SEJAK Mak Onah bercerita wacana kuda sembrani, Ragil mencarinya ke setiap sudut kota. Malam ini, entah hari ke berapa ia mencari. Biasanya, ia ditemani Ranu. Namun, adiknya itu demam sejak kemarin. Panasnya makin meninggi meski sudah diberi obat & kompres jarang lepas dr dahi.
Sejujurnya, Ragil merasa sepi. Biasanya Ranu tak henti bicara di sepanjang pencarian mereka hingga terkadang Ragil kesal & menyuruhnya pulang. Namun, Ranu tak pernah mau disuruh pulang karena mirip kakaknya, ia ingin bertemu kuda sembrani.
“Mak, kuda sembrani itu mirip apa?” tanya Ragil memotong dongeng Mak Onah, ratusan malam silam.
“Dia kuda yg sungguh gagah. Badannya besar. Bulunya tebal & putih bersinar. Sayapnya lebar. Kau lihat tangan Emak? Panjangnya lima kali lipat tangan ini,” jawab Mak Onah.
“Dengan sayap itu ia mampu melayang kan, Mak?”
“Dia mampu membawamu terbang ke mana saja. Kalau perlu sampai ke bintang. Dari sanalah ia berasal.”
Ragil memandang bintang, sementara kakinya terus melangkah. Ada banyak bintang di langit sana. Andai ia tahu bintang yg mana, niscaya pencariannya akan lebih gampang. Yang perlu ia lakukan cuma memandang bintang itu, menunggu dgn tabah sampai kuda sembrani muncul, kemudian ia akan memburu ke mana pun kuda itu pergi.
“Sembrani bukan sembarang kuda,” kata Mak Onah, “Dia bisa mengabulkan apa saja yg kalian minta.”
“Seperti lampu wasiat ya, Mak?”
“Ya, namun tanpa Aladin & lampunya. Cuma kuda & sayapnya yg indah.”
Dua belas tahun semenjak Ragil terlahir, ia tak pernah memahami keindahan. Dunianya hanya sebatas gundukan sampah, tempat ia biasa memulung. Ragil & Ranu sangat mengasihi Mak Onah mirip nenek sendiri. Sebaliknya, perempuan kurus itu mengasihi mereka & selalu menemani keduanya melalui malam dgn kisah.
Mak Onah memang pandai berkisah. Sebutkan semua dongeng yg ada di dunia, Mak Onah niscaya tahu. Entah dr mana kebisaan itu bermula. Mak Onah tak pernah sekolah. Namun, ia paham betul riwayat Thumbelina, Tinkerbell, Hanzel & Gretel, Putri Salju, hingga Cinderella. ia pula tahu Bawang Merah itu jahat, tak seperti Bawang Putih yg baik hati & bagus jelita.
Ragil & Ranu senang mendengar kisah-cerita Mak Onah, tetapi tak ada senang paling mereka rasa, kecuali ketika Mak Onah menghantam kepala Moris dgn gagang sapu. Moris tak pernah menyayangi Mak Onah, tapi ia menghormatinya. Mak Onah pernah merawat Moris dikala masih bocah bertelanjang dada.
“Hei Mochtar! Sekali lagi kau paksa anak ini meminta-minta, kupatahkan lehermu!” teriak Mak Onah.
Ragil & Ranu tertawa. Lucu mendengar Moris diteriaki dgn nama aslinya. Lebih lucu ketimbang melihatnya dipukul gagang sapu sampai jidatnya terantuk pintu ketika menyingkir dari amukan Mak Onah.
Kini Ragil masih menatap bintang-bintang. Andai ia tahu bintang yg mana. Andai Mak Onah masih ada untuk ditanya. Andai ia mampu memeluk Mak Onah sekali lagi & berucap terima kasih alasannya adalah sudi membagi sayang pada yatim piatu seperti dirinya. ia pun ingat pesan terakhir Mak Onah, beratus malam silam.
“Kalau kalian berharap sesuatu, berpalinglah pada bintang. Katakan keinginanmu. Kuda sembrani akan datang membantu.”
Ragil mengucapkan harapan untuk ke sekian kali. ia berharap kuda sembrani timbul dr balik bintang & menakuti Moris seperti dahulu Mak Onah lakukan. ia jenuh menyaksikan adiknya dipaksa mengemis & dipukuli jikalau pulang menjinjing sedikit uang. ia pula jenuh dipaksa memulung sampah, sementara Moris merampas hasilnya.
Malam demi malam Ragil menunggu. Malam demi malam Ragil mencari. Namun, kuda sembrani terus sembunyi. ia mulai berpikir kuda sembrani tak peduli pada nasib orang miskin atau mungkin kisah Mak Onah cuma imajinasi, bukankah Mak Onah sendiri mati dlm kemiskinan? Kalau benar kuda sembrani ada, kenapa tak minta tolong kepadanya?
Ragil terburu-buru menepis keraguan itu. ia percaya kuda sembrani benar ada. Emaknya tak mungkin bohong. Barangkali kuda itu masih sibuk membantu orang lain. ia ingat dahulu tatkala sakit panas, Mak Onah membawanya ke puskesmas. Sejak pagi mereka tiba supaya dapat nomor antrean paling pertama, tetapi berjam-jam kemudian barulah dokter tiba. Mungkin kuda sembrani mirip dokter yg menguji ketekunan pasien dlm menunggu.
Mengingat sakitnya dahulu bikin ia teringat pada Ranu. Kemarin Ranu mengeluh sakit tatkala Moris nyelonong ke dlm gubuk peninggalan Mak Onah sambil marah-marah.
