Konferensi Para Tikus | Cerpen Aljas Sahni H

TIKUS-TIKUS menyerang lumbung & petani mendengus bengis. Tikus-tikus itu melesat, mengkonsumsi padi dgn rakus, bahkan tatkala pulang mereka meninggalkan kotoran sebagai jejak. Ah, sangat anj*ng tikus itu. Selain mengacaubalaukan berandang itu, mereka pula dengan-cara terperinci-terangan mencibir petani dgn jejak kotoran mereka.

“Sialan!” umpat salah satu petani. “Habislah perjuangan kita. kita yg berpeluh, eh, tikus-tikus itu yg meludah.”

Mereka para petani mengacak-acak rambutnya penuh penyesalan. Mereka tak habis pikir, tikus-tikus sungguh tega menghancurkan hasil kerja keras mereka. Tikus-tikus itu tanpa ampun & tanpa tanya-tanya telah menghanguskan hasil panen mereka. Barangkali bila minta baik-baik, para petani akan menunjukkan tikus-tikus itu beberapa hasil panen.

Tetapi kenyataannya, di malam itu, tatkala bintang-bintang bersanding dgn lampu-lampu rumah, tikus-tikus itu beranjak dr sarangnya. Segerombolan tikus berarakan bak tentara. Mata pisau tikus-tikus itu sudah membidik sasaran, yaitu lumbung di sudut desa. Tikus-tikus tak lagi mampu bersabar, iler-iler mengalir dr mulut rakus para tikus.

Betapa buru-buru tikus-tikus itu, sehingga satu sama lain mereka bertubrukan. Mereka saling salip-menyalip, menciptakan cicit-cicit agak gaduh, pula baku hantam. Mereka menyelinap—mempergunakan cela bawah gerbong—dan gundukan karung padi pun terlihat disepasang mata picik mereka.

Tak lagi banyak perihal, tikus-tikus itu tangkas mengerkah karung-karung hingga bolong. Mereka menyelami padi seolah tenggelam di lautan surga. Makan, makan, & makan, begitulah yg mereka lakukan semalam suntuk. Mereka mana tahu, ada banyak orang yg dirugikan oleh kerakusan mereka.

Setelah perut kembung terisi padi, mereka pun siap-siap pulang ke sarang. Bahkan ada beberapa di antara mereka belum tuntas melahap padi-padi, kendati perut sudah mau meledak. Mereka tidak mau merugi, kendati perbuatannya lah yg membuat orang-orang merugi. Yang penting perut sendiri terisi, orang lain siapa peduli, begitulah isi kepala para tikus.

  Kebohongan Ustad Baihaqi | Cerpen Hasan Al Banna

Perihal itulah yg bikin para petani berinisiatif untuk bikin perangkap-perangkap tikus, supaya tak lagi jatuh di jurang yg sama, alasannya jatuh itu sudah sakit, terlebih mesti terulang lagi. Lebih baik mereka bersusah-sukar lagi dibandingkan dengan mesti menanggung perih yg kedua kali.

Dan mereka pun menyebar perangkap-perangkap di lumbung. Mereka tersenyum kecut penuh harap, seakan pada waktu itu peperangan akan secepatnya dimulai. Perang antara para tikus & para petani.

Beberapa petani saat itu juga terkekeh, membayangkan bagaimana nasib tikus-tikus itu nantinya. Tikus-tikus itu akan berangkat dgn semangat & takkan pernah mampu pulang, sebab mereka terjerembap dlm perangkap. Bulu-bulu para tikus akan gemetar, mereka mencicit minta tolong, & meratapi perbuatannya. Setidaknya itu harapan yg mengisi tempurung kepala para petani.

Tapi kenyataannya, tak juga. Para tikus era ke-21 lebih cerdik & lebih rakus. Mereka berhati-hati akan segala perangkap, & cuma tikus-tikus ndeso yg gampang masuk ke dlm perangkap. Sementara itu, tikus-tikus negeri ini memang sudah berpengalaman & pintar-pintar.

