Air mata Madina menitik di atas telapak tangannya yg menengadah. Rapalan doa dr mulutnya mengalir bersama gerimis yg turun di sepertiga malam. Sementara, dr balik celah-celah jendela kamar, angin merasuk, & menggoyang-goyangkan cahaya lilin kecil yg menyala di samping tempat ia bersimpuh. Melalui hembusan angin itu, ia seolah bisa merasakan kekuatan Tuhan mengaliri seluruh ruang-ruang jiwanya & memberi ketenangan.
Hampir semalaman, ia tak mampu tidur dgn nyenyak. Setiap kali matanya terpejam, selalu saja paras lelaki itu membayang & menciptakan ia gelisah. Madina merasa tak tabah menanti hari esok. Sebab, pada pagi hari, sebelum panggilan shalat Jumat berkumandang dr masjid-masjid, pria yg ia cintai sudah berjanji akan datang menenteng kabar. ia berharap, kabar setuju yg tiba. Yaitu bahwa orang tua si lelaki “merestui” planning pernikahan mereka berdua.
Dalam remang cahaya lilin, Madina melaksanakan shalat tahajud di kamarnya. Listrik sedang mati karena alasannya yg tak begitu jelas. Gerimis sudah turun semenjak sore & seolah abadi dlm keteraturan yg monoton. Madina menyukai kondisi semacam ini. Bahkan, ia jadi makin ulet untuk shalat tahajud. Lebih-lebih, malam ini. Sebuah waktu panjang yg mesti ia lewati sebelum pagi tiba & segalanya akan berganti begitu pria itu tiba.
Namanya Rizal Ibnu Wathon, tetapi orang-orang karib memanggilnya “Gus Ijal” saja. Mereka sama-sama kuliah di jurusan Pendidikan Agama Islam & keakraban di antara kedua orang itu sudah terpupuk semenjak kuliah semester pertama. Gus Ijal sering membantu Madina dlm memahami materi-materi kuliah & mereka sering satu tim jika ada peran yg sifatnya kalangan.
Gus Ijal perjaka yg cerdas di mata Madina. Terutama, dlm urusan fikih, bahasa Arab, & kajian-kajian sejarah Islam. Tentu saja, hal tersebut tidak aneh. Sebab, Gus Ijal yaitu putra seorang kiai & ia pernah mondok di sebuah pesantren di Jawa Timur. Makara, soal keilmuan agama, Gus Ijal tergolong yg paling mumpuni di kelas perkuliahan. Madina tak tahu, apakah Gus Ijal pula mempunyai semacam kekaguman terhadap dirinya.
Gus Ijal bukan tipikal perjaka yg berakal menebar pesona. ia agak pemalu jikalau bicara dgn perempuan, meski tak dlm taraf yg mencemaskan. Oleh alhasil, Madina merasa kagetbukan main tatkala tiba-tiba Gus Ijal berkata ingin menikahinya setelah wisuda sarjana.
Pada mulanya, Madina agak ragu saat memikirkan apakah hendak mendapatkan ajakan Gus Ijal atau justru menolaknya. Namun, harus Madina akui, semua citra mengenai suami ideal ada pada sosok Gus Ijal: Lulusan pesantren, berwawasan luas, & jago urusan agama. Sebagai perempuan yg semenjak belia dididik dlm keluarga yg taat beragama, pasti sulit bagi Madina untuk menolak pesona Gus Ijal. Maka, sehabis mempertimbangkannya matang-matang, Madina pun menetapkan untuk menyetujui usul laki-laki itu.
Sayangnya, duduk perkara justru mendera sehabis Gus Ijal & Madina sudah sama-sama hendak mengenal lebih dalam. Masalah dimulai lantaran keluarga Gus Ijal menentang habis-habisan korelasi mereka dgn dalih keluarga Madina berlainan aliran dlm beragama Islam. Orang bau tanah Gus Ijal berafiliasi dgn salah satu organisasi masyarakat (ormas) Islam terbesar di negeri ini. Sedangkan, orang bau tanah Madina, mampu dibilang, merupakan simpatisan sebuah komunitas dakwah yg agak berlawanan dgn ormas tersebut.