“Heh! Ngemis sana cari uang! Jangan akal-akalan sakit!”
Moris menawan Ranu dgn berangasan dr atas kasur lusuh & mendorongnya keluar.
“Jangan Bang!”
Tamp*ran keras saat itu juga membungkam verbal Ragil. Pedih menjalari mukanya mirip matahari merayapi pagi. Matahari itu pula yg jadi alarm baginya untuk mulai memulung sampah. Tamparan pasti kembali ia terima bila mereka tak lekas mendaki gunung sampah di luar sana.
Malamnya, Ranu pulang dgn wajah lesu serta pucat. Tubuhnya panas. Ragil mengompres dahinya berulang kali. Beban hatinya sedikit berkurang tatkala Moris tiba membawa sebotol obat panas kedaluwarsa.
“Beri ia obat ini biar cepat sembuh. Kalian tak memiliki kegunaan kalau sakit. Jangan harap gue mau kasih makan kalau kalian tak bisa kerja.” Nada bicara Moris terdengar datar. Baru kali itu ia bicara pada mereka dgn suara pelan. Barangkali ia merasa bersalah. Mungkin cuma sedih sebab baru putus cinta.
Malam kemarin adalah malam pertama Ranu tak mencari kuda sembrani. Ragil meninggalkannya sendiri. Berkilometer jalan ditempuh Ragil seraya memandang bintang-bintang, sebelum risikonya pulang dgn rasa kecewa, mirip biasa. ia menghela napas ketika mendorong pintu.
Dulu bayang Mak Onah senantiasa menyambut kedatangannya, kini cuma Ranu yg meringkuk di balik selembar kain tipis. Handuk kecil yg sudah kering & kaku melorot ke samping leher. Ragil membilas handuk itu ke dlm ember, meletakkannya di dahi Ranu, kemudian membetulkan posisi tidurnya biar handuk yg baru dibasahi air itu tak melorot lagi. Dielusnya rambut Ranu perlahan. ia berusaha keras menahan desakan air mata.
Pagi besoknya panas Ranu semakin tinggi. Ragil ingin menenteng Ranu ke puskesmas, seperti dirinya dahulu bareng Mak Onah, namun Moris melarang. “Minum dulu obat panas itu,” bujuk Moris. “Kalau hari ini kerjamu bagus, besok kau boleh bawa ia ke dokter.”
Sejak Mak Onah bercerita wacana kuda sembrani, Ragil mencarinya ke setiap sudut kota. Malam ini, entah hari ke berapa ia mencari. Kini ia hingga di belakang stasiun kereta. Dari peron terdengar pengumuman kereta terakhir sebentar tiba. Ragil melongok ke arah peron dr balik pagar besi. Derit kereta api bercampur sirene pelintasan di kejauhan berpadu. Beberapa penumpang turun, beberapa naik. Sisanya membatu dlm gerbong yg hampir melompong.
Mereka, para penumpang kereta yg tersisa, sungguh beruntung. Setidaknya, mereka melaju bareng kuda besi yg siap mengantar hingga ke tujuan selesai meski keberuntungan itu tak membuat mereka terlihat senang. Wajah mereka acuh taacuh nyaris tanpa ekspresi. Tidak ada di antara mereka saling menyapa & berbicara dlm kehangatan. Tiap-tiap penumpang sibuk dgn anggapan & kantuk sendiri sebelum karam dlm dingin gerbong kereta.
Kereta api terakhir telah berlalu. Malam makin larut. Ragil tahu harus secepatnya memperoleh apa yg ia cari. Kuda sembrani mampu membawa ia & adiknya ke mana saja mereka suka, jauh dr cengkeraman Moris, bila perlu melayang hingga ke bintang. Ragil kembali menatap bintang-bintang. Andai ia tahu bintang yg mana. Andai Mak Onah masih ada untuk ditanya…
Ragil secara perlahan-lahan membuka pintu. ia tidak mau membangunkan Ranu. Fajar sebentar lagi tiba. ia perlu istirahat sejenak alasannya 2 jam lagi mesti mengorek-ngorek tumpukan sampah. Dalam gelap, Ranu meringkuk di balik helai kain. Seperti malam kemarin, handuk kecil yg sudah kering & kaku pula melorot ke samping lehernya. Ragil mengambil handuk itu lalu membilasnya dgn air dlm ember. Seperti pula malam kemarin, Ragil membetulkan posisi tidur Ranu. Namun, sesuatu terasa lain, tubuh Ranu sudah membeku.
Ragil sesenggukan membelai rambut Ranu perlahan. ia pun merenung cukup lama. Kalau saja kuda sembrani sungguh-sungguh ada, bila saja Mak Onah tak membohonginya dgn kisah, waktu tersisa yg berharga pasti ia habiskan bareng Ranu. Harusnya ia menemani Ranu, bukan malah meninggalkan ia untuk mati dlm sepi. Ragil sungguh menyesal. Betapa tidak berguna ia percaya bualan yg diasongkan Mak Onah. Kini, ia tahu tak ada kuda sembrani. Mak Onah benar-benar berdusta. ia benci kuda sembrani. ia benci Mak Onah. Tangis Ragil pun pecah.
Jauh diatas sana, seorang bocah lelaki menunggang kuda putih bersayap indah melintas di antara bintang-bintang. Mereka sedang menuju bintang terjauh yg tak mungkin dijangkau mata manusia. (*)