Sang Peracik | Cerpen Ken Hanggara

Bertahun-tahun sehabis kepergian Ali Mugeni, desa itu tak lagi gempar oleh gosip- informasi hilangnya para gadis. Dahulu gadis-gadis kerap hilang dengan-cara misterius tanpa ada yg tahu sebabnya. Orang-orang menuduh Ali Mugeni, pendatang yg membuka toko obat kulit di pertigaan, selaku pelaku. Tuduhan ini dianggap mempunyai dasar. Mereka mengaitkannya dgn jarangnya Ali Mugeni berinteraksi dgn warga. Pada awalnya mereka hanya menilai pedagang obat itu orang kaya yg tak mampu bergaul, namun rumah mewahnya yg kerap tertutup menciptakan beberapa orang mulai berpikiran jelek, terlebih setelah satu per satu gadis perawan secara tiba-tiba hilang.

Adalah Mudakir, lelaki paling vokal di desa tersebut, yg biasa unjuk bunyi dlm tiap peristiwa penting atau sepele di desa, sehingga bila saja suatu hari nanti seseorang menulis buku sejarah khusus desa itu, namanya bakal tercetak lebih sering dr semua tokoh yg jauh lebih penting kiprahnya dlm sejarah desa. Mudakir bilang, seseorang tak akan menjadi sekaya itu cuma dr berdagang obat. Padahal mereka tahu, obat-obat yg dijual Ali Mugeni bukanlah jenis obat pasar yg dijual di tikar dgn sales hebat bual yg sering kita temui dgn komitmen-akad ala politikus biadab. Obatobat itu bahkan penggunaannya tak boleh sembarangan.

“Bapak ibu, kalau ingin mengonsumsi obat ini, harus puasa dahulu seminggu penuh. Niatnya mesti tulus. Jika ada yg bolong atau ada keraguan sedikit pun, obat dr saya tak akan manjur,” begitu Ali Mugeni bersabda dlm acara launching toko obat yg gres didirikannya.

Seorang haji yg katanya mabrur, seorang yg tak pernah dikabarkan mengalami hal-hal aneh & memalukan di desa tersebut, yg sayangnya tidak mau disebutkan nama atau ciri-ciri fisiknya, mengaku melakoni usulan-rekomendasi sang pedagang obat kulit, & yg terjadi yaitu keajaiban.

“Saya bersumpah betul-betul mengikuti apa yg Ali Mugeni bilang & obat itu kini memperlihatkan khasiatnya. Tidak ada lagi gatal di sekujur badan saya. Sekarang pun saya pula sudah bisa makan ikan maritim apa pun yg saya mau tanpa harus cemas jika alergi usang saya kambuh!” tuturnya dlm suatu dialog tersembunyi.

Konon kabarnya, haji yg katanya mabrur itu mengidap alergi tersebut sejak ia masih bayi. Kesembuhannya yakni sesuatu yg nyaris mustahil di mata banyak warga saat itu.

  Eksis | Cerpen Yudhistira ANM Massardi

Obat kulit penghilang alergi racikan Ali Mugeni pun menciptakan heboh & menjadi perbincangan hangat di kalangan warga yg kebanyakan memang menderita penyakit kulit, karena desa tersebut cukup jauh dr perkotaan & belumlah banyak orang-orang yg mengamati kebersihan diri. Alhasil, kalau Anda dikala itu berkunjung ke sana, di kiri-kanan jalan, cuma akan berpapasan dgn orang-orang yg menderita borok atau kurap atau penyakit-penyakit kulit yang lain yg tidak mungkin ditulis di sini tanpa menciptakan penulisnya letih & merasa jijik.

Segala macam penyakit kulit yg tersedia di desa itu barangkali bisa menang soal jumlah atas seluruh penyakit kulit yg tercatat dlm satu waktu di suatu rumah sakit besar di ibu kota. Fakta ini membuat desa tersebut tak terlalu elok kabar beritanya di luar sana & sangat tak terkenal bagi pendatang, kecuali untuk penjual obat macam Ali Mugeni.

