Lebih tiga pekan. Sejak dongeng tentangmu di media umum bertebaran. Tentang seorang ibu yg namanya tak pernah disebutkan & sepenggal pesan pada anaknya yg ia titipkan. Pada suatu pagi, Tika, anaknya berpamitan pergi, selaku seorang demonstran.
Kamu seorang diri sedang menanti anakmu mirip biasa, di depan sebuah televisi usang. Siaran sinetron yg biasa disiarkan secara tiba-tiba ananda abaikan. Berita singkat yg muncul di sela iklan membuatmu mengubah acara kesukaan dgn gosip di stasiun lainnya. Stasiun televisi yg dengan-cara eksklusif memberitakan agresi demo.
Tidak ada yg melampaui cemasnya seorang ibu tatkala itu. Kamu tahan debar dada saat sadar pukul tujuh malam ini anakmu belum mengetuk pintu. Untuk damai sekuat-kuatnya ananda berusaha meskipun ada segunung kecemasan tumbuh mengakar dr dada ke kepala.
“Dinda, ananda di mana?” tanyamu seketika sembari menjangkau ponsel di atas meja.
Sepasang matamu tak berhenti memandang layar televisi. Kamu menyaksikan almamater warna-warni. Kuning, biru, hijau, merah, jingga, warna apa saja. Saat itu yg mana anakmu kau tak mampu menduga. Serupa semut mereka.
Ponsel anakmu tak aktif. Operator yg menyampaikan notif. Pandangan matamu seolah tertutup jerebu yang serupa di luar situ, berkabut & abu-debu. Rasanya hangat & bulir-bulir air mengalir ke bibir yg kau gigit berpengaruh-besar lengan berkuasa. “Kamu di mana, Nak?” dadamu sesak.
Siang tadi, di depan sebuah gedung, langit beberapa hari ini mendung, tetapi belum pula hujan. Sementara, nyanyian katak terus terdengar hingga katak-katak itu serak. Matahari sudah merah, murka. Ronanya lama diselimuti asap dr Sumatra. Hutan-hutan terbakar bahkan ular & monyet liar.
Marahnya matahari sampai pula di kepala mahasiswa. Menembus kabut asap tebal, merasuki bahkan ke kepala manusia bebal. Yang selama ini tak peduli betapa tanah yg ia pijak sedang dlm kondisi ngeri.
Terbakarnya hutan di pulau barat negeri, berembus ke mana saja dgn angin yg memegang kontrol. Sesak sekali. Bagaimana pemimpin negeri? Ini kan buah dr investasi?
Ketika pertanyaan semacam itu mengetuk pintu sebuah ruangan di tengah ibu kota provinsi, pemilik kepala pergi, berkeliaran, ke Thailand.
Pertanyaan menanjak ke kursi yg lebih tinggi, tetapi tentu semua jauh hari sudah diantisipasi. “Bicara kau soal investasi! Kau bilang jangan alergi! Kau buat oligarki!” teriak seseorang dgn ikat kepala merah putih & pengeras suara di tangan kirinya.
Siaran info terus mengalir tak putus-putus. Kamu, seorang ibu yg tadi itu, masih menanti bunyi ketukan pintu. Jam dinding sudah memberikan pukul setengah sembilan. Kamu ditelan kegundahan, anakmu perempuan.
Teriakan menjadi-jadi menolak banyak hal yg tak bisa diterima oleh mereka yg punya otak. Negeri ini nyatanya dijadikan lahan tambang. Julukan tanah surga terang sebentar waktu bisa tumbang. Mereka bisa membaca apa yg tak lantang dimaksudkan desain undang-undang yg sembarang. Bertitik tolaklah seluruhnya pada suatu kata serakah.
“Kau di mana?” tanya sebuah bunyi lewat ponselnya. Pada seorang kawan yg tak tiba.
“Di rumah. Buat apa sih kalian turun ke jalan? Aksi tidak berguna, sementara para penguasa cuma tutup mata!” balasnya.
“Rupanya kamu cuma punya kepala, tapi tak ada otaknya.”
Kawannya hanya diam menanti kalimat lanjutan yg agaknya akan lebih tajam.
“Aku tahu kau takut mati, tapi menimbang-nimbang diri sendiri & tak berjuang untuk menyelamatkan anak-cucumu di masa depan nanti, sama saja kau tak perlu hidup sama sekali. Neraka sudah menunggu semenjak kamu menolak ajakanku tadi!”
Telepon diputus. Kawan yg baru selesai bertadarus menutup kitab suci, melipat sajadah yg didudukinya tadi, & mengenakan almamater yg ia simpan di lemari.
