Penulis dalam Elegi | Cerpen Manna Wassalwa

AMARA sedang mengetik novel di sudut kafe. Matanya terlihat serius menatap laptop di meja di depannya. Sesekali ia meneguk kopinya yg tinggal setengah cangkir. Kemudian kembali memandang konsentrasi pada laptopnya, namun tanpa ada gerakan mengetik. Salah satu tangannya menyisir rambut panjangnya ke belakang dgn putus asa. Diusap-usap bergairah parasnya sambil bergumam kesal. Lalu, Amara mempesona napas dalam-dalam & sehabis itu bangun dr kursi. Amara masuk ke toilet. ia menyaksikan seluruh sudut toilet seperti orang yg takut dimata-matai. Lalu, secara perlahan-lahan ia mengeluarkan sebuah bungkusan kecil dr saku celana jeansnya & menghisapnya.

Amara kembali duduk ke sudut kafe. Wajahnya tampak lebih ceria. Tangan-tangannya mulai mengetik dgn cepat. Sampai risikonya, salah satu jemarinya dgn semangat menekan keyboard laptop, kemudian ia tersenyum puas & bibirnya mengucapkan kata ‘selesai’ tanpa bunyi. Kemudian temannya bernama Sagara tiba & duduk di depannya.

“Hai. Udah usang di sini?” Tanya Sagara dgn ramah.

“Udah dr tadi. Dari gue masih bagian 19 sekarang udah bab 27. Udah selesai.” Amara begitu ceria.

“Jadi novel ananda udah siap?”

“Udah dong. Aku ini Amara Vanesa. Menulis ialah hal yg sudah menjadi kebiasaanku.”

“Iya deh, paham. Sastra yakni jiwamu, sastra takdirmu, & dgn sastra ananda & dunia ini menyatu. Ceritanya perihal apa?” Sagara terlihat bergairah sehingga Amara menjawabnya dgn semangat.

“Tentang wanita yg sangat ingin menjadi atlet lari, tetapi mengalami kecelakaan yg mengakibat ia mesti kehilangan kakinya.”

“Oh, eh iya, ngomong-ngomong…” Sagara menyaksikan kanan kiri & mendekatkan bibirnya ke indera pendengaran Amara, “Kamu masih pakai barang itu?”

“Sagara, gue nggak akan mungkin ninggalin barang itu. Karena barang itu, gue bisa peroleh inspirasi & imajinasi. Kamu tahu sendiri, sebelum menulis, tentukan tempat sekitar bertekut lutut dgn khayalan yg kita miliki. Ini bukan merusak masa depan, tapi cara untuk menggapai impianku menjadi penulis best seller. Ini yakni cara yg paling jitu untuk menyadari wangsit & menemukan khayalan.”

“Tapi Amara, itu nggak boleh. Mengertilah, Ra, ananda ini sudah kecanduan. Masa depanmu bisa hancur.”

Amara mulai kesal dgn Sagara, “Eh, Sagara, bila mau ceramah, sana tuh di masjid. Cari deh! Jangan ceramahi aku. Pusing dengerinnya.”

  Wajah Wasiat | Cerpen Sule Subaweh

Amara menutup laptop kemudian memasukkan ke tas & bangun dr kursi. Sagara menahan lengan pergelangan tangan Amara supaya tak pergi, namun eksklusif ditangkis Amara.

“Kamu mau kemana, Ra?”

“Mau ngeprint naskah & mengantarnya ke penerbit.” Amara masih kesal, ia memandang Sagara dgn jutek.

Lho? Bukannya lewat email ya umumnya?”

“Penerbitan ini beda. Kita mesti antar langsung & dengar-dengar kesempatan naskah diterima itu 90 persen. Ya udah deh, gue duluan ya, da!”

Sagara mengirim kepergian Amara dgn tatapan yg serius sekaligus kasihan.

*****

Amara sampai di lobi penerbitan & menemui seorang perempuan di meja resepsionis,.

“Selamat siang. Ada yg bisa saya bantu?” Tanya resepsionis itu dgn ramah.

“Mbak, begini, saya mau mengajukan naskah.”