“Sialan!” umpat salah satu petani. Muka mereka sungguh-sungguh mirip diludahi oleh para tikus. Dari semua perangkap yg ada di lumbung, tak ada satu pun perangkap yg sukses menangkap. Tikus itu sukses menghindar & sukses meluluhlantakkan isi lumbung lagi. Tak cuma itu, dr semua perangkap di lumbung, tak ada satu pun perangkap yg tak berisi kotoran tikus.

“Tikus-tikus itu sungguh menantang kita,” sahut petani lain.

“Dan kita tak boleh kalah!”

“Kita mesti membuat taktik gres untuk mengalahkan tikus-tikus arogan itu.”

“Aku setuju!”

Mereka pun berunding. Perundingan itu menghasilkan beberapa kucing. Para petani sepakat untuk memungut kucing-kucing jalanan sebagai penjaga lumbung. Kucing-kucing itu nantinya yg akan menangkap & menyantap para tikus. Para petani mempercayakan hal itu pada para kucing. Mereka yakin, kucing-kucing akan melakukan tugasnya sebagai kucing. Kira-kira begitu bayangan para petani.

  Kambing-Kambing Peninggalan Ibrahim | Cerpen Junaidi Khab

Kenyataannya, kala ayam jantan mewartakan pagi, & para petani berduyun-duyun mengusut lumbung, hanya keputusasaan yg mereka dapat. Pemandangan itu sungguh menikam dada para petani, panorama yg tak pernah yummy dipandang. Kucing-kucing itu lelap dgn perut kekenyangan & padi-padi ludes tiada sisa.

*****

“Kita tak bisa makan malam ini,” keluh salah satu tikus. “Mata kucing memantau tiap dikala.”

Tikus lain tak terima. Tikus itu menyela perkataan tikus satunya, “Tidak bisa! Kita tetap harus mengisi perut kita malam ini.”

“Tapi bagaimana caranya?!”

Bila melihat kondisi sekitar, memang tak ada jalan untuk menyerang. Namun, tikus tetaplah tikus, cerdik & rakus. Dari kejauhan mereka menyaksikan tak ada kesempatan, kucing-kucing itu tampak berjaga-jaga di luar lumbung, lapar & buas. Akan namun, menyelinap dlm tempurung kepala kecil mereka, suatu ide licik bermunculan.

Para tikus mengumpulkan anak-anak tikus, & seekor perwakilan tikus menghampiri kucing-kucing itu. “Izinkan kami masuk,” ucap tikus itu dgn pongah. Tentu, kucing-kucing itu tersentak akan kedatangan tikus pemberani itu. Terlepas dr itu, para kucing sudah mengambil isyarat untuk menerkam.

Sepertinya tikus itu hendak menjemput ajalnya sendiri, pikir salah satu kucing. Sebelum menerkam habis tikus itu, sang kucing ingin bermain-main dahulu. “Sungguh angkuh kamu, Tikus,” sahut sang kucing. “Tapi dgn senang hati akan kupersilahkan kalian masuk. Masuk ke dlm perut kami.” Tawa-tawa para kucing pun memecah keheningan malam.

“Kami ingin membuat dgn komitmen dgn kalian para kucing.”

“Kau ini ada-ada saja,” ledek Si Kucing Besar. “Mau mati saja sangat ribet. Katakanlah, komitmen apa yg kalian minta?”

“Dengan senang hati kami berikan bawah umur kami untuk kalian makan. Tapi semua ada harganya. Kalian makan belum dewasa kami, tetapi izinkan pula kami mengkonsumsi padi-padi yg kalian jaga.”

  Orang yang Tak Bisa Berbohong | Cerpen Mardi Luhung

Kesepakatan itu pun terjadi. Tikus-tikus rakus itu rela mengorbankan tikus-tikus lain demi kerakusan yg telah beranak pinak di kepala kecilnya. (*)