Labirin | Cerpen Khoirul Prasetyo Utomo


Desa kini sudah kehilangan desanya.

Anak desa kini kehilangan rumahnya.
Mereka ngekos di bibir kota.
Beberapa menjadi gelandangan
di desanya sendiri.

*****

SENJA kali ini bercaping mega di pengujung cakrawala. Dan langit masih menampakkan sedikit blush on di bawah kelopak mata senja. Sedang gue masih berenang dlm lautan pertanyaan di bibir beranda rumah.

“Sebenarnya gue ini di mana?” Secangkir kopi yg terbuat dr keringat cuek petani kembali gue seruput sembari menikmati hari-hari yg kian redup ditelan derasnya arus zaman yg tak kunjung jenuh menyeruput secawan kehidupan. Atau mungkin arus zaman sudah kecanduan. Entahlah.

Hari kian surup. Tonggeret masih bernyanyi di bawah ketiak ranting-ranting kering pohon kemuning. Prenjak jantan & betina masih berbalas puisi dlm ruang melodi keasrian. Mereka saling mengolaborasikan rima dgn penuh irama di ujung ranting pohon cengkih yg daunnya baru meremajakan diri.

Setiap senja di belakang rumah, pohon-pohon seperti panggung akbar pementasan musik. Tonggeret, Prenjak, Ciblek, Kutilang, Deruk, seluruhnya bernyanyi di panggung masing-masing. Mereka, kaum hewan, menyanyikan kegembiraan bunyi batin dgn sarat ketulusan. Kemunafikan pun tak terlihat sedikit pun dr alunan mereka. Mereka sungguh menikmati alam. Mereka lebur, menyatu, & diramu oleh alam. Mereka hidup atas nama cinta & kesadaran.

Alam, tumbuhan, pepohonan, & binatang saling bergandengan dlm mewujudkan ekosistem keabadian. Alam membalas ketulusan cinta kaum hewan dgn menyuburkan tanaman pun pepohonan. Pepohonan menuangkan kesyukurannya dgn merindangkan daunnya, mengokohkan rantingnya untuk rumah kaum binatang. Agar mereka tak kedinginan tatkala langit meneteskan air matanya. Agar mereka tak jatuh sebab rantingnya patah tersapu angin yg menyuarakan kegalauan.

Aku lebur dlm nyanyian-nyanyian alam. Aku tersungkur dlm cinta sisi tiga alam, pepohonan, & kaum binatang. Aku pun hanyut pada bisik angin ihwal padi yg sudah mulai menguning. Mengisyaratkan ekspresi dominan layang-layang akan secepatnya tiba & kami tersenyum alasannya lumbung tak lagi menjadi kawasan penyimpanan angin & aula reuni kecoak & bala pasukan serangga. Dan tanpa kusadari air mata sudah mendarat di dermaga bibirku.

  Kaos Hitam, Payung Hitam | Cerpen Putu Oka Sukanta

Secangkir kopi yg sudah jauh meninggalkan bibirku kembali gue seruput. Kali ini agak pahit. Mungkin terlalu kental dr lazimnya atau mungkin ibu terlalu buru-buru mengaduknya.

Aku rindu tatkala desa masih menjadi desa, tatkala desa masih hidup dlm jati diri kedesaannya. Sekarang gue tak tahu gue di mana. Aku kehilangan gelombang desa. Kompas desaku hilang tersapu angin kematian zaman. Desaku sekarang sudah tak desa lagi.” Batinku dlm pusara rasa yg menolak lupa nuansa desa. Rindu tak henti menghantui, sedangkan kebimbangan tak bosan menggerayangi angan.

Kala itu, tatkala gerhana, dr sudut kamar gue mencium aroma yg diantarkan angin melalui lubang-lubang kecil jendelaku. Sepertinya sudah tak gila lagi aroma yg tanpa permisi menyusupi kamarku, kemudian mengobrak-abrik hidungku. Aroma itu benar. Oseng-oseng bumbu kota yg diolah penduduk di dapur-dapur kehidupan yg disuguhkan dlm sepiring polah tingkah.” Batinku masih bergemuruh kata-kata. Rerinduan makin erat memeluk hingga napasku sesak.

Senja kian murung. Ia mulai menangis. Raut mukanya kusam, seperti letih menahan kecemburuan. Sebab, kali ini senja dicari cuma untuk menuliskan kisah cinta, rindu, & hanya sedikit yg mencarinya dgn argumentasi ingin kembali bercinta. Tidak mirip masa lalu saat senja ialah kisah cinta yg tak terlupa. Ia hadir menenteramkan kekhawatiran. Ia yakni rumah untuk berebah tatkala lelah menuliskan cerita di sawah. Ia yaitu puisi-puisi yg terus dipuisikan & ditulis oleh puisi itu sendiri. Ia ialah peluk hangat kekasih tatkala diri letih. Semburat matanya yg menenteng rona jingga sekarang redup.

Senja kelak hanya dongeng. Seperti halnya desa. Desa sudah kehilangan desanya. Saking lamanya kehilangan, bukan cuma desa yg hilang. Namun rasa kehilangan akan desa pun sekarang pula mulai hilang. Bahkan ada yg sungguh-sungguh lenyap.

