada. Kulihat wajahnya melekat di kaca, menengok ke dalam. Tiba-datang listrik menyala. Teman di luar menyaksikan seekor belibis dlm ruang yg terang benderang. Dengan girang, seraya menggedor-gedor beling, ia berkata, “Waaah, makan bebek panggang kita.”

Teo terlihat cemas. Sepertinya ia mendengar kata-kata temanku itu. Dalam keadaan begini, ide itu malah terdengar cemerlang. Memang telah lama gue tak makan belibis panggang. (*)