“Ibu, Dinda pamit,” katanya.
“Pergi ke mana, Nak?” tanyamu. Kamu, ibu dr anak wanita berjulukan Dinda itu.
“Ke…,” Dinda ragu menjawab tanyamu. Khawatir tak dapat restu.
“Gedung Wakil Rakyat,” ia akibatnya menjawab meski lambat. Kamu lihat almamater yg ia sandang di lengan sebelah kanan.
Kamu lihat wajah yg sebelumnya tak pernah diliputi resah & marah. Seperti tatkala ia berpamitan sesudah subuhnya.
Kamu menghirup napas dalam. Kamu lewati ia sendiri di pintu depan, sementara tangannya menggantung menanti jawaban salam. Dinda menunggu.
Kamu kembali dgn sebotol air minum, kemudian berkata, “Nak, tak perlu tanya rasa khawatirku padamu, namun ibu punya pesan & tolong ananda patrikan, ananda akan kembali pulang. Ibu bekalkan ini & doa yg panjang dr sini. Selamat berjuang, Nak!”
Dinda memelukmu. Gemetar ia. “Terima kasih, Bu!” katanya & kemudian bergegas pergi. Meninggalkanmu di rumah sendiri.
Di sebuah ruangan yg entah di mana, kesepakatan-kesepakatan dibuat tanpa perlu dibahas atau ditanya. Rencana-planning dibangun semudah berbelanja kereta kencana dr pembuatnya yg tak paham dgn harga. Tapi, mahasiswa itu bukan si pembuat kereta. Mereka tak mampu ditawar bahkan dgn sogokan beasiswa sampai sarjana atau undangan ke istana.
Bukan hanya mereka, siapa pun tentu tak akan bungkam tatkala meyadari bahwa negeri sedang dijual membisu-membisu. Rancangan undang-undang yg dibuat hingga asap yg membuat semua orang batuk, tentu tak dirancang oleh seseorang dlm keadaan ngantuk. Mereka pasti sadar, sesadar bahwa atas akad-janjinya mereka sudah ingkar. Hanya saja, mereka pura-pura lupa, pura-pura tak memiliki mata & telinga.
Iklan memutus gosip agresi demo beberapa menit. Dadamu mulai sakit. Meski ananda ingat pagi tadi sudah beri restu, namun selaku seorang ibu, cemas sudah jelas akan menggebu-gebu. Di layar bermunculan promosi produk yg saling berebut cari konsumen, mulai dr cara paling amatir sampai mencoba membayar artis paling mahal dr luar negeri untuk membintangi iklan semoga dipercayai canggih.
Terkadang perjuangan mereka membuahkan hasil. Konsumen berbelanja produk atas dasar nilai tanda, bukan nilai guna. Mereka akan membeli barang yg iklannya dibintangi oleh sang idola, bukan berbelanja karena mereka butuh apa. Apalagi, masa ini, dianggap jauh lebih baik kualitasnya produk luar negeri, permainan pun dimulai sejak pengertian demikian terjadi.
Kamu, duduk di sebuah bangku, yg semula jadi tempat duduk ketika menjahit baju. Kamu menyaksikan beberapa helai baju yg ananda jahit dgn pahit. Beberapa dr mereka berbahan sutera impor. Empunya kain menyampaikan, ia berbelanja karena merek sutera itu sedang bergengsi & harganya sangat tinggi.
“Orang pasti tahu, siapa yg mewah bila sudah pakai baju yg materi dasarnya sutera itu,” kata si konsumen. Sambil sesekali tangannya yg dihiasi jam buatan mancanegara ia kibas-kibaskan ke kanan & ke kiri.
Tiba-tiba ananda merindukan suamimu, seorang buruh pabrik pengolahan sutera setempat di kota kecil daerah tinggalmu. Selang beberapa bulan sebelum Dinda berpamitan tadi, pabrik itu terbakar habis & suamimu terkurung di sana bareng buruh lainnya & tak mampu menyelamatkan diri. Tiba-tiba kian sesak dadamu.
“Kau yakin kita butuh investor?” tanya seorang lelaki yg membonceng Dinda.
“Tidak.”
“Kenapa?”
“Negeri kita kaya-raya. Tentu saja. Apa saja ada. Laut kita kaya, hutan rimba kita raya, rempah-rempah pula ada.”
“Apa kau tahu, kita bukan pemilik negeri ini lagi. Jangankan rempah-rempah, remah-remahnya saja gue masih sangsi.”
Dinda terus mempertahankan pendengarannya tetap terang di tengah-tengah perjalanan yg masih jauh saja.