“Oh sebentar ya, masih ada penulis yg pula sedang mengajukan naskah ke editor kami. Silakan menanti di sana.” Resepsionis itu menunjuk dingklik panjang yg ada di pinggir lobi. Kemudian Amara tersenyum & mengangguk, kemudian berjalan ke arah dingklik yg ada.

Amara mengambil naskah dr dlm tasnya & membukanya. Lalu, tak usang kemudian, seorang wanita keluar dr salah satu ruangan dgn ekspresi bahagia. Amara berdiri tatkala Jasmin lewat di depannya.

“Mbak, gres mengajukan naskah ya?” Tanya Amara penasaran.

Perempuan itu mengangguk sambil tersenyum ceria, “Iya, & naskah saya diterima.”

“Oh ya? Apa aja Mbak yg ditanya di dalam.” Amara semakin antusias.

“O, hanya seputar naskah saja, namun tadi saya ada pula di tes …” Belum selesai perrmpuan itu mengatakan, resepsionis tadi datang mempersilakan Amara untuk menuju ke ruangan Editor.

“Editor sudah mampu langsung dijumpai, mari.”

Amara berlangsung mengikuti resepsionis. Mereka berhenti di sebuang ruangan. Lalu, resepsionis mempersilakan Amara masuk sambil tersenyum, Amara membalas senyumannya & masuk.

“Ya, silakan duduk.” Sapa editor dlm ruangan tatkala Amara sudah ada di dalam. Amara pun menawan bangku di depan editor yg ternyata adalah wanita.

“Hmm, siapa namanya?” Tanya editor itu.

“Amara Vanesa.”

“Baik, Amara. Saya Manda, Staf Editor di penerbitan ini. Kamu ingin mengajukan naskah, bukan?”

“Iya. Ini naskahnya.” Amara memperlihatkan naskanya pada Manda.

“Sinopsisnya mana, ya?”

“Ada di halaman paling belakang, Mbak.”

Manda menyaksikan ke lembar paling belakang & membaca sinopsisnya dgn teliti. Lalu dibalik-balik lagi naskah tersebut sambil mengajukan pertanyaan-tanya pada Amara.

  Engku Badar | Cerpen Aida Radar

“Apa premis dr kisah ini?”

“Seorang wanita yg sungguh ingin menjadi atlet lari, namun mengalami kecelakaan yg menjadikannya mesti kehilangan kakinya.”

“Apa kelebihan dr naskah ini?” Tanya Manda lagi.

“Naskah ini menceritakan perjuangan seseorang menggapai impiannya dgn berat sehingga diharapkan pembaca pula ikut semangat dlm menjangkau harapan. Di sisi lain, ada pula pengetahuan dunia kedokteran, & pula olahraga yg dibahas dgn lebih mendalam semoga pembaca bukan cuma larut dlm cerita, tetapi pula menerima pengetahuan.”

“Ok, baik. Saya suka sama pemikiran ceritanya. Sebentar ya!” Manda meraih telepon di mejanya & menelepon seseorang. “Minta Ariska ke ruangan saya lagi. Oke.” Manda menutup teleponnya, lalu tak usang kemudian ada seorang perempuan yg masuk, Ariska. “Ariska. Kenalkan, ini Amara. Naskahnya akan kita terbitkan. Kaprikornus, silakan antar untuk melakukan tes.”

“Tes?” Amara merasa galau.

“Iya, ada sedikit tes untuk penulis yg naskahnya akan diterbitkan karena kami cuma akan mempublikasikan naskah dr penulis-penulis yg memang layak untuk diorbitkan menjadi penulis.”

Amara hanya mengangguk kemudian ia bangkit & berjalan mengikuti Ariska

*****

Amara & Ariska berjalan di jalanan depan toilet. Suasana damai, Mara mengawali percakapan lebih dulu.

“Maaf Mbak, saya tak ada antisipasi alat tulis. Gimana, ya mbak?”

“Itu nggak perlu kok. Tenang aja.” Jawab Ariska ramah.

“Oh, gitu ya, Mbak.”

