Lelaki yang Menjadi Api | Cerpen Hendy Pratama

SIAPA yg tak mengenal laki-laki itu? Hampir semua penghuni terminal niscaya tahu, siapa lelaki yg memakai topi bucket dgn kaus lusuh & kantong plastik di tangannya itu. Ialah Kasmadi, seorang gelandangan yg merangkap pengemis. Saban pagi, Kasmadi bersungguh-sungguh mengunjungi terminal hanya untuk sesuap nasi. Tangannya lihai betul menengadah. Hafal benar tekstur uang logam. Tahu mana orang baik & siapa yg pelit. Tetapi, simpulan-final ini ia menghilang. Apakah Kasmadi sudah mati?

Aku tergolong salah seorang yg mengenalnya. Sebelum Kasmadi menghilang, gue terbilang erat dengannya. Perjumpaanku dgn laki-laki itu dengan-cara tak sengaja, yakni kala gue menjemput kawanku di terminal Purbaya. Suntuk menunggu, gue membaca koran di halaman terminal. Kasmadi mendatangiku dgn wajah iba. Tangannya menengadah & sedikit gemetar. Otot-ototnya konkret. Kelaparan bagai anai-anai yg gemar mengerip badan bayanya. Dengan mata sayu, ia meminta sedikit duit padaku.

“Berilah potensi hidup untukku,” pintanya dgn kantong plastik yg diangkat & kulihat, isinya cuma serakan duit logam yg tak bermakna banyak. “Aku belum sarapan, perutku sakit, & mungkin malamnya gue akan mati.”

Kata-katanya membuatku iba. Kupikir, ia lebih cocok jadi penyair, bukan pengemis. Dari apa yg barusan dibilang, ia terlihat terlatih menjadi pengemis. Barangkali, sudah puluhan tahun ia menggantungkan hidup melalui belas kasih orang lain. Karena itu, apa yg diucapkan benar-benar menurut kondisi yg sudah lama dirasakannya. Hal yg sejatinya dapat menciptakan orang lain menangis. Maka, seandainya pindah profesi jadi pencipta syair, kuduga ia bakal berhasil. Namun, gue pula menerka bahwa laki-laki itu tak mengenal puisi. Hingga menetapkan menjalani pekerjaannya mirip kini ini.

“Terima kasih. Sungguh, gue tak pernah menerima duit sebegini banyaknya. Tuhan sudah merencanakan surga untukmu. Dan gue rela jadi saksi atas kebaikanmu,” ucap Kasmadi, ia mencium tanganku berkali-kali.

Baca juga: Setelah Seekor Kijang Mati – Cerpen Mahfud Ridwan (Minggu Pagi No 23 Th 72 Minggu II September 2019)

  Kuda Emas | Cerpen Tawakal M. Iqbal

Sejak dikala itulah, gue sering mendatangi terminal hanya untuk melihatnya tetap hidup. Sayangnya, kurasa tiada orang yg sedermawan diriku. Aku tak arogan. Begitulah kenyataannya. Kerap kali kulihat, beberapa orang justru berlaku bernafsu padanya.

Kasmadi pernah ditendang preman, pernah pula dipukul alasannya masalah sepele. Aku menyaksikan dgn mata kepalaku sendiri, bagaimana Asep, preman terminal itu, menganiaya Kasmadi belasan kali. Seberapa sering pengemis itu memohon ampun, sesering pula Asep melukai tubuh & hatinya. Wajah iba Kasmadi terasa jadi lebih iba. Memar & lebam jadi riasan yg membuat hatiku sedih.

“Katanya, gue mengambil jatah Asep,” ungkap Kasmadi, tatkala bertemu denganku di sebuah bangunan terbengkalai dekat terminal.

“Bukannya Asep sudah punya jatah iuran keamanan?”

“Mungkin, ia iri padaku. Kalau dibandingkan, penghasilanku jauh lebih besar dr pendapatannya. Atas dasar itulah, Asep berencana mengusirku dr terminal ini. Padahal, gue berada di terminal ini jauh lebih dahulu daripadanya.”

“Tapi, kenapa bapak tak melawan?”

“Tentu saja alasannya adalah gue tak kuasa bertandingdengannya.”

Siang itu, gue mengantar Kasmadi ke lepau Bu Darsi buat menghalau lapar. Kukatakan padanya bahwa tak perlu menimbang-nimbang dgn apa ia harus membayarnya. Aku punya cukup uang untuk berbelanja dua piring nasi kucing. Ia mengangguk & ucapan terima kasih bertubi-tubi masuk ke lorong telingaku. “Kamu mirip malaikat!”

Di lepau Bu Darsi, Kasmadi mengaku punya bakat abnormal.

“Sudah dua puluh tahun lebih gue menjadi pengemis. Dan, selama itu pula gue kerap menerima perlakuan bernafsu dr orang-orang. Si Asep tentu bukanlah yg pertama kali. Aku pernah digelandang Satpol PP & mereka menyeretku menuju kantor. Aku diintrogasi sembari dipukul dgn pentungan berkali-kali. Kepalaku mirip semangka yg jatuh dr atas. Tatkala gue tak menjelaskan dgn benar, mereka menghantam kepalaku.”

Baca juga: Halte yg Tertinggal – Cerpen Is’adur Rofiq (Minggu Pagi No 20 Th 72 Minggu IV Agustus 2019)

Aku menyimak kisah Kasmadi. Aku yakin bahwa ia butuh didengarkan. Sulit mencari seseorang yg memerhatikan kehidupan penduduk kecil seperti Kasmadi di terminal ini. Untuk itu, gue kepincut menyimak kisahnya. Siapa tahu gue bisa bantu.