Padahal, sebaliknya, orang tua Madina justru bahagia mengenali putrinya hendak menikah dgn pria yg paham agama. Meski, pada mulanya terjadi kegelisahan pula di lingkup keluarga wanita tersebut.
Madina memandang penolakan orang tua Gus Ijal tersebut tak adil. Apa salahnya berlainan dlm memahami agama? Bukankah, yg paling penting, keluarga kami masih sama-sama Islam? Demikian, pertanyaan-pertanyaan tersebut terus menggelayuti fikiran Madina.
Bagi Madina, Tuhan yaitu kebenaran sejati & setiap orang memiliki jalur masing-masing untuk menuju terhadap-Nya. Ibarat mendaki gunung, ada banyak jalur yg mampu ditempuh. Tentu, ia mengerti, bukan perkara gampang untuk meraih puncak. Sebab, seseorang mesti pintar menentukan jalur biar tak praktis kesasar & mesti mempersiapkan perbekalan yg sesuai supaya selamat hingga tujuan.
Madina menyaksikan orang tuanya tak sedang mengambil jalan yg sesat atau tak beres, sehingga layak untuk ditolak oleh keluarga Gus Ijal. Memang komunitas dakwah yg diikuti keluarganya mempunyai sistem berlawanan dlm memberikan fatwa Islam. Misalnya, sebulan sekali, sang bapak harus bepergian ke suatu tempat bersama komunitas yg ia ikuti untuk berdakwah selama, minimal, tiga hari. Kadang, mampu lebih, tergantung acara keagamaan dgn komunitasnya tersebut.
Sebelum pergi berdakwah ke suatu daerah, sang bapak akan memberi uang dgn jumlah yg sekiranya cukup untuk kebutuhan Madina & ibunya selama ditinggalkan. Selain itu, sang bapak pula mesti membebaskan dirinya dr utang atau tagihan pembayaran apa pun terlebih dahulu. Kemudian, selama pergi, ia pula tak boleh menelepon keluarganya sama sekali. Madina melihat kepergian sang bapak tatkala mengikuti agenda komunitas itu selaku latihan mengolah jiwa. Semacam ikhtiar menjauhkan diri dr kehidupan duniawi sebelum menuju ke haribaan Tuhan yg awet.
Bila sang bapak pergi, ibunya yg akan mengambil alih seluruh tanggung jawab. Kadang, jika perginya agak lama, beberapa sahabat dr komunitas akan berkunjung ke tempat tinggal. Memberi kabar wacana kondisi sang bapak pada Madina & ibunya. Meski tak jarang pula, mereka membantu dlm hal keuangan. Jika ibunya ikut sang bapak berdakwah, Madina lazimnya akan dititipkan ke kerabat terdekat.
Madina ingat, sang bapak pernah berkata bahwa tatkala seseorang keluar di jalan Allah, maka Allah-lah yg akan menjaga dia, keluarganya, serta harta bendanya, sehingga ia tak perlu ketakutan. Oleh alhasil, sang bapak tak pernah merasa berat hati kalau harus meninggalkan istri & anaknya untuk waktu yg cukup lama.
Tidak ada yg salah dgn cara beragama keluargaku, batin Madina. Bapaknya tak pernah menghujat mereka yg berasal dr ormas yg sama dgn keluarga Gus Ijal. Meski punya amaliah berbeda, mirip tahlil & segala macamnya. Memang, di satu sisi, sang bapak bantu-membantu tak begitu besar lengan berkuasa pijakan ilmu agamanya. Sebab ia cuma belajar memakai buku & bukan kitab dgn Arab gundul, seperti Gus Ijal. Itu pun tak banyak acuan, cuma yg diterbitkan oleh petinggi komunitas selaku rujukan.
Pada titik inilah, adakala, Madina merasa bapaknya belum layak untuk berdakwah. Karena, sebaiknya, orang memperkuat pijakan dasar agamanya lebih dahulu sebelum menggeluti berdakwah ke tengah masyarakat. Demikian pikir Madina. Meskipun begitu, ia tak pernah tega mematahkan semangat sang bapak yg senantiasa meluap-luap tiap kali hendak mengikuti kegiatan berkala komunitas tersebut.