Jika seseorang yg biasa menghirup udara bersih diposisikan secara tiba-tiba di desa itu, boleh jadi ia pingsan atau bahkan meledak paru-parunya karena saking busuknya udara yg mengitari desa. Begitu banyak warga menderita penyakit kulit yg bahkan para mantri & dokter desa pun mengalah menanganinya.

“Terlalu parah, Pak.”

“Yang mirip ini mesti dibawa ke tempat tinggal sakit ibu kota.”

“Saya tak ada alat-alat buat mengoperasi kulit Ibu.”

“Ya Tuhan, belum pernah ada yg begini!”

Demikianlah komentar-komentar orang-orang yg paling dianggap paham terkait kesehatan kulit di seluruh cuilan desa. Warga tak lagi meletakkan impian pada mereka, sehingga klinik-klinik kecil, bahkan puskesmas, di desa itu, lebih sering tampak kosong & tak memiliki kegunaan, & karena saking menganggurnya bangunan-bangunan itu, tidak aneh kalau sampai ada yg melontar candaan soal betapa lebih berfaedah jikalau saja mereka mengubah bangunanbangunan itu jadi rata dgn tanah supaya setiap orang bisa lebih leluasa bermain bola.

Desa tersebut memang tak memiliki lapangan khusus untuk program-program tertentu mirip peringatan hari kemerdekaan Indonesia atau pengajian akbar & semacamnya. Ia hanya ada sebagai suatu lokasi yg sepertinya tak akan gampang dicari di peta & lebih mirip kawasan penampungan orang-orang jorok dgn kulit yg kebanyakan dijangkiti bibit penyakit. Kehadiran Ali Mugeni di desa itu membuat orang-orang yg sudah usang pesimis, menjadi kembali menanam keinginan.

Sayangnya, obat kulit Ali Mugeni tidaklah gratis. Segala sesuatu ada bayarannya. Demikianlah, bagaimana hasilnya tiap individu membisu-membisu menanam kebencian mereka pada Ali Mugeni, & bukan sebagian orang kaya yg sukses sembuh berkat berbelanja obat kulit ajaibnya. Harusnya orang-orang kaya itu mau mengembangkan, namun mereka pikir obat Ali Mugeni terlalu mahal.

  15 Hari Bulan | Cerpen Hasan Al Banna

“Memang obat itu patut untuk kesembuhan yg dokter termahal di ibu kota pun belum tentu sanggup memberikan!” kata seseorang di antara mereka.

“Ali Mugeni bukan raja! Lihat saja kelakuannya merendahkan derajat orang-orang desa kita, dgn hanya membuka toko melalui pintu berjeruji dgn jaring antinyamuk & tetek bengeknya itu. ia pikir kita ini anjing-anjing kurap?!”

“Kita memang orang-orang yg berbahaya buat orang yg tak menderita sakit kulit!”

Sejak itulah, sejak kebencian pada Ali Mugeni yg tertutup & konon pelit mulai mewabah ke pikiran tiap warga, satu per satu gadis-gadis perawan dikabarkan hilang. Di desa ini, para perawan, pastinya, meski menderita penyakit kulit, masih dapat hidup dgn gaya mirip di daerah-kawasan lain tanpa minder. Sebab mereka boleh jadi hanya akan menemui jodoh yg pula menderita penyakit kulit di desa itu. Pikiran soal pergi ke desa lain tak pernah timbul di benak mereka.

Para gadis yg berkeliaran di setiap sudut desa selaiknya di desa-desa wajar lain, mungkin menciptakan Ali Mugeni menimbang-nimbang sesuatu. Atau, jangan-jangan, semenjak awal ia memang memiliki sesuatu perihal ini? Orang-orang mulai menduga bila obat & uang yg Ali Mugeni miliki yaitu hasil kerjasama dgn setan. Obat-obat kulit itu, boleh jadi dibentuk dr bagian tubuh gadisgadis yg hilang. Obat-obat itu mungkin diracik di suatu tempat tersembunyi di dlm rumahnya yg besar & tertutup, dgn cara-cara yg terkutuk karena mesti mengorbankan nyawa gadis-gadis tak berdosa.