“Yang kau bilang kaya & raya itu akan diekspor ke mancanegara. Kenapa dijual? Karena negeri ini butuh uang alasannya adalah banyak utang. Ini peluang? Terang! Banyak negara yg akan berinvestasi, tapi pasti butuh keleluasaan yg itu & yg ini, butuh jalan besar & jalan mini. Kau paham aturan ekonomi? Aku lupa kalimatnya, tetapi gue punya misalnya. Pembeli yg cerdas akan mencari cacat barang yg akan dibeli dr pedagang terbelakang yg terlihat butuh uang sekali. Kau paham?”
Dinda mengangguk. Lemas tapi marah. Tiba-tiba helm Dinda terantuk. Lelaki itu mengerem secara tiba-tiba & dr mulutnya mengalir darah. Dadanya disarangi peluru besi. Jalan yg mereka lewati sangat sepi. Ia menyaksikan ke segala segi. Tidak ada sesiapa yg terlihat di matanya. Motor yg secara tiba-tiba oleng & roboh ditinggalkannya. Ditarik lelaki itu ke suatu toko yg masih tutup. Kemudian, teriakan minta tolong terdengar sayup-sayup.
Kamu beranjak dr kawasan duduk, mengambil segelas air untuk tenggorokanmu yg sedari tadi sudah terbatuk-batuk. Air sudah habis satu gelas. Kamu menoleh ke jam dinding yg menunjukkan angka sebelas.
Televisi masih memberitakan informasi agresi demo tadi siang. Seorang mahasiswa dinyatakan meninggal dunia disebabkan pukulan benda tumpul di kepala & mengalami patah tulang. Yang tersisa kali itu hanya doa & cita-cita mudah-mudahan anakmu malam ini pulang.
Dua sahabat datang tatkala Dinda tengah menunggui teman lelakinya tadi di lorong rumah sakit. Satu orang menggantikannya untuk mempertahankan laki-laki itu & seorang lain nya pergi dgn Dinda—ke barisan depan.
Dinda merasa gemeletar lebih hebat dr sebelumnya, tapi saat itu juga tak ada gentar lagi tatkala ingat bagaimana temannya ditembak dengan-cara misterius di jalan sepi.
“Kau baik saja?” tanya sobat yg menjemputnya di rumah sakit barusan, kali ini perempuan.
Dinda mengangguk. Lantas mereka berjalan tegap dgn amarah yg betul-betul menumpuk.
Mereka tahu siapa teman laki-laki yg gres saja tertembak itu. Namanya Dewa. Salah satu ahli siber yang memegang suatu akun media umum berisi gerakan pencetus. Tidak usang sesudah postingan penyeruan aksi demo yg ia bagikan di akun tersebut, rupanya ia sudah menjadi intaian seseorang bersenjata api.
“Barang kali sudah lama Dewa ditargetkan, hanya saja mereka belum memiliki potensi . Tentu semua sudah dijadwalkan, Dinda. Jika tidak, bagaimana mereka tahu Dewa akan lewat di jalan Sisingamangaraja?” terang sahabat perempuan.
Jalanan macet. Halaman gedung dipenuhi mahasiswa. Poster-poster perlawanan diangkat tinggi-tinggi, sorak-sorai perlawanan diserukan nyaring sekali.
Dinda turun dr motornya, ia kenakan almamater & pita merah putih di lengannya. Ia maju, menyerbu, merebut megafon yg sementara berhenti digunakan alasannya adalah pemiliknya sedang minum diemperan jalan. “Tuan! Kau bukan Tuhan!” teriaknya.
Kamu tak mengantuk. Kamu masih menunggu pintu itu diketuk. Matamu tertuju hanya pada titik itu. Pada sebidang kayu berwarna debu-debu.
“Bu,” terdengar sebuah bunyi dr luar sana.
Kamu beranjak cepat, tapi bibirmu masih terkatup rapat. Menahan isak & air mata yg tak bisa kamu sumbat.
Kamu menemukan Dinda, anakmu pulang dgn wajah letih & segores luka di pipinya. Kamu peluk ia dgn segera.
Lewat tengah malam ini, Dinda masih belum mampu memejamkan matanya. Kamu di sampingnya, memeluk anakmu di serpihan perutnya.
Laptop Dinda masih menyala di atas meja. Sebuah tulisan ia kirimkan ke suatu alamat surat elektronik. Ia sedang menunggu jawaban.
Dalam benaknya tak ada lain selain harap; ananda akan baik saja seandainya ia disergap. “Atau, bersediakah ananda menabur bunga, Ibuku?” [*]