Madina mengusap sisa air mata di pipinya. Lalu, ia berdiri & melepas mukena. Jarum jam sudah menunjuk pukul tiga lebih seperempat. Itu mempunyai arti, Subuh akan berlabuh sekitar satu jam lagi. Setelah melipat mukena, Madina beranjak ke kasur. Tapi, bayangan Gus Ijal masih saja belum lingsir dr pandangannya.
Ketika Madina menatap arah depan, ia melihat Gus Ijal. Tatkala Madina mengalihkan pandangan ke samping kanan, ia pula melihat Gus Ijal. Bahkan, Madina pun menyaksikan ia tatkala memandang galon, tumpukan piring kotor, laptop, baju-baju, rak buku, hingga cahaya api lilin yg temaram. Pendek kata, Gus Ijal seolah hadir di mana-mana.
Madina ingat, tiga hari yg lalu Gus Ijal menemuinya & menyampaikan soal sikap keberatan keluarganya. Kata Gus Ijal, salah seorang pamannya pernah berhaluan ke komunitas yg sama de ngan orang tua Madina. Sekarang, si paman kerap menentang tradisi amaliah yg dianut keluarga besar Gus Ijal. Mengatakan bahwa tahlilan itu bid’ah dan ziarah kubur sama dgn tindakan syirik. Oleh karena itu, boleh dikatakan kalau keluarga Gus Ijal merasa kecewa menyaksikan pergantian si paman tersebut & mereka menuding komunitas dakwah tempat orang renta Madina aktif berkegiatan selaku biang keladinya.
“Tidak semua yg berada di komunitas itu jadi mirip pamanmu,” sangkal Madina. “Aku belum pernah menyaksikan atau mendengar bapak-ibuku menghujat tradisi-tradisi amaliah ormas yg diikuti keluargamu. Selain itu, kamu pun tahu sendiri, bahwa gue dengan-cara langsung bahkan mengikuti beberapa tradisi ama liah ormas yg kamu ikuti. Aku ini Islam & bagiku semua golongan memiliki segi kebenarannya dlm beragama. Kau sendiri pula yakin mirip itu, bukan?”
“Masalahnya,” Gus Ijal tak kuasa memandang tampang Madina, “kita mesti terima kenyataan bahwa menikah bukan hanya mempersatukan dua orang, namun pula mempersatukan keluarga. Mungkin bapak atau ibumu tak begitu ketat, namun bagaimana dgn anggota komunitas lainnya? Bagaimana dgn keluargamu yg lain? Yang tak sealiran dgn kami dlm beramaliah?”
“Aku sudah meyakinkan bapak & ibuku. Mereka bersedia menerimamu,” kata Madina, “jadi kini giliranmu membujuk orang tuamu supaya bersedia menerimaku. Yakinkan mereka bahwa bapak & ibuku memang ikut komunitas itu, tetapi mereka tak suka menyalahkan atau bahkan mengkafirkan kelompok lain. Anggota komunitas itu banyak & orangnya bermacam-macam. Tapi, bapak & ibu tergolong rukun dgn tetangga-tetanggaku yg sebagian besar ikut dlm ormas, seperti keluargamu. Maka, kamu mesti menciptakan bapak-ibumu percaya. Itu jika kamu memang sungguh-sungguhingin menikah denganku.”
“Baiklah, beri gue waktu,” kata Gus Ijal, “akan kutemui lagi orang tuaku.”
“Sampai kapan gue harus menanti?”
“Jumat pagi, gue akan tiba dgn membawa kabar. Aku janji.”
Demikianlah perbincangan antara Gus Ijal dgn Madina. Kini, Madina mesti bersiap menerima apa pun kabar yg Gus Ijal bawa besok.
Madina berusaha memejamkan matanya yg masih sembap. Sembari menanti Jumat pagi tiba, ia memikirkan kenapa antar golongan saling mempertikaikan kebenaran menurut mereka ke aneka macam lini kehidupan, bukan malah meyakini kebenaran itu dlm sunyi & perlahan mewujudkannya dlm cinta, rasa kasih sayang pada sesama, atau minimal menyediakan ruang-ruang untuk melebur perbedaan.(*)