Ariska berhenti di depan toilet. Amara terlihat gundah, kemudian Ariska memberikannya sebuah wadah kecil sambil tersenyum. Hal itu membuat Amara kian merasa resah.

Seakan mengerti dgn ekspresi resah Amara, Ariska mulai menerangkan. “Tesnya tes urine. Sekarang ini berbagai penulis yg memakai narkoba untuk menerima ilham ataupun imajinasi. Jadi, penerbitan ini menerapkan tes pada penulis yg naskahnya akan kami terbitkan.”

Amara seketika ketakutan, wajahnya jadi terlihat tegang & ia dgn ragu masuk ke dlm toilet.

Amara terduduk di kamar mandi. Disisir rambutnya garang dgn jemarinya, mengusap wajahnya dgn frustrasi. ia memandang wadah di tangannya sambil menggeleng-gelengkan kepala & berkata dlm hati.

“Eggak. Apa yg mesti kulakukan? Aku nggak bisa melaksanakan tes ini. Aku nggak mau di penjara. Tapi, hanya tinggal sedikit lagi saja, gue akan berhasil menjadi penulis. Apa ini? Aku menggunakan barang itu untuk tulisanku menjadi lebih bagus sehingga impianku tercapai, tetapi kenapa sekarang barang itu yg akan menghancurkan impianku. Tes ini akan menunjukan bahwa gue yakni pemakai, bukan hanya naskahku ditolak, tetapi gue pula akan di penjara. Enggak, gue enggak mau itu terjadi. Apa yg mesti gue kerjakan?”

  Anjing Belanda | Cerpen Yuditeha

Amara memegangi kepalanya & terduduk lemas. Pelan-pelan air matanya jatuh.

***

Ariska di depan pintu toilet merasa curiga alasannya Amara terlalu lama di kamar mandi. Ariska melihat arlojinya. Lalu mengetok pintu, tetapi tak ada jawaban. Ariska mengirim pesan pada Manda.

Sepertinya ini mencurigakan. ia terlalu lama di dlm toilet.

Setelah mengirim pesan, Ariskan lagi-lagi mengetok pintu toilet memanggil Amara Sedangkan di dlm kamar mandi, Amara berusaha menghapus air matanya yg berjatuhan. ia ketakutan. ia panik & tak mampu berpikir apa-apa lagi. ia melihat ke atas, tetapi tak ada jalan untuk keluar. Amara mendengar pintu toilet diketuk. Amara tak berani menjawab. Amara kebingungan.

Di luar toilet, Manda tiba bareng polisi menghampiri Ariska.

“Coba kita panggil lagi.”

“Mbak! Ayo keluar Mbak!”

“Keluarlah. Apa yg ananda lakukan di dalam? Hei!”

Tidak ada jawaban, Ariska & Manda bertatapan. Lalu, Manda mempersilakan polisi bertindak.

“Keluar atau kami akan mendobrak pintu ini.” Teriak polisi wanita.

“1, 2, 3!” Polisi laki-laki itu mendobrak pintu. Tampak Amara yg sedang ketakutan & berusaha lari, tetapi eksklusif ditangkap dgn gesit oleh polisi perempuan. Amara berupaya melepaskan diri. Namun, hal itu menciptakan polisi merasakan ada sebuah benda di saku celana Amara. Polisi perempuan itu mengambil benda yg ternyata yakni suatu bungkusan berisi narkoba.

“Itu bukan punya saya. Bukan. Bukan!” Teriak Amara.

“Bawa dia!” Kata polisi pria dgn tegas.

Amara menjerit-jerit & memberontak berupaya melepaskan diri. Lalu berkata dgn nada lirih, “Aku hanya ingin menjadi penulis terkenal.”

Manda & Ariska menatap kasihan pada Amara yg meronta-ronta dikala di bawa polisi. Manda mengamati Amara dgn seksama, “Impian mesti diusahakan tercapai dgn cara apapun, tetapi cara yg salah justru bisa menciptakan kita kehilangan cita-cita itu.”

Ariska mengangguk mendengar apa yg dibilang Manda, pandangan keduanya mengantar Amara yg kini terlihat seperti orang kerasukan yg tak bisa dikendalikan.(*)