  Yang Terpenjara Waktu | Cerpen Zhizhi Siregar

“Andai ananda tahu, Nak… gue mampu menyimpan api dlm dada,” lanjut Kasmadi.

“Maksud bapak dgn api?”

“Tuhan telah memberiku bakat ajaib itu. Orang mengira gue pengemis biasa. Hidup hanya bergantung belas kasih orang lain. Tapi, gue merasakan hal yg berlainan. Tiap kali gue diperlakukan garang, gue mencicipi percik api di dlm dada. Dan, anehnya, gue dapat menyimpan api-api itu. Suatu saat, api dlm dadaku akan terkumpul & membengkak. Itulah bakat asing yg kumiliki. Dan, belum pernah kuberitahukan pada siapapun selain padamu, Nak. Kupikir, ananda perlu mengetahui bakat anehku itu.”

“Itulah kekuatan paling besar yg kumiliki,” imbuh Kasmadi & seketika gue jadi gundah bukan main. Mulanya, kukira Kasmadi membual. Kerusakan terjadi di kepalanya & sebab itu, ia mulai ngelantur. Tapi, gue pula tak tahu jikalau perkataannya memanglah suatu kebenaran. Aku cuma mengangguk sembari mengamini pengakuannya itu.

*****

Hampir setahun lamanya, tak kutemui Kasmadi melewar di terminal Purbaya. Separuh orang memercayai bahwa ia telah mati. Pengemis itu terbilang keras kepala. Seandainya, gerombolan Satpol PP menyeretnya, mengusirnya dr muka terminal, pastilah ia bakal tiba lagi esok hari. Bahkan preman sekelas Asep pun tak mampu menjadikannya hengkang. Maka, tatkala kudengar kabar bahwa Kasmadi tak lagi mengunjungi terminal, dugaanku tak lain ialah pengemis itu sudah mati.

“Bisa jadi ia bunuh diri. Kejemuannya kepada kemiskinan yg tak kunjung sudah, pastilah menjadikannya menuntaskan hidup,” duga salah seorang ojek terminal.

“Atau, Kasmadi mati ketabrak truk.”

“Barangkali, pengemis itu mati alasannya kelaparan.”

Aku belum tahu, apakah Kasmadi betul-betul sudah mati atau belum. Mulanya, gue memang mengira ia mati. Tapi, sesekali, gue pernah melihat seseorang yg ibarat dgn Kasmadi di terminal. Ia berjalan begitu cepat & kadang-kadang menegok ke arahku. Raut wajahnya sama persis dgn Kasmadi. Begitu banyak kerutan & bermata sipit. Wajah iba. Ciri khas dr pengemis yg kukenal itu. Ia pula memakai topi bucket & kaus lusuh. Pula, kantong plastik di tangannya. Mungkinkah Kasmadi bereinkarnasi?

  Tentang Seorang Yang Membunuh Keadilan di Penjaga Konstitusi | Cerpen Remy Sylado

Sepeninggalan pengemis itu, terminal Purbaya jadi semrawut. Asep berulah, orang-orang menjadi korban kekerasannya. Sebagian pedagang menolak memberi uang keamanan & tatkala Asep mendapati hal itu, tanpa pikir panjang, ia porak-porandakan barang jualan orang itu. Gerombolan Satpol PP tiba untuk menyeret Asep. Namun, preman itu tak terima & melakukan perlawanan. Baku hantam tak dapat dielakkan.

Perkelahian yg terjadi di terminal itu mengingatkanku pada sosok Kasmadi. Setelah ia pergi, gue jadi mengetahui, kenapa ia tak melawan Asep & orang-orang yg dgn semena-mena memperlakukannya dgn garang.

“Aku sengaja mengalah. Tidak semua yg keras mesti dibalas dgn kerikil. Bila itu terjadi, kehancuran bakal tiba lebih awal. Makanya, tatkala seseorang menyakitiku, gue sengaja diam. Menjadikan amarah dlm dada jelma percik api. Namun, gue pula sadar bahwa api yg kusimpan dlm dada bakal terkumpul & membengkak. Ada masanya, dada ini akan meledak & meluluhlantakkan segala hal.” Begitu kata-katanya yg kuingat.

Di kala kericuhan mencapai puncaknya, kujumpai api menjalar dr lepau Bu Darsi. Lambat laun, api itu makin besar & besar. Hingga, kebakaran melanda terminal. Orang-orang kalang kabut berlarian tak keruan juntrungan. Sebagian mengambil motor & berlari menyelamatkan diri. Sebagian lain masih terkurung dlm kerumunan di perut terminal. Si Asep kutemui hangus terpanggang bersama tiga orang Satpol PP di dlm terminal.

“Api mulai memperabukan dadaku,” seru salah seorang yg tak kukenal.

“Kobarnya tentang ulu hatiku & sebagian menghanguskan perasaanku!”

“Kakiku terpanggang!”

“Sebentar lagi, gue bakal menjadi jelaga.”

Orang-orang berupaya kabur dr tragedi, sementara gue sukses menyelinap keluar dr kerumunan. Kaki-kakiku kepayahan & seluruh tubuhku terasa panas. Untung saja gue sukses mengelak dr reruntuhan bagunan yg pondasinya dikonsumsi api. Kini, gue terkapar di seberang jalan. Mataku menatap api raksasa yg beringas. “Mungkinkah ia Kasmadi—apakah sudah berhasil jadi api?”. [*]