Keberadaan Mudakir sang vokal memperparah suasana. Orang-orang yg tadinya segan hanya untuk sekadar mengetuk pintu toko Ali Mugeni (lantaran anyir penyakit kulit mereka & karena tak punya duit), mulai menyiapkan sesuatu untuk menerobos ke cuilan dlm rumah itu demi membongkar kekejian sang pedagang obat. Entah apa saja yg digelontorkan Mudakir ke indera pendengaran orang-orang & entah apa motivasinya, alasannya adalah ia sendiri bahkan sudah beristri, jikalau saja kita anggap tuduhannya yg belum terbukti itu cuma berdasar sakit hati balasan hilangnya salah satu gadis pujaan. Atau boleh jadi ia mempunyai gadis tabungan? Siapa tahu?

  GoKill | Cerpen Seno Gumira Ajidarma

Tapi, tak ada yg peduli pada isi kepala seorang Mudakir, laki-laki tervokal di desa yg pula sekaligus pengidap koreng yg sangat parah selama bertahun-tahun sehingga kepalanya nyaris senantiasa dibalut oleh perban, & kalau demam isu penghujan tiba, perban itu kerap berubah-ubah warna sehingga membuat orang-orang yg belum pernah ketemu dgn Mudakir, berpikir jika lelaki ini mungkin kehilangan tempurung kepalanya.

Maka, beginilah yg berikutnya terjadi sehabis malam-malam rapat rahasia digelar: orang-orang berpenyakit kulit berbaris menuju rumah Ali Mugeni & mendobrak pintu & menghancurkan tokonya & mencuri obat-obatannya. Mereka menyasar tiap sudut rumah untuk mendapatkan sang tuan rumah yg kabarnya hidup seorang diri karena di masa kemudian istrinya meninggal dilibas truk pengangkut susu formula.

Di suatu ruang, Ali Mugeni ditemukan tidur telentang & berteman bantal guling. Dalam posisi demikian, orang-orang yg belum mendapatkan bukti atas tuduhan kejam mereka itu mendapat inspirasi; mereka menyergap si penjual obat yg terbangun oleh terkejut & membiarkannya berteriak sementara beberapa orang dgn sengaja merontokkan cuilan kulit borok mereka ke lubang mulut Ali Mugeni.

Tidak ada yg mencatat dgn pasti siapakah dalang di balik penularan penyakit dgn cara sebrutal ini. Tidak ada pula yg mengingat seberapa lama Ali Mugeni sang pedagang obat meronta-ronta karena ditindih sampai bisa melarikan diri. Yang terang, sejak ketika itu ia tak lagi terlihat. Malam itu pula orang-orang berpenyakit kulit tak pernah memperoleh gadis-gadis yg mereka cari. Tidak ada pula jejak ritual-ritual sesat atau apa pun yg mereka sempat yakini.

Meski demikian, orang-orang itu tidaklah terlalu berduka. Stok obat kulit racikan Ali Mugeni yg aneh dianggap cukup memenuhi kebutuhan seluruh warga desa. Setiap orang menerima sepaket dan, mengikuti proposal Ali Mugeni dikala itu perihal berpuasa dulu sebelum mengonsumsi obatnya, orang-orang jorok itu sembuh.

Kini, desa tersebut bebas dr persepsi sinis orang luar. Namun, hingga sekarang pula belum ada seorang pun yg menilai hilangnya para gadis bukan salah Ali Mugeni. Jikalau ada yg menulis buku sejarah wacana desa tersebut suatu hari nanti, si penjual obat cuma akan dikenang selaku lelaki jahat yg tak pernah mendapat eksekusi atas kebejatannya membunuh gadis-gadis tak berdosa.