Dua puluh empat tahun yg lalu, pohon kelengkeng ini masih kecil. Begitu pula aku. Setiap bakda asar kelengkeng merintih. Ia menangis kesakitan. Bagaimana tidak. Pada usia yg masih belia, saban hari mesti memikul beban yg begitu berat. Aku, Songep, Tugio adalah beban itu. Walaupun gue & kawanku selalu membebaninya, kelengkeng tak pernah protes. Apalagi melangsungkan aksi, menyodorkan segepok permintaan atas penindasan pun penyiksaan–membebani hidupnya–yang kami laksanakan dlm tempo yg tak dapat dikira-kira, & dlm waktu yg tak menentu.

  Menunggu | Cerpen Seno Gumira Ajidarma

Ia menyayangi kami. Setiap tahun meskipun cuma sekali, ia senantiasa membuat kami merasakan kebahagiaan yg lebih. Kelengkeng melahirkan buahnya. Dan kami yg selalu paling utama menghabisi buahnya. Orang bau tanah kami yakni saksi penindasan pun keberingasan yg kami kerjakan.

Kuseruput kembali kopiku yg sudah mulai bercumbu dgn ampas-ampas. Kopiku kini tandas. Sedang kerinduanku semakin menjadi. Burung prenjak kini tak lagi kujumpai di ujung ranting kelengkeng kering itu. Tak ada rumah prenjak lagi. Nyanyian-nyanyian prenjak kini tinggal kenangan. Prenjak cuma menyanyi di dlm kesepian, kenangan. Senja kian sunyi.

Kini gue hidup dlm peluk kenang.

Suara Mbah Suto yg mulai menyenja tertatih-tatih mengendarai udara membangunkan tidurku dlm kerinduan. Senja sudah tak lagi menampakkan ronanya. Rindang azan Magrib berkumandang. Ranting-ranting kering berzikir. Alam kali ini bersedih. Ia menumpahkan kesedihannya melalui rerintikan gerimis.

Langit meneteskan air matanya. Mengalir hingga ke pangkuan ibu bumi. Rerintikan itu bukan air hujan. Melainkan rerintikan rindu yg melahirkan genang kenang.

Kenang-kenang yg menggenang itu pun kembali lagi dlm pelukan hati ibu bumi. Lalu diteruskannya ke samudra perasaan melalui bakteri-bakteri pengirim pemikiran kenang di dasar bumi. Matahari kembali menyeruput rindu yg menggenang di samudra. Ia mengirimkannya pada awan. Awan kembali berbanjar memikul kenang. Ia menjelma menjadi langit. Langit kembali menangis. Dan rerintikan rindu kembali merintik, lalu melahirkan genang kenang di ibu bumi. Begitu seterusnya. Ekosistem rindu tak akan pernah berhenti. Rindu hidup di ruang baka. Dasar hati.

Riuh bunyi anak-anak yg melebur bareng tetua di langgar-langgar tak lagi mampu dipandangi. Zaman kian hari kian bergeser. Arus waktu berbanding terbalik. Tak ada lagi bunyi sarung-sarung yg diterbangkan. Tak ada lagi bunyi-suara riuh dr serambi langgar.

  Rumah Sebelum Tangga | Cerpen Kiki Sulistyo

Suara anak-anak tak lagi terdengar di jalan-jalan samping rumah. Jalan desa pula sunyi. Hanya terlihat beberapa pasang sarung yg sudah mulai lusuh & mukena yg mulai berganti warna, melambai-lambai dr kejauhan. Senyumnya merekah, mirip mekar kemboja di kuburan. Indah. Tulus. Tak ada sedikit pun saraf yg memancarkan aura kemunafikan.

Air mataku kembali bersandar di dermaga bibirku.

Langgar yg waktu itu mirip rumah sekarang sudah sepi. Penghuninya entah merantau ke mana, ngekos di mana, ngontrak di mana, transmigrasi ke mana. Atau malah langgar yg sudah dikontrakkan oleh zaman pada kesunyian baka. Entahlah.

Hanya lautan tanya yg kini menyelimuti pohon perasaanku. Kopiku sudah habis. Tak mungkin tanya itu bertemu jawab. Sebab siapa yg akan menjawab. Semua sedang dlm lautan tanya & dibelenggu rasa yg kehilangan rasa itu sendiri.

Semenjak asar sampai suara Mbah Suto menggema, gue tak lagi menjumpai masa kecilku yg senantiasa menghiasi seluruhku. Mataku tak lagi menatap belum dewasa dgn mata kaki berlumpur, menenteng kail pancing & ikan kotes yg bibirnya dirajut menggunakan lidi.

Mungkin ikan-ikan itu kini sudah berhijrah, mencari kehidupan baru di ruang baru. Atau mungkin kali di seberang sawah itu sekarang telah hanyut atau (di)tiada(kan) oleh zaman. Atau mungkin manusianya yg dileburkan peradaban sehingga desa kehilangan nuansa desanya. Entahlah. Angin peradaban begitu kencang meniup kedamaian.

Hari makin gelap, kelengkeng tak lagi kuasa menahan gerimis yg makin menjadi. Rerintikan itu mulai menghampiri ubun-ubunku yg bertengger di sebilah dingklik bambu di bawah rindang kelengkeng.

“Aku bahu-membahu di mana? Desaku kini kehilangan desanya. Desaku kini termakan zaman. Apakah yg dibilang Songep kala itu benar bahwa gadget sudah menculik desaku & perlahan-lahan memutilasinya?”

Aku memainkan cangkir kopiku. Sedikit sisa-sisa kopiku yg sudah berpeluk mesra dgn ampasnya perlahan-lahan gue seruput. Aku kembali masuk ke kamarku. Sialnya, aroma yg menyusup melalui lubang-lubang kecil jendelaku sekarang kian lekat. (*)